Oleh Ali Mukoddas
Seorang pemuda berparas angkuh dengan tubuh kurus mendatangi Guru Ngaji di kampung Bates. Pemuda yang katanya lulusan Fakultas Perbandingan Agama di salah satu Universitas Jogja tersebut datang hanya karena tahu bahwa Guru Ngaji di kampung Bates pernah mengislamkan beberapa warga asing yang berpelesir ke tanah itu, namun kabar yang sampai di telinga pemuda tersebut membuat pengetahuan api muda di kepalanya membakar amarah.
Kata pemuda itu, Guru Ngaji tersebut mengislamkan dengan cara kekufuran, sok islami tapi munafik. Dia ngotot, bahwa cara yang dilakukan Guru Ngaji adalah salah. Dirinya harus meluruskan kesalahan itu. Jelasnya, kedatangan pemuda tersebut menginginkan adanya debat. Beradu keyakinan siapa yang paling benar. Dengan mata yang selalu waspada, pemuda itu duduk bersila.
"Kiai-kiai yang ada di kursi politik itu bukan berjuang, tapi menginginkan uang." Pemuda tersebut berdalih.
"Uang agar tidak digelapkan, tidak dikorupsi oleh pihak mana pun." Guru Ngaji menyambung kata terakhir pemuda tersebut dengan cepat.
"Seperti yang ada di gedung organisasi-organisasi islam di negeri ini, semua penjilat."
"Penjilat rahmad Tuhan dan kebenaran!" Lugas dan jelas Guru Ngaji berujar.
"Mereka-mereka itu penyebar kebohongan dengan intrik kebaikan, moderat, ramah dan toleran."
"Agar orang yang bodoh dan sok tahu yakin bahwa ketiga hal tersebut ada dalam diri setiap manusia."
Pemuda yang rupanya bernama Mad itu menarik napas lelah. Dia tidak suka penjelasannya disambung seperti melengkapi kalimat yang putus. Kepala Mad memutar logika, mencari cara agar pas tanpa penjelasan yang berbuntut kekalahan.
Guru Ngaji yang bersila di hadapan pemuda tersebut tersenyum. Dia tersenyum bukan karena merasa menang bisa mematahkan secara gamblang kalimat pemuda tersebut. Dia tersenyum pada dirinya sendiri, yang rupanya tak bisa menghentikan pikiran jail pemuda tersebut. Guru Ngaji beranggapan, seharusnya mudah membuat orang yang congkak pada pengetahuannya sendiri dengan mengiyakan kecongkakan tersebut.
“Buktinya, banyak yang statusnya tokoh agama, menjadikan status tersebut sebagai kendaraan berpolitik. Mereka beralasan, kalau bukan orang baik yang mengisi kursi politik, siapa lagi? Mau orang-orang busuk yang tetap mendudukinya? Omong-kosong! Air bening bertemu tinta, ya, hitam!”
Kalimat Mad yang ini cukup panjang dan menghantam. Guru Ngaji tersenyum. Tidak seperti menanggapi kalimat-kalimat sebelumnya dengan langsung meluruskan, dia mengambil kopi yang dihidangkan anaknya.
“Kopi ini hitam pekat, tanpa gula. Anakku tahu bahwa aku suka minum kopi tanpa gula. Tentu pahit. Sekarang aku akan memberikanmu kopi ini. Minumlah.” Guru Ngaji menyodorkan kopi di tangannya ke hadapan Mad.
Mad sedikit tersinggung karena kalimatnya tak ada tanggapan. Dia menerima kopi itu, kemudian melihatnya sebentar, lalu mencium baunya. Merasa tak ada yang aneh, dia menyeruputnya perlahan. Keningnya segera berkerut. Matanya memicing bersamaan dengan bibirnya yang membentuk garis lurus.
“Anak, ambilkan bapak gula, letakkan di atas piring kecil. Bawa ke sini,” ucap Guru Ngaji.
Segera yang dipanggil datang membawa gula tersebut. Lalu segera berbalik menyembunyikan diri di dalam rumah yang terbuat dari bambu. Setelah melihat anaknya masuk, Guru Ngaji menarik napas seraya mengangkat gelas berisi kopi.
“Coba kau tambahkan gula. Lalu minumlah.”
Pemuda itu melakukan sesuatu yang dikatakan Guru Ngaji. Selesai meminum kopi, yang kali itu kening dan matanya tak berubah aneh, Guru Ngaji tertawa.
“Seperti itulah para ulama yang memilih berperang di dunia politik. Dia memansikan yang pahit. Kalau kau umpamakan dengan air bening, tentu tidak tepat. Karena hal yang bening bisa melebur dengan warna apa pun. Dan yang bening itu tidak ada walau kita melihatnya ada. Kau bahkan termakan oleh kata-katamu sendiri.”
Mendengar kalimat Guru Ngaji, Mad menghembuskan napas berat. Dia tidak terima kalimatnya dipatahkan dengan contoh yang langsung dirasakan dirinya. Seraya meletakkan gelas berisi kopi yang sudah ditambahi gula, Mad memperbaiki posisi duduknya. Kali itu kakinya dilipat, seperti penari sinden yang bersimpuh sebelum memulai tarinya.
“Sekarang kembali ke permasalahan yang membuatku mendatangimu. Kau mengislamkan orang sedang orang tersebut tidak tahu-menahu tentang agama kita. Itu sama saja kau mengajak kambing memakan daging.”
“Aku mengislamkan orang sebelum dia mengetahui ajaran agama kita, agar saat dia mempelajari agama dapat pahala. Sebab percuma belajar agama sedang dia belum beragama, nilai keagungan ilmu yang didapat akan berbeda. Seperti dirimu, Pemuda. Apa aku salah mengislamkan orang?”
“Sesat! Tidak hanya salah, itu sesat!” Keras suara Mad memecah keheningan di beranda rumah bambu itu. “Kau mengislamkan para turis-turis itu, lalu membiarkan mereka pulang ke tempat asalnya tanpa membimbing mereka untuk belajar agama. Itulah yang membuat banyaknya teroris mengatasnamakan Islam. Masuk Islam tanpa bimbingan sama saja membuat orang tersebut mengikuti kesesatan sebelum mereka Islam. Aku sama sekali tidak setuju itu. Lebih baik biarkan mereka beragama sesuai agama mereka, karena pada dasarnya semua agama itu baik. Kau ini, Pak Tua…”
“Aku paham arah pikiranmu, Pemuda. Kau mungkin hanya tahu bahwa aku mengislamkan orang, tapi kau tidak tahu kelanjutannya. Bahwa, orang yang kuislamkan memilih memperdalam ajaran agama di sini hingga bertahun-tahun. Ada sebagian yang merasa paham dasar agama, setelah satu tahun memilih kembali ke negerinya. Tentu kalau mau mengikuti aturan negara, hal semacam itu tidak bisa, sebab para turis ke negeri ini ada batas waktunya untuk tinggal. Namun di desa terpencil ini, tak berlaku aturan itu. Untuk kembali ke negerinya pun mereka bisa mengurus persyaratan agar bisa kembali ke orang yang mengabdikan dirinya pada agama, tak perlu kusebut namanya. Aku salah? Tentu aku selalu salah, Pemuda. Melayanimu untuk bercakap-cakap panjang ini pun salah.”
Setelah kalimat panjang Guru Ngaji itu berentet, keadaan menjadi hening. Mad tak menemukan kata-kata berikutnya untuk diucapkan. Sedang Guru Ngaji memberi kesempatan Mad untuk berpikir dan mencerna kalimatnya.
“Kau mengislamkan tidak dengan cara islami. Kau menggunakan ilmu sesat untuk mengelabui mereka. Kau menggunakan sihir agar mereka mau masuk Islam.”
Akhirnya Mad mengucapkan kalimat yang disimpan lama, kalimat yang membuatnya datang ke kediaman Guru Ngaji tersebut. Yang Mad tahu, menurut desas-desus mulut yang sampai di telinganya, Guru Ngaji membuat keris bisa bergerak sendiri lalu mengatakan itu karamah Tuhan pada orang yang mau dimasukkannya ke agama Islam. Mad yakin Guru Ngaji itu memberi harapan palsu, bahwa jika orang asing yang tidak beragama Islam itu berpindah agama seperti agamanya, maka orang itu bisa menggerakkan benda-benda. Ditambah, menurut orang yang berbicara di dekatnya saat bus menuju arah kampung Bates, Mad mendengar orang bercakap-cakap soal Guru Ngaji itu. Kalau-kalau Guru Ngaji itu membuat para turis tersesat dan tidak tahu arah untuk ke luar dari desa dengan ilmu gaibnya. Guru Ngaji menggunakan sihir agar para turis itu tanpa sadar sudah berdiri di hadapan rumahnya, lantas mengatakan mereka dituntun Tuhan hingga bisa bertemu dengan Guru Ngaji. Mengetahui semua itu, Mad menjadi berang. Keinginan untuk meluruskan dan mencari tahu kebenarannya membuat dia tidak takut bertamu walau sendirian. Padahal, pikiran lainnya mengatakan, takut-takut dia kena ulah sihir Guru Ngaji. Dia harus selalu waspada.
“Ya, Tuhan… Pemuda, kau mau mendengarkan kisah orang yang tidak suka pada ulama? Ditambah, sekarang ini zamannya fitnah. Kumaklumi dan kusanjung perhatianmu pada agama. Perlu ditegaskan, kau bisa mencari tahu sendiri apakah yang kulakukan sama seperti cerita-cerita yang kau dengar itu? Baiknya, kau cari kebenaran menurut hatimu sendiri. Aku memang mengislamkan orang, tapi tidak dengan sihir. Para turis itu tersesat, kadang bisa dibenarkan, karena mereka tidak pernah ke desa ini sebelumnya, ditambah ulah jail para pemuda yang menunjuk arah asal-asalan saat turis itu bertanya jalan ke sini dan ke situ yang mana. Aku bisa menggerakkan keris, memang benar. Karena setiap benda memiliki bahasanya tersendiri, dan kebetulan aku tahu bahasa keris itu. Jadi, kembalilah ke nuranimu. Jangan terlalu menggunakan akal, yang mengalahkan gerak dan detak jantungmu itu. Apa ada hal lain yang membuatmu datang ke mari?” Guru Ngaji menutup kalimatnya dengan menyodorkan kopi ke arah pemuda itu.
Mad tidak menanggapinya dengan kata-kata. Kepalanya berpaling ke kegelapan malam. Melihat jauh ke lampu kuning rumah warga. Dia merasa dirinya telah cukup tahu. Kemudian dia menganggap, kuliahnya selama empat tahun tak ada gunanya. Kepalanya bergumam, aku sangat bodoh. Beberapa saat menatap keheningan, tangannya merogoh gelas berisi kopi, seakan tangan itu punya mata sendiri. Tatapan jauhnya mengajak dia untuk segera pulang.
“Maaf telah kasar, aku datang untuk mencari keyakinan. Terima kasih, Guru,” ucap Mad.
Bersamaan dengan kalimat itu, dia melihat wajah Guru Ngaji. Kemudian mengambil tangan orang yang disebutnya guru, lalu meletakkan tangan itu di bawah hidungnya. Mad pergi dari rumah bambu itu dengan melawan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Tak kuat memicingkan mata karena angin, dia memalingkan wajah ke belakang. Segera matanya menangkap pohon-pohon berjejar seperti bayangan. Dalam hati Mad bergumam, bukankah aku baru saja melangkah dari halaman rumah Guru Ngaji? Setelah gumaman tersebut, burung hantu beruhu, seakan mengiyakan kalimat tanya yang terkurung itu.
Jakarta, 11 Agustus 2018.
Penulis adalah bagian dari santri Annuqayah, yang menjejakkan kaki dan tangisnya pertama kali di Sampang pada era reformasi. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Hukum Unusia. Kunjungi beberapa ceritanya di www.riilfiksi.ga atau surel dengan alamat alimukoddas@gmail.com