Cerita Pendek Malik Ibnu Zaman
Masjid kampungku sudah berdiri 30 tahun lamanya dan entah sudah berapa banyak orang yang pernah shalat di dalamnya. Kampung bergeliat penuh semangat, orang berbondong-bondong menyumbang tatkala masjid akan dipugar. Kini masjid menjadi lebih megah, kubahnya mengkilat keemasan, menaranya tinggi menjulang ke langit, membuat siapa pun akan takjub tatkala melihatnya. Karpetnya pun bak permadani, mimbar dan bedugnya terbuat dari kayu jati pilihan.
Namun sayang, di balik kemegahannya, terdapat kekosongan yang menyesakkan: masjid sepi melompong, jamaah shalat hanya bisa dihitung dengan jari. Penuh sesak hingga meluber ke halaman hanya ketika Shalat Jumat dan Shalat Id. Entahlah ini salah siapa, semuanya serba kemungkinan, bisa jadi ini disebabkan oleh pengurus masjid yang abai terhadap fenomena tersebut, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi, dugaanku, yang pasti ini disebabkan oleh rasa malas yang hinggap pada diri manusia.
Jauh sebelum masjid berdiri, terdapat sebuah mushala, masyarakat menyebutnya dengan nama langgar. Berbagai aktivitas keagamaan dilakukan di tempat tersebut, bukan hanya untuk tempat shalat. Selain itu juga tua, muda berbondong-bondong meramaikan langgar. Ketika berdiri masjid, aktivitas keagamaan pun beralih dari langgar ke masjid.
Baca Juga
Golok Penghabisan
Perlahan-lahan tapi pasti, langgar pun sepi tidak berpenghuni, kentongan mulai digerogoti rayap, karpet berdebu tebal membuat siapa pun tidak betah untuk bersujud. Dindingnya pun cemberut menampakkan muramnya yang begitu kusam, sebab tidak ada yang mau mampir. Atap seng pun bolong sana sini, penuh dengan karat, jaring laba-laba tersebar di setiap sentinya. Tetapi setidaknya masih ada yang shalat di situ, meskipun hanya tiga orang, itu pun hanya di waktu Maghrib, Isya, dan Subuh.
Setelah masjid kini menjadi megah, konflik di dalam pengurus masjid terjadi, mereka terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama menghendaki bahwa masjid bukan hanya dijadikan sebagai tempat shalat, tetapi juga ikut turut serta mengadakan kegiatan yang mencerdaskan masyarakat.
"Selama ini kan tema-tema pengajian pagi hanya itu-itu saja, tema-tema sedekah terus diulang-ulang, bagaimana masyarakat tidak bosan coba? Carilah tema-tema yang lain, misalnya fiqih, tasawuf, tauhid," ujar Ustadz Naim pada rapat pengurus masjid.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ustadz Fiqi, "Begitu juga dengan Khutbah Jumat, jangan hanya sekadar memenuhi rukun khutbah. Tetapi harus ada pesan yang bisa ditangkap oleh jamaah."
Baca Juga
Aku Ingin Menjadi Atlet Lari Kursi Roda
Rapat malam itu benar-benar sangat alot, pengurus masjid terpecah menjadi dua, sebagian pro, sebagian lagi kontra. Mereka kekeh dengan pendapatnya masing-masing.
"Apa kalian yakin dengan ide-ide kalian? Nanti jangan-jangan kegiatan semacam itu bertahan cuman dalam hitungan hari saja. Masa iya pengajian dilakukan setelah Shalat Maghrib, di mana-mana juga pengajian dilakukan setelah Shalat Subuh," kata ketua pengurus masjid, Ustadz Udin.
"Itu justru waktu yang efektif, waktu jeda antara Shalat Maghrib dengan waktu Shalat Isya yang sekitar 40 menit bisa dimanfaatkan untuk pengajian. Pengajian setelah Shalat Subuh juga tetap akan dilakukan, yang selama ini dilakukan bolong-bolong, akan dimasifkan lagi," timpal Ustadz Naim.
Semakin malam, perdebatan semakin meruncing. Rapat pengurus masjid malam itu tidak menghasilkan suatu apa pun. Keesokan harinya, bagai kilat yang menggelegar dengan cepat, perdebatan sengit yang terjadi di rapat pengurus masjid semalam menyebar luas, ibu-ibu dan bapak-bapak membicarakannya dengan penuh serius.
Baca Juga
Percakapan-percakapan yang Tertinggal
"Saya setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Ustadz Naim dan Ustadz Fiqi. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang masih memiliki anak sekolah, tentu pagi hari adalah waktu yang sibuk, jadi tidak sempat untuk ikut mengaji setelah Shalat Subuh," ujar Itoh di teras warungnya.
"Tema-tema yang selama ini dibahas oleh beberapa ustadz juga tentang sedekah-sedekah terus. Sedekah juga baik, tetapi kita sebagai orang awam juga ingin tema-tema yang lain, kita ingin tahu tentang shalat yang benar seperti apa, wudhu yang benar seperti apa," kata Asih.
"Selama ini kan setelah Shalat Jamaah Maghrib di masjid langsung pulang. Seringnya mau balik lagi ke masjid untuk Shalat Jamaah Isya menjadi malas," timpal Cusi.
Pak Ijung yang sedari tadi sibuk menggembala kambingnya di tanah lapang samping warung Itoh, diam-diam ia mendengarkan apa yang dibicarakan oleh ibu-ibu. Dalam relung hatinya ia sangat setuju dengan ide-ide brilian dari ustadz muda seperti Naim dan Fiqi, sudah saatnya generasi tua menyerahkan kepada generasi muda.
Baca Juga
Tragedi Ciliwung
Konflik kepengurusan masjid semakin meruncing, Ustadz Naim yang nekad mengadakan pengajian setelah Shalat Maghrib, mic-nya dimatikan oleh ketua pengurus masjid. Hal serupa juga dialami oleh Ustadz Arif, belum sempat ia menyelesaikan pengajian, suara bedug ditabuh dengan kencang. Mirisnya lagi, ia malah difitnah telah menggelapkan uang. Tentu orang-orang tidak mempercayainya, sebab ia orang yang terkenal akan kejujurannya.
"Sebaiknya posisi kita berada di mana?" tanya cucuku yang duduk di bangku kuliah tatkala makan malam.
"Posisi di tengah lebih baik, jangan memihak kepada siapa-siapa, jangan memusuhi siapa-siapa," jawabku.
Akhirnya Ustadz Naim, Ustadz Fiqi, Ustadz Arif, dan beberapa orang yang lain keluar dari kepengurusan masjid, lebih tepatnya dikeluarkan. Mereka kemudian mengaktifkan langgar yang telah lama terbengkalai. Dalam waktu singkat langgar kini ramai oleh jamaah, bukan hanya orang tua saja. Kini karpet langgar tak bau seperti dulu, lumut-lumut di dinding pun sudah tidak ada lagi, speaker dengan suara lantang pun dipasang.
Baca Juga
Obrolan di Teras Mushala
Di samping langgar kini juga telah dibangun ruang kelas untuk para anak-anak kampungku belajar kitab kuning di jam 1 sampai jam 4. Bukan hanya ruang kelas saja, tetapi juga dibangun aula untuk para anak-anak mengaji Al-Qur’an selepas Shalat Maghrib dan mengaji Nahwu setelah Shalat Isya.
Melihat hal itu aku merasa senang, sebab semangat geliat keagamaan di langgar kampungku meningkat, kini aku tak lagi shalat sendiri di langgar. Selama berpuluh tahun aku sering adzan sendiri, iqamat sendiri, sholat sendiri, sebab menunggu lama tidak ada yang datang. Aku juga jadi teringat kenanganku di langgar tersebut di tahun 1970-an semasa mengaji.
Awal-awal aku agak khawatir keramaian langgar tidak akan bertahan lama, hanya bertahan sesaat saja. Kekhawatiran lainnya adalah jangan-jangan para ustadz mau mengurus langgar karena ego, sebab mereka tersingkir dari kepengurusan masjid. Pikiran-pikiran tersebut terus menghantui diriku selama beberapa bulan, aku khawatir langgar akan kembali mati suri seperti dulu.
Untungnya kekhawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan, sampai dengan saat ini, sudah empat tahun langgar terus menebarkan semangat keagamaan. Kemudian aku bisa bernafas lega juga, sebab konflik tersebut tidak sampai mengakibatkan Shalat Jumat berada di dua tempat, Shalat Jumat tetap di masjid tentunya.
Baca Juga
Bersepeda di Kota yang Membeku
Lalu bagaimana dengan keadaan masjid? Sama seperti dulu, jamaah shalat tetap sedikit. Pada akhirnya pengurus masjid menyesal telah membuang orang-orang seperti Ustadz Naim, Ustadz Fiqi, Ustadz Arif. Upaya rekonsiliasi telah diupayakan, namun sampai sekarang belum mencapai titik temu.
"Apakah jika rekonsiliasi terwujud, langgar akan kembali mati suri?" tanya cucuku, membangunkan lamunanku di teras rumah.
"Entahlah. Semoga saja langgar akan terus hidup," jawabku singkat.
"Apakah rekonsiliasi harus?" tanya cucuku lagi.
"Memaafkan itu harus."
"Hadeeh pusing, ternyata konflik dan kubu-kubuan bukan hanya terjadi pada tingkatan politik. Tetapi juga di semua tingkatan dan lini," ujar cucuku sambil berlalu masuk ke dalam rumah.
Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal Jawa Tengah, kontributor NU Online. Malik menulis sejumlah cerpen dan esai yang tersebar di beberapa media online.