Cerpen Anis Hidayatie
Hasna menatap nyalang pada Maya, putrinya yang berusia dua belas tahun itu. Tiga bulan lagi ujian kelulusan sekolah, bukannya belajar giat tetapi Maya selalu keluyuran.
Perempuan berbadan kurus itu berkacak pinggang di depan indekost. Dia baru saja pulang kerja. Rasa lelah setelah seharian berdiri mengupas udang membuatnya terbakar emosi. Apalagi melihat baju Maya penuh dengan lumpur. Hasna yakin, pasti Maya ke tambak lagi.
"Dari mana kamu!"
Maya diam saja sambil menundukkan kepala. Membersihkan sisa kotoran mengering yang menempel pada kaos hitamnya.
"Sudah di-bilangin bolak-balik, jangan main jauh-jauh. Kamu itu sudah perawan! Bahaya, Nak."
Maya tetap bergeming, membuat hati Hasna semakin cekot-cekot. Sebuah cubitan kecil mampir di paha remaja itu. Maya meringis kesakitan sambil memegang tempat yang terasa terbakar. Ia tak berani bergerak, takut emaknya kesetanan.
"Sana mandi! Kamu dihukum nggak boleh keluar rumah selama dua hari. Mengerti!"
Remaja berbadan cokelat terbakar matahari itu segera berderap menuju kamar mandi di sebelah kamar indekost. Dia menimba dari sumur dan memasukkan airnya ke dalam bak. Lalu menyeret masuk ke dalam kamar mandi nomor dua.
Besok siang sepulang sekolah, ia ditunggu oleh Wak Udrun pemilik tambak. Pria itu berjanji mau memberinya ikan mujaer yang besar untuk dibakar bersama teman-temannya.
Maya suka sekali memancing. Dulu waktu masih kecil, ia selalu diajak bapaknya memancing di tambak.
Setahun lalu bapaknya meninggal terserang penyakit paru-paru karena kata orang-orang terlalu banyak merokok. Saat Maya kangen bapaknya, ia akan mengambil joran dan mulai menggali cacing tanah di kebun pisang belakang indekost. Setelah dapat beberapa cacing, ia mengayuh sepeda menuju ke tambak yang ditempuh dalam waktu dua puluh menit bersepeda.
Emaknya sibuk bekerja sejak pagi buta hingga menjelang Isya. Jarang sekali Hasna pulang sore kecuali kalau pabrik sedang sepi garapan. Adik lelaki Maya yang masih sekolah Taman Kanak-Kanak dititipkan pada Embah di desa.
Badan Maya terasa segar. Rambut merahnya basah dan wangi. Ia melilitkan handuk di dada yang sudah nampak ranum dan terbirit menuju kamar. Emaknya sudah berbaring di atas ranjang sambil memijit bahu. Maya mengambil baju dalam lemari plastik di sudut kamar. Sambil memunggungi Hasna, gadis itu memakai bajunya.
Hasna bangun, ia mengambil nasi, tempe goreng dan sayur asem yang baru saja dihangatkan.
"Sini, Nduk." Maya mendekati emaknya. Hasna menyingkap celana pendek yang dipakai Maya. Bulatan biru kehitaman tercetak jelas di paha gadis itu.
Mata Hasna merebak, ia menyesal telah menyakiti putrinya. Dengan tangan gemetar, wanita itu mulai menyuapi buah hati yang terlihat kurus tak terurus.
"Makan yang banyak, Nduk. Biar gemuk. Badanmu kecil sekali."
Hasna menyentuh bahu putrinya. Lalu mengelus kepalanya.
"Maafkan emak, Nak." Kata itu menggema dalam hati Hasna. "Emak belum bisa jadi ibu yang baik buatmu."
Hasna mengerjapkan mata, mengusir kabut dari dalam netra. Ia tak mau terlihat lemah di depan Maya.
Setelah makan, Maya segera memilih buku pelajaran dan meringkuk di atas kasur busa tipis. Ia langsung tertidur pulas. Kelelahan.
*
"Kalian sudah datang?" Wak Udrun menyambut Maya dan temannya di depan pondok kayu tepi tambak.
Lelaki berbadan legam itu hanya pakai sarung motif kotak-kotak, memamerkan perut membuncit yang ditumbuhi bulu. Begitulah tampilan sehari-hari Wak Udrun. Ia gampang merasa kepanasan.
"Aku sudah menyiapkan ikan besar-besar buat kalian. Nanti kita bakar ya. Tapi korekku habis. Siapa yang mau membelikan?"
"Biar kubelikan, Wak." Maya menimpali.
"Jangan, kamu pasti capek habis membonceng temanmu." Wak Udrun menyahut.
Memang benar, kaki Maya terasa agak lemas setelah mengayuh berboncengan dengan Intan, teman sekelasnya.
Intan segera menawarkan diri membeli korek. Wak Udrun memberi tahu jalannya dan memberikan lembaran uang. Intan melesat pergi naik sepeda federal milik Maya.
Maya sudah menganggap Wak Udrun sebagai paman sendiri. Ia teman baik bapaknya. Wak Udrun pemilik tambak udang, bandeng dan mujaer.
"Ayo masuk, Maya." Wak Udrun mengajak Maya masuk ke dalam pondok kayu yang berukuran 4 x 4 meter yang berlantai tanah. Sebuah ranjang reot, meja dekil dan bangku kayu panjang memenuhi ruangan. Di atas meja, nampak ikan segar sudah bersih. Sebuah tremos, segelas kopi yang tinggal separuh dan sebungkus nasi.
Wak Udrun memutar pinggangnya, ia mengeluh capek karena habis mengambil ikan buat Maya.
"Maya, tolong injak-injak punggungku, ya."
Tanpa menunggu persetujuan, Wak Udrun berbaring tengkurap. Maya naik ke ranjang dan mulai berjalan di sepanjang punggung yang berkeringat. Beberapa kali kakinya tergelincir. Wak Udrun terkekeh.
"Ah, enak sekali. Anakku mana mau disuruh injak-injak seperti ini."
"Bapak dulu juga suka kalau kuinjak-injak, Wak," sahut Maya penuh semangat.
"Maya, apa kamu kangen bapakmu?"
"Kangen, Wak."
"Apa bapakmu pernah memelukmu?"
"Pernah, tapi jarang."
"Stop, Maya. Berhenti dulu." Maya menghentikan aktivitasnya. Wak Udrun duduk, membetulkan sarungnya yang agak melorot. Ia menatap wajah Maya sambil menjilat bibir kehitaman.
"Kamu sudah kuanggap anak sendiri. Mau kupeluk?"
Badan gadis itu tiba-tiba kaku. Ia teringat perkataan emaknya yang menyuruh hati-hati terhadap laki-laki. Katakutan menyelimuti, Maya merasa tulangnya lemas. Ia pernah membaca berita pemerkosaan di koran. Artinya alat kelamin pria masuk ke dalam alat kelamin wanita, itu kata teman-temannya.
"Eggak, Wak. Aku nggak suka dipeluk."
"Kalau begitu, pegang ini saja."
Wak Udrun memegang tangan Maya, ia mengarahkan jemari kecil itu pada sesuatu di balik sarung.
Maya memekik! Ia menarik tangannya, tapi tenaga Wak Udrun lebih besar.
"Stt! Jangan berteriak! Jadilah anak baik, kalau tidak akan kubunuh!"
Maya ketakutan. Ia ingin berteriak tapi takut ancaman Wak Udrun. Bagaimana kalau ia dibunuh? Bagaimana nasib emaknya? Ia kangen pada Husna. Hatinya menjerit minta tolong.
Tolong! Tolong!
"Wak! Ini koreknya!" Teriakan Intan menyelamatkan. Wak Udrun menepiskan tangan Maya.
Kesempatan itu digunakan Maya untuk keluar dari pondokan. Ia berlari menghampiri Intan yang masih berada di atas sepeda. Maya duduk di atas boncengan memeluk pinggang Intan.
"Ayo pulang, Intan! Cepat!"
Intan melihat wajah sahabatnya sepucat kapas. Ia tak mengerti apa yang terjadi, namun gigil Maya membuatnya refleks mengayuh sepeda.
Sorot kemarahan mengiringi kepergian mereka. Wak Udrun mendengus kesal. Ia menendang tiang kayu hingga berderak.
*
Setelah kejadian itu, kehidupan Maya berubah total. Ia ketakutan melihat orang berjenis kelamin laki-laki. Maya tak pernah menceritakan pengalamannya kepada siapa pun, termasuk Intan. Ia hanya berkata melihat tikus besar dalam pondok.
Maya menenggelamkan diri dalam pelajaran sekolah. Mencoba mengalihkan perhatian dari kejadian yang memburunya setiap malam. Hasna gembira, melihat putrinya sudah menurut. Wanita itu tak menyadari kesedihan anak gadianya. Ia hanya tahu kalau sekarang Maya sudah menjadi anak baik, penurut, dan jarang keluar rumah.
Ia bangga pada putrinya.