Oleh Abdullah Alawi
Siang yang panas. Matahari yang culas. Cahaya yang ganas. Orang-orang berkeringat meski dalam ruangan. Orang-orang malas keluar takut kepalanya terpanggang. Meski demikian, entah kenapa ada hendak aku untuk keluar berjalan-jalan menyusur lorong-lorong kecil, trotoar-trotoar sempit, jalan-jalan kumuh, pasar-pasar tradisional, atau pasar kambuhan. Pokoknya jalan-jalan.
Sebenarnya aku berjalan dengan ragu-ragu dan tidak bersemangat, tapi perasaan ingin berjalan terus-menerus memompaku untuk berjalan. Dan kaki ini pun terus saja berjalan. Akhirnya, sampai juga aku ke sebuah pasar tradisional. Pasar yang kumuh dan becek. Sampah beronggok-onggok dari sisa sayuran busuk dan plastik. Lalat-lalat hijau mondar-mandir dari sampah-sampah buah-buahan, sisa makanan, bangkai tikus, tukang daging kemudian hinggap di makanan, hidung orang. Anjing kurap mengorek-orek sisa makanan yang dibuang dari warung makan. Kucing liar mengendus-endus. Orang gila mengais-ngais tong sampah mencari puntung. Pemulung mencari plastik bekas dan cangkang air mineral. Tukang becak berjajar menunggu penumpang sambil terkantuk-kantuk. Pedagang dan penjual berebut harga. Tukang kuli panggul bolak-balik mengantar dan mengambil barang. Pencopet mengintip yang lengah. Suara kondektur memekik menantang siang. Mesin meraung-raung di antara mobil yang tersendat-sendat. Tukang asongan dan pengamen bergiliran mengais re
jeki dalam bis. Pengemis menengadahkan tangan. Polisi lalu lintas memaki angkot yang ngetem sembarangan sambil sesekli meniup pluit. Di bawah sinar matahari.
Tenggorakanku kering kerontang. Haus begitu menyengat. Aku mendekati seorang tukang es cendol pikul yang sedang duduk di kursi kecilnya sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan topi lusuhnya. Di mukanya tampak garis-garis kelelahan. Aku memesan satu gelas. Dia mulai menuangkan cendol ke dalam gelas. Aku menunggu. Air liurku sudah berlelehan. Tukang cendol menyerahkan gelas itu. Dia mulai mengipas-ngipaskan topi lusuhnya kembali. Aku mulai menyeruput. Rasa dingin merayap menyusur tenggorokan. Dingin itu begitu terasa hingga pori-pori.
Di pojok pasar itu kumelihat orang yang berkerumun. Kumelihat orang yang satu saperti berkata-kata sambil menudingkan telunjuknya kepada orang yang di hadapannya. Orang-orang di belakangnya ikut menuding-nuding. Sedangkan orang yang di hadapannya tidak kalah garangnya mengeluarkan kata-katanya pula sambil menuding-nuding, sementara tangan kirinya berkacak pinggang. Orang di belakangnya menyeringai. Di bawah sinar matahari.
Kemudian seperti ada yang menggerakan, beberapa orang berlari ke arah kerumunan itu. Kemudian beberapa orang masuk lagi ke kerumunan itu. Kemudian beberapa orang masuk juga ke kerumunan itu. Kemudian orang yang berpakaian hitam dengan tergopoh-gopoh masuk ke kerumunan itu. Kemudian beberapa orang yang berpakaian kuning tergesa-gesa masuk ke kerumunan itu. Kemudian orang yang berpakaian merah sambil berteriak masuk ke kerumunan itu. Kemudian orang yang berpakaian biru masuk ke kerumunan itu. Kemudian orang yang berpakaian ungu masuk ke kerumunan itu. Kemudian orang yang berpakaian hijau masuk ke kerumunan itu. Kemudian orang yang berpakaian putih masuk ke kerumunan itu. Kemudian orang yang bepakain lusuh masuk ke kerumunan itu. Kemudian orang yang berpakaian tanpa warna masuk ke kerumunan itu. Kemudian orang yang tidak berpakaian masuk ke kerumunan itu. Orang-orang menyatu dalam kerumunan itu. Di bawah sinar matahari.
Kerumunan itu menyeret perhatian orang-orang di pasar itu. Orang yang sedang tawar-menawar berlari. Pembeli kabur. Ibu-ibu menjerit. Anjing menjauh. Orang gila tertawa. Pemilik toko dengan gesitnya menutup toko. Di bawah sinar matahari. Kemudian ada beberapa orang yang menyusup. Orang itu membisikan sesuatu pada orang di dekatnya. Orang-orang semakin berjejalan. Orang-orang semakin berdesak-desakan. Orang yang terinjak kakinya memaki orang yang di sampingnya. Orang yang dimaki membalas dengan memaki. Mereka waspada dan siap-siap. Bau sengak keringat menyengat. Keringat berlelehan. Suara-suara tak jelas keluar dari kerumunanan itu. Mendesis seperti ribuan tawon hijrah. Di bawah sinar matahari.
Aku masih saja menghirup sisa cendol sambil memperhatikan kerumunan itu dari kejauhan. Aku memesan satu gelas lagi. Haus belum juga hilang. Tiba-tiba kumelihat di kerumunan itu orang sebelah kiri menyiku orang yang di sebelah kanannya. Orang kanan membalas dengan tak kalah hebatnya. Orang yang di belakang menendang orang yang di depannya. Orang yang di depan berbalik, kemudian melayangkan tinjunya. Orang-orang berteriak sambil menyerang orang yang ada di dekatmya. Mereka semakin kalap. Menyerang dan diserang. Di bawah sinar matahari.
Kemudian beberapa orang lagi berlari ke arah kerumunan itu sambil berteriak. Sementara akau mulai minum cendol dari gelas kedua yang disodorkan si tukang cendol. Di bawah sinar matahari.
Orang-orang di kerumunan itu semakin beringas. Mereka saling menendang, saling memukul, saling menangkis, saling menyerang, saling memekik, saling mengerang, saling meregang. Saling menjengkang. Terkapar. Di bawah sinar matahari.
Kemudian suara letusan peluru.
Orang-orang yang berpakaian seragam melepaskan tembakan ke udara. Polisi memang datang selalu terlambat. Seperti di film-film. Orang-orang tak mempedulikannya. Pak polisi kalap. Pistol itu meletus kembali. Peluru melesat ganas. Tapi tidak ke udara. Tubuh seorang yang berpakaian tanpa warna rubuh. Darah mengucur dari punggungnya. Mulutnya memekik keras. Orang-orang yang berkerumun pontang-panting membubarkan diri. Sementara orang yang sudah kepalang adu jotos tak menghiraukan semua itu. Sementara aku masih menyeruput cendol untuk mengusir kering. Di bawah sinar matahari.
Tukang cendol masih mengipas-ngipaskan topi lusuh ke tubuhnya.Kulihat di bekas kerumunan itu ada beberapa tubuh yang terbujur kaku bersimbah darah. Ada juga yang mengerang-ngerang meminta pertolongan. Ada yang tak sadarkan diri. Polisi begitu sibuk dengan hpnya. Beberapa orang yang tak sempat melarikan diri dicekal orang-orang berseragam itu untuk dimintai keterangan. Tak lama kemudian dari kejauhan terdengar mobil ambulan meraung-raung. Sementara aku baru saja menghabiskan cendol gelas kedua. Aku cuma berkata dalam benak, begitu cepat nyawa tercerabut dari raga seperti mencabut rambut dalam adonan tepung. Begitu cepat orang terpengaruh bisikan. Lamanya meregang nyawa sama dengan menghabiskan dua gelas cendol. Begitu singkatnya!
Ah..., tenggorokanku tidak kering lagi. Lumayan mengusir gerah. Tubuhku segar. Tapi aku tak punya uang sepeser pun untuk membayar dua gelas cendol yang sudah lenyap. Aku pura-pura mengodok saku celanaku seperti orang yang hendak mengambil uang. Tapi yang kudapatkan hanya sekepal tinju. Kemudian tinju itu kukeluarkan perlahan-lahan. Kemudian aku ayunkan ke muka si tukang cendol sambil berteriak, “Terimalah tinjuku. Dua gelas lunas.”
Tukang cendol jatuh dari kursi kecilnya hingga tak sadarkan diri dengan muka penyok kebiruan. Darah meleleh dari bibirnya. Topi lusuhnya lepas beberapa meter. Di bawah sinar matahari.
“Terima kasih, ya, kataku,” sambil berlalu untuk melanjutkan jalan-jalanku lagi menyusuri lorong-lorong kecil, trotoar-trotoar sempit, jalan-jalan kumuh, pasar-pasar tradisional, atau pasar kambuhan. Aku mencari kerumunan. Lalu aku mencari tukang cendol yang sedang mengipas-ngipaskan topi lusuhnya. Di bawah sinar matahari.
Penulis adalah warga NU kelahiran Sukabumi