Cerpen

Jenggot Warisan

Sabtu, 11 Oktober 2014 | 11:00 WIB

Hah! Hah! Sudah lama aku tidak bermimpi kakek berjenggot itu. Semenjak aku lulus SD. Sekarang aku bermimpi lagi di saat aku duduk dikelas dua SMA. Kakek yang menggenggam tanganku saat aku terjatuh di dalam mimpi. Tapi kali ini berbeda. Kakek itu merenggangkan gengggamannya, seakan mau pergi.<>

Baru pukul tiga pagi, sedang konser Endang Sukamti baru usai dua jam yang lalu. Angin malam menggerakkan rambut ikalku.  Sudah tidak terhitung aku kabur dari pondok dan tidur di emperan toko seperti ini. Aku juga tidak tahu, mungkin karena hasutan dan loyalitas persahabatan yang aku jalin bersama Rio, Ahmad, Ivan dan Mario ini sudah berlangsung sekitar satu tahun, aku tidak dapat mencegah diriku untuk tidak mengikuti mereka.

Selama itu juga kenakalan kita masih tahap normal –menurutku-. Hanya kabur dari pondok untuk menonton konser, atau kabur sekedar keliling kota. Sesekali kita kabur satu hari penuh. Pernah ketangkap basah dengan pembimbing pondok pernah juga tidak. Prinsip kita satu, tidak merugikan orang lain hanya merugikan diri sendiri.

Kita pun pulang pukul tiga pagi. Dengan keahlian kita, kita dapat masuk ke asrama tanpa ketahuan. Tapi entah kenapa, paginya kita dipanggil Mas Ikhsan, pembimbing pondok yang setia menghukumi kita berlima. Akhirnya kita dihukum membersihkan kamar mandi, dan menyapu asrama setiap hari selama satu bulan. Baru berlangsung seminggu, Rio memberitahu bahwa ada konser regae.  Malam itu juga, lagi-lagi kita kabur dari pondok.

Konser telah usai, beberapa orang masih tinggal termasuk kita berlima. Sampai tiga orang yang tadinya duduk di sebuah bangku pergi, dan tanpa tanpa disadari salah satu dompet dari mereka tertinggal. Belum sempat aku berteriak memanggil tiga orang itu.

“Ada rezeki nih!” kata Rio semangat. Sontak aku menatap ke arahnya.

Kita berempat mengikuti langkah Rio, menuju bangku yang diduduki tiga orang tadi. Rio membuka dompet tersebut dan menemukan beberapa uang yang semuanya berjumlah seratus lima puluh ribu rupiah. Dia pun mengambil dan menaruh uang tersebut ke dalam sakunya. Tanpa merasa bersalah, Rio membuang dompet tersebut dan berpaling. Reflek aku mencegat tangan Rio.

“Rio, bukannya kita tidak membuat rugi orang lain?” peringat ku.

Lho, bukannya ini tertinggal bukan aku sengaja mencopet atau bagaimana kan? Lagian kalau pun ini merugikan orang lain, kan aku yang berbuat.”

“Tapi kan. Kita harus kompak. Kalau kamu mengawali berbuat seperti itu, nanti yang lain bisa ikut-ikutan terus bisa jadi kebiasaan buruk,” protesku

“Memangnya kita kabur bukan kebiasaan buruk? Sama saja kan? Lagian kalau yang lain mau ikut-ikutan ya sok aja atuh. Kalau kamu nggak mau, ya sudah. Kita nggak maksa kok Muh kalau masalah seperti ini”

“Tapi aku tetap tidak setuju. Ri,”

“Ya sudah, kalau begitu sana pulang dan jadi anak alim di pondok!” teriak Rio di telingaku.

“Bukan begitu maksudku”

“Diam Muh! Kita bakal kabur sampai besok, kita perlu uang untuk makan sama jalan-jalan. Jadi jangan protes lagi.”

Waktu berlalu. Sudah seminggu kita tidak pulang ke pondok. Kita hidup dari hasil mencuri Rio. Aku juga tidak tahu dari mana dia belajar, sehingga begitu ahli dalam mencuri. Aku merasa sangat berantakan, jarang mandi, makan apa adanya, dan merasa kehidupanku berubah. Iya, bebas. Tapi tidak dapat menikmatinya. Aku mendengar langkah kaki yang berlari menuju ke arah dimana aku dan tiga orang temanku duduk. Ternyata itu Rio. Dengan raut wajah ketakutan dia berbicara dengan terburu-buru.

“Ayo! Kita harus bersembunyi! Aku ketahuan! Aku mencuri dompetnya Mas Ikhsan pembimbing!” jelasnya cepat.

“Mas Ikhsan! Gila kamu, Ri!”

“Mana aku tau kalau itu Mas Ikhsan!”

“Kok bisa ketahuan!”

“Kalian tahu kan? Mas Ikhsan tuh seperti apa! Mendingan kita sembunyi sekarang juga sebelum Mas Ikhsan mencium bau kita.” Kita pun berlari dan bersembunyi di tumpukan sampah.

Sudah setengah jam kita menunggu. Sepertinya sudah tidak ada tanda-tanda Mas Ikhsan berada. Rio pun mengecek keadaan. Akhirnya kita menunggu Rio. Rio tak kunjung datang, padahal sudah satu jam kita menunggu. Ingat pesannya kalau kita tidak boleh meninggalkan tempat itu, akhirnya tidak ada pilihan lain selain menunggu. Hingga kita tertidur di tumpukan sampah.

Terdengar suara membangunkan. Bukan suara Rio, tapi suara asing. Ternyata itu suara seorang pemulung, yang membangunkan kita bertiga. Matahari sudang mulai meninggi. Berarti Rio belum juga datang dari tadi malam. Hingga akhirnya sampai sore kita tidak makan. Dan Mario berniat untuk mencuri untuk membeli makan dan minum kita berempat.

Aneh! Tiba-tiba kakiku tidak bisa digerakkan, sedang teman-temanku berjalan meninggalkanku. Tidak lama, seseorang menabrakku. BRUK! Aku terjatuh, orang itu membantuku untuk berdiri. Orang itu menatapku lekat-lekat. Ternyata itu Mas Ikhsan. Mas Ikhsan memaksaku untuk memberitahu keberadaan teman-teman yang lain. Belum sempat aku menjawab, teman-temanku yang menyadari bahwa aku tertinggal, kembali dan mencariku sehingga bertemu dengan Mas Ikhsan yang sedang menangkapku. Akhirnya kita kembali ke pondok.

Kita berlima disidang di depan banyak pembimbing pondok dan akhirnya di depan pak kyai. Kita berlima diberi kesempatan untuk berubah. Aku kira kita berlima akan langsung dikeluarkan dari ponok, karena sudah terlampau sering kita melanggar aturan pondok dan yang terakhir kabur lebih dari seminggu ditambah lagi mencuri. Akhirnya kita dihukum setoran surat-surat khusus dan juz satu.

Aku selesai lebih awal dari pada yang lainnya. Sebenarnya aku sudah menghafal sampai jus sembilan waktu aku SMP di pondok yang dulu. Sekarang aku tidak menghafal lagi dan berubah menjadi anak yang tidak taat aturan. Aku bingung. Teman-teman ku selain Mario, Rio, Ivan dan Ahmad sudah tidak berminat lagi berteman denganku. Aku merasa sendiri. Sedang kita berlima sibuk dengan hukuman dan dipaksa  untuk tidak saling bertemu sampai kita sadar.

Waktu istirahat pun tiba, aku duduk  melamun sendiri di dalam kelas. Entah dari mana, Rio masuk mendatangi mejaku.

“Kenapa kamu keliatan frustasi, bro?” tanyanya santai tanpa beban.

“Bukannya kau juga merasakan beban yang sama. Kenapa kau bisa tetap bahagia begitu, Ri?”

“Jangan dibawa beratlah, bro” jawabnya santai “Oh ya, aku punya obat nih. Obat penenang. Nanti kalau mau tidur diminum, Muh”

“Obat apa ini? Jangan-jangan...”

“Apaan sih! Memangnya aku setega itu. Itu hanya obat penenang biasa, semacam obat tidur makanya minumnya kalau mau tidur aja. Lumayan nih aku, agak ngeringanin beban” jelasnya sambil megusap-usap lehernya “Aku balik ke kelas dulu ya. Kita kan belum boleh ngumpul kan? Kalau begitu sampai jumpa”

Malamnya aku memandang cermin yang ada di dalam lemariku. Semua teman-temanku sudah terlelap. Aku menyediakan segelas air. Aku ingin mencoba obat yang diberi Rio tadi pagi di kelas. Sebenarnya aku agak ragu, tapi mana mungkin dia tega memberi narkoba. Kemudian, baru saja aku memasukkan obat itu ke mulut, tiba-tiba pintu terbuka. Mengagetkan beberapa temanku yang sedang tertidur dan juga diriku yang mematung memegang kantong berisi obat itu. Mas Ikhsan dan pembimbing lain sudah menangkap Rio, Ahmad, Mario dan Ivan. Kata Mas Ikhsan obat itu adalah sejenis narkoba, dan kita berempat telah dibohongi oleh Rio.

Besoknya kita berlima dibawa ke rumah sakit untuk cek darah. Hasilnya positif. Rio, Ahmad, Mario dan Ivan memakai zat adiktif narkoba. Sedangkan hasilku menyatakan bahwa darahku tidak pernah terkena barang haram itu. Ternyata mereka telah memakan barang haram itu selama seminggu. Itu berarti aku adalah orang terakhir yang diberi obat oleh Rio. Padahal tadi malam aku mencoba satu,  tapi kenapa hasilnya nihil?

Sidang pun diselenggarakan. Mereka berempat dikeluarkan dari pondok dan sekolah, sedang aku mendapat skorsing  tiga hari dan disuruh membantu di dalemnya Pak Kyai. Setelah pulang dari menjalani sidang, aku tertidur di Mushola Sakan. Aku bermimpi bertemu kakek berjenggot  itu lagi. Kakek itu melepaskan tanganku dari gengggamannya dan pergi dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Matanya mengatakan bahwa kakek itu percaya kepadaku. Kakek itu pun menjauh dan menjauh hingga hilang  ditelan cahaya.

Aku terjaga. Tenggorokanku sakit, sakit sekali. Rasanya ada sesuatu di dalam tenggorokanku yang mencekikku. Perutku seperti dipukul-pukul sehingga rasanya ingin memuntahkan segala yang ada di perut. Sakitnya pun terus bertambah, sampai-sampai aku berteriak mengadu kesakitan. Seseorang lari dari arah luar menuju Mushola Sakan. Sepertinya pembimbing pondok yang sedang berkeliling. Dia sepertinya panik dan keluar lagi. Dan kembali bersama Pak Zaki.  Beberapa kali punggungku ditepuk keras oleh Pak Zaki.  Kemudian darah keluar dari mulutku dan samar-samar aku melihat sebutir pil keluar bersama darah tersebut. Aku merasa kejadian muntah darah itu berlangsung lama hingga aku tidak sadarkan diri.

Aku terbangun di kamar pembimbing. Setelah aku mandi dan sholat shubuh berjama’ah, aku langsung disuruh menemui Pak Zaki di dalemnya. Aku ditanyai banyak hal. Apa saja yang aku lakukan saat kabur dari pondok, memakan apa saja, sampai aku meminum obat yang diberi Rio dan hasil negatif pada waktu cek darah, semuanya aku ceritakan. Pak Zaki pun manggut-manggut.

“Itu tandanya kamu masih diberi kesempatan sama Allah, Muh” ucap Pak Zaki

 “Oh ya, saya jadi ingat. Dulu saya pernah bertemu sama teman saya. Kata beliau punya anak di sini. Dulunya menghafal Al-Qur’an, mungkin masih sekitar juz lima atau tujuh. Namanya Muhammad. Ya, yang namanya Muhammad kan banyak, yang ditahfidz juga banyak. Saya kira salah satunya mungkin ada di situ” tambah Pak Zaki

“Kamu dulu tahfidz tho? Sudah sampai juz berapa, Le?” tanya Pak Zaki

“Juz sembilan, Pak”

“Sudah banyak. Mulai hari ini dilanjutkan ya, Le? Panggilanmu sopo?

“Simuh, Pak”

“Mau pindah ke tahfidz, Muh?”

Nggih, Pak.”

“Masih diskorsing kan?”

Nggih.”

Sesuk setoran karo aku yo” ucap Pak Zaki sambil tersenyum dan menepuk pundakku.

Aku merasa, malam ini sangat berbeda. Setelah perbincangan di waktu subuh itu. Aku merasa seperti mendapatkan oksigen yang bertubi-tubi, sehingga jiwaku dapat menghembuskan nafas kelegaan. Aku menatap cermin yang menempel di pintu lemariku, terlihat bayangan seseorang yang sangat berantakan. Aku mengambil gunting di atas lemariku dan merapikan rambutku ikalku yang mulai menyentuh leher. Juga merapikan kumis dan jenggot. Jenggot? Aku jadi  teringat dengan kakek tua itu. Aku ingin tahu dari mana asal kakek berjenggot itu, sehingga mewariskanku beberapa helai jenggot yang sekarang mulai tumbuh di daguku.

Izzah Yusuf, Siswi kelas X MA Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, aktif di komunitas Sastra Menjangan, Ekskul Unggulan MA Ali Maksum Krapyak.


Terkait