Nasional

Film Mereka Kembali: Menelusuri Perjalanan Heroik Long March Divisi Siliwangi

Ahad, 19 Januari 2025 | 13:29 WIB

Film Mereka Kembali: Menelusuri Perjalanan Heroik Long March Divisi Siliwangi

Tangkapan layar video YouTube alah satu scene dalam flm 'Mereka Kembali'.

Jakarta, NU Online
Film Mereka Kembali dirilis pada tahun 1972 dengan durasi 129 menit. Disutradarai oleh Nawi Ismail, film ini dibintangi oleh beberapa aktor terkenal seperti A Hamid Arief, Aedy Moward, Arman Effendy, Budi Schwarzkrone, dan lainnya.


Film ini mengisahkan tentang Long March (kembalinya) Divisi Siliwangi dari Yogyakarta menuju Jawa Barat, sesuai perintah Panglima Besar Jenderal Sudirman, setelah Belanda menyerang Yogyakarta pada 19 Desember. Serangan ini menandai dimulainya Agresi Militer Belanda II, yang Belanda sebut sebagai Operasi Gagak, setelah mereka membatalkan Perjanjian Renville.

 

Divisi Siliwangi berada di Yogyakarta sebagai hasil dari Perjanjian Renville, yang mengharuskan TNI menarik diri dari wilayah yang dikuasai Belanda setelah Agresi Militer Belanda I. Perjanjian yang berlangsung di atas Kapal Renville pada 18 Januari 1948 menjadi solusi damai untuk perang tersebut.

 

Cerita dimulai dengan adegan pasukan Divisi Siliwangi yang sedang mandi di sungai dan bercanda di Yogyakarta. Tiba-tiba, mereka melihat pesawat tempur yang mereka kenali sebagai milik Belanda. Selanjutnya, film menunjukkan perjuangan TNI AU dalam mempertahankan Lapangan Terbang Maguwo (sekarang Lapangan Udara Adi Sucipto), dan menyusul perintah kilat dari Jenderal Soedirman agar pasukan meninggalkan Yogyakarta sebelum malam.

 

Sebagian besar pasukan Divisi Siliwangi membawa keluarga mereka saat hijrah. Namun, saat Long March, mereka harus berjalan kaki melintasi hutan, gunung, sungai, dan lembah, menghindari sergapan Belanda. Beberapa cerita dalam film ini mencerminkan kenyataan sejarah, seperti banyaknya anak-anak yang hanyut terbawa arus sungai. Selain itu, rombongan ini diserang oleh pesawat Mustang dan artileri.

 

Film ini juga fokus pada Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Mayor Parman dan Letnan Priyatna. Ketika sebagian pasukan berhasil melintasi jembatan, beberapa masih tertahan, termasuk Letnan Priyatna. Di saat genting, seorang prajurit, Udin, harus menghadapi keadaan darurat karena istrinya hendak melahirkan, sementara tentara Belanda mendekat.

 

Konflik berlanjut saat pasukan Divisi Siliwangi merencanakan serangan terhadap pos penjagaan Belanda demi menyelamatkan pengungsi. Dalam serangan itu, beberapa prajurit gugur, termasuk Udin. Beberapa prajurit lainnya, seperti Amin, terluka parah dan akhirnya memilih untuk ditinggalkan agar dapat menghadang gerak pasukan Belanda.

 

Sementara itu, dalam film ini juga diceritakan bagaimana ada pengkhianatan dari bangsa sendiri yang berpihak pada Belanda, salah satunya seorang lurah yang bekerja sama dengan Belanda. Namun, ada juga mereka yang setia pada republik, memberikan informasi penting kepada Divisi Siliwangi.

 

Sesampainya di Jawa Barat, mereka menghadapi tantangan besar, bukan hanya dari Belanda, tetapi juga dari kelompok Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII). Perundingan dengan DI/TII berakhir dengan kegagalan, dan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Priyatna diserang. Mereka juga terjebak dalam sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang lurah yang pro-DI/TII.

 

Di akhir perjalanan, Letnan Priyatna dan pasukannya terlibat dalam pertempuran sengit, baik melawan Belanda maupun DI/TII. Meskipun pasukan Letnan Priyatna akhirnya kembali ke markas, pertempuran tak terhindarkan, dan beberapa prajurit, termasuk Letnan Priyatna dan Letnan Anwar, gugur dalam pertempuran tersebut.

 

Film ini juga tidak hanya berfokus pada peperangan, tetapi juga menyajikan momen kelucuan, seperti perilaku intel Belanda yang digambarkan sebagai tokoh yang bodoh. Ada juga kisah cinta antara Letnan Priyatna, meskipun tidak terlalu ditonjolkan. Salah satu aspek menarik adalah adanya tentara Belanda yang bergabung dengan Divisi Siliwangi, seperti Poncke Princen, meski tidak dijelaskan dalam film.

 

Meskipun film ini dimulai dengan konfrontasi melawan Belanda, puncak konfliknya justru terjadi ketika Divisi Siliwangi harus menghadapi pengkhianatan dari kelompok bangsa sendiri, yaitu DI/TII. Meski beberapa tokoh dalam film ini tidak ditemukan dalam catatan sejarah, cerita yang disajikan mencerminkan perjuangan nyata yang dialami Divisi Siliwangi.

 

Aspek teknis film ini juga patut diapresiasi, dengan adegan peperangan yang sangat realistis, seperti pesawat Mustang, suara tembakan, dan ledakan artileri yang terkesan nyata. Hal ini membantah pandangan bahwa film-film dari era tersebut tidak memperhatikan kualitas visual yang memadai.

 

Meskipun banyak film zaman Orde Baru yang berfokus pada kepahlawanan TNI, perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan tidak hanya dilakukan oleh satu golongan. Terdapat banyak elemen masyarakat, termasuk sipil dan santri, yang turut berperan. Film ini memberikan nilai pelajaran penting bagi generasi sekarang, yang sebaiknya menontonnya di tengah minimnya film bertema perjuangan kemerdekaan pada masa kini.