Cerpen

Jalan Aspal Bulan Lima

Sabtu, 19 Maret 2016 | 19:39 WIB

Jalan Aspal Bulan Lima

ilustrasi

Oleh Abdullah Alawi

Orang-orang Pojok terharu ketika drum-drum berisi aspal datang ke kampung mereka. Sebentar lagi jalan desa akan hitam seperti di kota, cita-cita bertahun-tahun hampir terlaksana. Mereka masih ingat merelakan sebagian tanahnya untuk pelebaran jalan. Pohon kelapa, nangka, rambutan yang sedang berbuah dirobohkan.

Menurut Pak Kades waktu itu, jalan kampung Pojok akan diaspal pada bulan lima tahun itu juga.Bulan lima tiba, pengaspalan ternyata omong kosong belaka. Masyarakat bertanya, tapi tak ada jawaban pasti. Pak Kades jarang di kantor desa, di rumah pun isterinya selalu menggeleng kepala. Jika diantara mereka ada yang berani menagih janji, akan mendapat janji lain. Mereka hanya bisa bersabar, menunggu sambil membajak sawah, menyiangi kebun, membabat huma, dan tetap membayar pajak karena Pak Kadus tak pernah absen menagih meski kakinya dijangkit reumatik. Mungkin bulan lima tahun depan. Mereka terus memelihara harapan.

Bulan lima datang lagi. Mungkin aspal akan datang. Hari demi hari mereka lalui dengan harap-harap cemas. Ketika bulan itu lewat, masyarakat Pojok kembali bertanya kepada Pak Kades. Mereka mendapat jawaban berbelit-belit, panjang lebar, tak sepenuhnya dimengerti. Mereka pun pulang dengan menggondol jawaban yang justru berisi tanya, “ada apa dengan Pak Kades?”

Masyarakat Pojok kembali mencangkul sawah, menyabit rumput, menggembala kerbau, menyiangi kebun, membabat huma. Tentu saja sambil menunggu aspal dengan sabar. Mereka yakin orang sabar disayang Tuhan. Dan tentu saja tetap membayar pajak karena Pak Kadus tak pernah absen menunaikannya meski kakinya belum sembuh dari reumatik.

Bulan lima datang lagi. Lalu pergi tanpa pamit. Tanpa membawa aspal. Tanpa stoom. Mungkin tahun besok. Mungkin tahun lusa. Mungkin tahun depannya lagi. Ketika pemerintahan desa berganti, mereka berharap banyak kejelasan bulan lima. Tapi ketika ditanyakan, mereka hanya mendapatkan jawaban mengecewakan, “itu urusan pemerintah yang lalu, kami tidak tahu-menahu.” Kades baru rupanya tak berbeda dengan Kades sebelumnya. Cuma lain orang saja.

Sesepuh kampung Pojok yang mengetahui asal-muasal aspal bulan lima satu per satu tutup usia. Biasanya sebelum mengembuskan napas terakhir, berwasiat pada anak-cucunya, “bulan lima jalan kampung kita akan diaspal.”

Orang-orang yang mendengar, bertanya hampir berbarengan, “bulan lima tahun kapan?” Orang tua itu tak memberi jawaban karena keburu meregang nyawa. Ia pergi selamanya tanpa melihat aspal.

Masyarakat kampung Pojok tetap yakin jalan mereka akan diaspal bulan lima cuma entah tahun kapan. Tapi tak mungkin dilupakan. Mereka merawat bulan lima sambil merawat padi, menyiangi kebun, membabat huma, menggembal kerbau. Mereka mengaitkan bulan lima pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, gagal panen tahun itu terjadi dua bulan sebelum bulan lima. Di tahun lain, mereka mengingat gerhana matahari sebulan setelah bulan lima. Atau rumah tetangganya terbakar di akhir bulan lima.

Di percakapan-percakapan remeh di warung kopi, taruhan anak-anak waktu main gundu dan layang-layang, rencana pernikahan pasangan baru, muncul setelah, sebelum, awal, akhir bulan lima. Para orang tua selalu membisikan pada telinga bayi yang baru lahir, jalan akan diaspal bulan lima.

***

Kini drum-drum aspal itu mulai dipanaskan. Stoom merayap seperti ulat meratakan batu kerikil. Para pekerja begitu sibuk. Tanpa komando, ibu-ibu dengan suka rela membawa ceret dan gelas buat mereka. Anak-anak memperhatikan dari kejauhan. Seluruh masyarakat menunda pergi ke sawah dan kebun. Mereka hampir tak percaya akan pandangan sendiri. Jalan kampung Pojok akan hitam dan rata seperti di kota.

Tapi persoalannya pengaspalan bukan pada bulan lima, melainkan dua belas. Masyarakat hampir saja tak mempedulikan pengaspalan bulan lima. Dalam pikiran mereka, yang penting sekarang jalan diaspal, tak peduli bulan apapun. Tapi para orang tua yang ingat betul wasiat orang tuanya yang sudah mati, bertanya-tanya, ini tidak sesuai dengan janji leluhur.

“Aku bermimpi almarhum orang tuaku datang. Dia bilang, jika pengaspalan terjadi bukan di bulan lima, jalan tidak akan bertahan lama. Selain itu, akan datang sesuatu yang belum pernah terjadi,” kata seorang warga ketika ngobrol bersama teman-temannya di pos ronda.

“Apa maksudnya mimpi itu?”

“Aku sendiri tidak paham.”

“Akan datang sesuatu itu apa?”

“Bisa jadi ada suatu hal yang tidak kita inginkan. Tapi aku tak tahu pasti.”

“Sebenarnya aku juga berpikir seperti itu. Pengaspalan jelas tak sesuai dengan apa yang dikabarkan orang tua kita.”

“Aku takut terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.”

Mereka kemudian sepakat menyuruh salah seorang untuk menanyakannya pada para pekerja esok hari.

“Kenapa pengaspalan jalan bukan bulan lima?”

“Kami tidak tahu-menahu soal itu. Kami hanya pekerja. Cuma menjalankan tugas. Coba tanya pada mandor kami,” jawab pekerja itu sambil menunjuk kepada orang bertopi, berkacamata, dan bersepatu hitam.

Meski ragu, orang itu mendekati Mandor.

“Pak, kalau boleh saya tahu, kenapa pengaspalan jalan ini bukan bulan lima?”

“Memangnya kenapa?” orang itu balik bertanya.

“Setahu kami, pengaspalan jalan dilakukan bulan lima. Begitulah orang tua kami menceritakan.”

Mandor itu tertegun sebentar, kemudian tersenyum, “kalau soal itu kami tidak tahu-menahu. Kami hanya menjalankan tugas atasan kami. Pada bulan satu nanti akan ada Pilkada. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.”

Kemudian Mandor itu membisikkan sesuatu. Meski tak mengerti sepenuhnya, orang itu mengangguk-angguk. Tapi dalam hatinya bertanya-tanya, kenapa pengaspalan jalan dihubung-hubungkan dengan Pilkada, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati yang tak dikenalnya. Bukankah pengaspalan pasti terjadi karena sudah janji leluhur, tanpa ada Pilkada sekali pun. Dia bingung bagaimana bercerita kepada teman-temannya.

Pada hari berikutnya, Mandor membagikan kalender kepada seluruh warga kampung Pojok sambil membisikkan sesuatu. Mereka masih tidak paham, kenapa pengaspalan dihubungkan dengan kalender? Ini tak ada ceritanya di wasiat leluhur mereka.

***

Pengaspalan jalan kampung Pojok selesai. Para pekerja pulang bersama stoom yang dilepas haru seluruh kampung. Kendaraan roda dua dan roda empat lewat di jalan itu. Tapi bukan milik orang kampung Pojok, melainkan milik kampung tetangga. Mereka hanya penonton di pinggir jalan.

Orang-orang kampung Pojok lantas berpikir, buat apa aspal kalau toh mereka masih jalan kaki. Sebagian orang memaksakan diri membeli kendaraan roda dua. Anak-anak mereka merengek minta sepeda. Orang tua terpaksa menjual kambing. Anak-anak muda mengasah golok setajam-tajamnya, lalu mengancam orang tuanya agar dibelikan motor. Hatinya panas karena kekasihnya dibonceng pemuda kampung sebelah. Orang tua terpaksa menjual kerbau atau sawah. Ada juga yang menggadaikan kebun atau rumah.

Tak pernah diduga sebelumnya, maling pun berkeliaran di kampung Pojok. Dengan mudah mereka mencungkil palang pintu dapur atau merobek bilik dengan golok. Kemudian kabur lewat jalan aspal. Jika maling itu tertangakap, dibakar hidup-hidup. Hal yang tidak pernah terjadi dalam catatan ingatan mereka. Para orang tua menggeleng-gelengkan kepala. Mereka semakin yakin pengaspalan tidak sesuai dengan yang diceritakan almarhum orang tuanya, bukan bulan lima.

: Abah

Editor: Abah


Terkait