Cerpen

Kutukan Sunan Amangkurat

Ahad, 3 November 2024 | 19:00 WIB

Kutukan Sunan Amangkurat

Ilustrasi peperangan pada masa kerajaan (Foto: artnet.com)

Pasukan Raden Trunajaya dari Madura berhasil merangsek masuk ke ibu kota kesultanan. Istana Plered, tempat kediaman Sunan Amangkurat I yang terkenal kesukarannya untuk ditembus, berhasil diduduki dengan mudah.


Sang Raja yang terkenal akan kekejamannya itu terombang-ambing dalam pelarian, menghindari kejaran pasukan Raden Trunajaya. Putra Sultan Agung ini tentu tidak menyangka akan gagal mempertahankan kerajaan yang telah diperjuangkan oleh mendiang ayahnya dengan darah dan air mata.


Tubuhnya yang sudah ringkih digerogoti umur dan sakit-sakitan, membuat pelariannya ini terasa begitu berat. Ditemani beberapa orang pengawal dan abdi dalem, serta Putra Mahkota, Raden Mas Rahmat menuju arah Barat, tepatnya Batavia meminta bantuan kepada VOC. Baginya itu adalah hal yang realistis, sebab hanya VOC lah yang mampu menandingi ketangguhan pasukan Raden Trunajaya.

 

Di daerah Wanayasa, Sunan Amangkurat I semakin parah sakitnya. Pimpinan rombongan Raden Mas Rahmat pun meminta rombongan untuk berhenti sementara waktu sampai kesehatan Sultan Mataram Islam itu benar-benar pulih.


"Mungkin Sinuhun Sultan Agung sekarang di alam kubur sedang menyesali keputusannya menjadikan Sunan Amangkurat I sebagai pewaris tahta," ujar seorang prajurit tamtama yang ikut serta dalam rombongan kepada kawannya.


"Huss, jangan keras-keras, pelankan suaramu, bisa-bisa nanti kita dipancung sama Raden Mas Rahmat," ujar kawannya.


"Aku ini enggak terima, Kang, dipimpin raja zalim. Kata bapakku, Sinuhun Sultan Agung itu mati-matian menolak kerja sama dengan VOC. Lah sementara anaknya, malah kerja sama dengan bangsa kulit putih jangkung. Mbahku itu salah satu prajurit yang gugur dalam penyerbuan ke Batavia."


"Sabar, sabar. Sunan Amangkurat kan sudah sepuh dan sakit-sakitan. Kita doakan saja semoga penggantinya bisa seperti Sinuhun Sultan Agung."


"Mustahil, Kang. Raden Mas Rahmat sama saja kelakuannya."


Dalam tendanya Raden Mas Rahmat tampak merasa cemas. Ia berulang kali mondar-mandir. Statusnya sebagai Putra Mahkota bisa saja tergeser. Sebab jika kedua saudaranya, Pangeran Puger atau Pangeran Singasari yang berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya, maka merekalah suksesi tahta Mataram Islam. Akan tetapi, jika ayahanda wafat sebelum kedua saudaranya berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya, tahta akan jatuh ke tangannya.


Dalam perjalanan ini memang berulang kali Sang Ayahanda berpesan jika wafat agar dimakamkan di Tegalwangi, di samping makam gurunya Tumenggung Danupaya. Tetapi hingga sampai di Wanayasa, meskipun sakitnya semakin parah, tak ada tanda-tanda bakal menghembuskan napas terakhir. Itulah yang membuat Raden Mas Rahmat terbesit pikiran untuk meracun ayah kandungnya sendiri.


"Perwira, masuk."


"Inggih Gusti," ujar seorang perwira sambil membungkuk hormat.


"Tolong carikan ahli racun di daerah Wanayasa ini!"


"Siap, Gusti."


Sementara itu dalam tendanya Sunan Amangkurat I merasa tidak tenang. Ahir-akhir ini mimpi buruk selalu menghantuinya. Kilatan-kilatan peristiwa kelam masa lalu tiba-tiba muncul dalam benak pikirannya. Padahal ketika melakukannya dulu ia merasa tidak ada beban atau penyesalan.


Mula-mula ia bermimpi bertemu ayahnya. Namun, ayahnya tidak berucap satu patah kata apa pun, wajahnya menahan amarah. Lalu sang ayah pun menghilang dalam mimpinya, berganti dengan mimpi gunung yang tersusun dari kepala manusia yang penuh darah. Di puncak gunungan kepala terdapat wajah yang ia kenal, Raden Mas Alit, sang adik satu ayah lain ibu. Kini ia merasa gemetar.


Ia ingin berteriak, ingin meminta maaf, namun suaranya tercekat. Tumpukan gunungan kepala itu menghilang berganti menjadi jerit tangis kesakitan wanita dan anak-anak. Amangkurat I pun terbangun dari mimpi buruknya, keringat dingin sebesar biji jagung membasahi dahinya.


Amangkurat I merasa betapa besar dosanya, dari mulai menodai para wanita sewaktu masih remaja, membunuh adiknya sendiri, hingga membantai para ulama. Ia pun bertanya-tanya apakah Allah mau memaafkan dirinya. Ia pun teringat nasihat dari mendiang gurunya Tumenggung Danupaya bahwa ampunan Allah tidak terbatas, asalkan hamba-Nya mau bertaubat.

 

Dalam waktu singkat Raden Mas Rahmat telah mendapatkan racun yang ia butuhkan. Kini tinggal satu langkah lagi ia akan mencapai ambisinya untuk menjadi Raja Mataram Islam. 

 

Setelah berhasil membunuh ayahnya, ia akan pergi ke Batavia meminta bantuan VOC untuk menumpas Raden Trunajaya. Jika VOC berada di belakang dirinya, kedua saudaranya Pangeran Puger dan Pangeran Singasari tidak bisa menuntut tahta Mataram Islam.

 

Pagi-pagi ia sudah berada di depan tenda dapur. Ketika seorang dayang keluar dari tenda dapur membawa makanan, Raden Mas Rahmat memerintahkan agar dayang itu tak usah mengantarkan makanan itu, biarkan dirinya saja yang mengantarkan.

 

Dayang itu menunduk patuh, lalu menyerahkan nampan makanan tersebut kepada Raden Mas Rahmat tanpa curiga sedikit pun. Dengan penuh kewaspadaan ia menengok kanan kiri, mengeluarkan botol berisi serbuk racun, lalu menuangkannya ke makanan dan minuman di nampan tersebut.

 

Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju tenda utama tempat ayahnya, Sunan Amangkurat I, beristirahat. Di dalam benaknya, rencana yang telah ia susun begitu matang mulai mendekati akhir. Hanya dalam beberapa detik setelah makanan tersebut masuk ke dalam mulut sanga ayah, akan memuluskan jalannya menuju tahta Mataram Islam.

 

Sesampainya di depan tenda ayahnya, Raden Mas Rahmat berhenti sejenak. Ia mengatur napasnya, memastikan tidak ada sedikit pun rasa gugup yang terlihat di wajahnya. Dengan senyuman kecil yang dipaksakan, ia masuk ke dalam tenda.


Sunan Amangkurat I sedang duduk di dipan, tampak letih dan murung. Wajahnya pucat, tampak jelas bahwa mimpi buruk yang terus menghantui pikirannya telah menggerogoti kesehatannya. Tanpa mengatakan apa-apa, Raden Mas Rahmat meletakkan nampan makanan di hadapan ayahnya.

 

"Ini makanan untuk Paduka, Ayahanda," ucapnya dengan suara tenang.

 

Sunan Amangkurat menatap putranya sejenak. Ada kelelahan di matanya, namun juga sedikit harapan. Mungkin, pikir Sunan, anaknya yang satu ini masih bisa diandalkan, masih bisa menunjukkan kasih sayang seorang putra di tengah situasi yang penuh dengan intrik dan pengkhianatan.

 

"Terima kasih, Nak," gumam Sunan Amangkurat pelan. Ia mengambil air kelapa di atas nampan dan mulai meminumnya perlahan.

 

Raden Mas Rahmat berdiri di sampingnya, memerhatikan setiap gerakan ayahnya dengan diam-diam. Ia merasa waktu berlalu seakan begitu lambat, detik demi detik rasanya bagai jam demi jam.

 

Akhirnya yang ditunggu-tunggu Raden Mas Rahmat tiba, racun itu bereaksi. Sunan Amangkurat I tiba-tiba terhuyung, tangannya gemetar, dan air kelapa terjatuh dari genggamannya. Wajahnya yang tadi penuh ketenangan kini berubah pucat, dan napasnya mulai tersengal-sengal. Ia mencoba mengangkat tangannya, seolah ingin meraih sesuatu, namun tubuhnya terlihat semakin lemah.

 

Di saat-saat terakhirnya, Sunan Amangkurat I menyadari kenyataan pahit bahwa putra yang ia harapkan bisa diandalkan, Raden Mas Rahmat, kembali mengkhianatinya. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mengerang dalam murka, menahan sakit yang meremukkan tubuhnya.


Di tengah sakaratul mautnya, ia mengutuk Raden Mas Rahmat dan turunannya bahwa kelak anak dan cucu Raden Mas Rahmat tidak akan bisa menjadi raja.

 

"Setelah aku dimakamkan, aku melarangmu dan keturunanmu untuk menziarahiku. Setelah kepergianku, tak satu pun dari anak cucumu akan menjadi Raja."

 

Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal Jawa Tengah. Malik, menulis sejumlah cerpen, puisi, resensi, dan esai yang tersebar di beberapa media online.