"A B C…" sebut satu di antara bocah-bocah itu dengan antusias mengawali tebak nama sembari menghitung dengan cara menyentuh lima jemari masing-masing satu tangan mereka diletakkan pada lantai kelas secara melingkar—berurutan. Karena mereka empat bocah, huruf T menjadi akhir hitungan. Maka mereka harus menjawab nama-nama—yang telah disepakati—dengan T sebagai huruf awalan. Untuk beberapa saat mereka terdiam, tampak berusaha memeras ingatan. Kemudian, terdengar seorang bocah berseru penuh kegembiraan:
"Toha!"
Bocah yang lain menimpali, juga dengan kencang dan riang, "Tablig!"
Sementara dua bocah tadi menekuk satu masing-masing jari mereka—karena telah berhasil menebak—, seorang bocah menyahut juga dengan suara lantang, "Tarim!"
Untuk beberapa saat terjadi kegaduhan atas apa yang baru saja diucapkan. Ya, mereka telah sepakat menebak nama-nama terkait Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, karena terpengaruh suasana Muludan yang tadi pagi diumumkan, bahwa sekolah ini akan memperingati hari kelahiran Kanjeng Nabi pekan depan. Selain Agustusan, Muludan menjadi kegiatan yang mereka nantikan. Karena mereka disuruh membawa rames yang, acap kali orang tua mereka membuatnya dengan menu spesial, untuk mereka nikmati seusai kegiatan—yang sebelumnya mereka suka saling mencicipi lauk alias thithil-thithilan. Apabila saat Agustusan kegiatannya berjalan keliling jalan di sekitar sekolah yang baik untuk kesehatan badan, kegiatan Muludan adalah pengajian yang acap diselingi kisah-kisah Kanjeng Nabi yang penuh nilai-nilai kebaikan sebagai teladan. Dan, sepengetahuan tiga bocah itu, kata Tarim tidak pernah disinggung, baik lewat pengajian Muludan atau mata pelajaran yang berkaitan dengan sejarah hidup Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Kendati demikian, si bocah yang menyahut tadi tampak tenang, sepertinya ia telah menduga bahwa teman-temannya akan bereaksi seperti itu dan ia telah menyiapkan penjelasan untuk mengatasi keberatan mereka.
Sementara itu, beberapa jarak dari mereka, seseorang yang sedang mengontel sepeda, sekonyong-konyong matanya tampak berkaca-kaca.
Bukan karena di siang ini, di bawah panas matahari selepas Zuhur, ia pulang dari tempat kerja dengan mengontel seped—biasanya ia mengendarai motornya, itu pun di waktu sore, ketika selain cuaca telah adem, awan dan cakrawala menyajikan keindahan suasana menjelang senja di musim ketiga yang sungguh sedap di mata.
Bulir-bulir air yang merembesi matanya itu karena ia haru campur gembira. Baru saja ia teringat satu peristiwa yang bermula dari kedatangan seorang teman di tempat kerjanya. Temannya itu memintanya mencetak beberapa lembar surat undangan untuk suatu kegiatan di musala. Seusainya, temannya yang memang kadang dolan ke situ, tidak langsung pulang, tetapi ngopi dahulu sembari hape-an sementara ia di depan komputer meneruskan bekerja.
Saat temannya itu pamit sembari mengulurkan selembar uang dengan maksud membayar ongkos cetak tersebut, ia menyatakan tidak usah membayar alias menggratiskannya. Bahkan, saat temannya itu bersikukuh menyerahkan lagi uang itu, tanggapannya tetap sama. Sementara itu benaknya berniat bahwa lembar-lembar kertas itu adalah urunannya untuk acara Muludan Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam di mushala tempat tinggal temannya.
Kendati itu bukan kali pertama turut urunan muludan, lantas apa yang menjadikannya haru-haru gembira saat ia teringat kejadian itu?
"Kalian tahu," kata si bocah, "beberapa hari lalu, negeri kita kedatangan seorang ulama dari Tarim, Yaman?"
"Ya," jawab seorang bocah. "Saya malah melihat beberapa potong videonya, banyak sekali yang menghadiri acaranya!”
Bocah yang lain menyahut, “Tapi apa hubungannya?”
"Bukankah dia seorang habib alias cucu Kanjeng Nabi?"
Tak bisa menyanggah dua bocah yang tadi gaduh itu tampak manggut-manggut seiring bocah yang satunya lagi mulai menyebut A dan seterusnya. Sementara itu di tempat yang berlainan pada saat yang hampir bersamaan beberapa orang membuka status nomor WA seseorang yang sama yang tersimpan di hape mereka. Saat terbaca status kata-kata berupa tanya: Siapa yang masyhur sebagai al-Amin yang berarti Yang Terpercaya? Serta merta mereka menjawab diiringi seuntai selawat—ada yang lewat benak ada yang lewat ucap: Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Beberapa hari lalu, pada saat dan tempat yang berlainan, di antara mereka juga membaca status dari nomor yang sama: Siapa yang diutus oleh Gusti Allah Ta’ala sebagai rahmat bagi seluruh alam? Mereka menjawab, ada yang lewat benak ada yang lewat ucap: Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
"Q…!"
"Qur’an!"
"Quraisy!"
Yang menjadikan ia haru-haru gembira, demikian benaknya, adalah kesadaran yang menyertainya seiring teringat kejadian tadi: bahwa Gusti Allah Ta’ala menakdirkan ia turut beramal baik yang kendatipun, secara materi, tampak sedikit, yakni beberapa lembar kertas undangan. Ia membayangkan, untuk menyelenggarakan pengajian Muludan di mushala kampung temannya tersebut, sebagaimana di kampungnya, banyak orang-orang yang turut berpartisipasi yang jumlahnya mungkin lebih banyak ketimbang dirinya: para panitia lewat pikiran dan tenaga, para dermawan berupa uang, juga ibu-ibu Muslimat dalam bentuk pacitan alias makanan. Tidak ketinggalan kehadiran orang-orang, terlebih bocah-bocah, yang datang menyangking selaksa kegembiraan. Akan tetapi, ini bukan soal sedikit-banyaknya urunan.
"O!"
"O?"
Untuk beberapa saat masing-masing mereka tampak tepekur, berusaha menjawab. Akan tetapi, karena sepertinya tidak ada nama yang terkait dengan Kanjeng Nabi yang diawali dengan huruf O, maka ia lanjut menghitung hingga berakhir pada D alias huruf ke-empat.
Lagi-lagi hening untuk beberapa saat, dan karena mereka tak kunjung menjawab, si penghitung hendak melanjutkan. Akan tetapi, belum sempat ia mengucap E, bocah yang beberapa saat lalu menjawab "Tarim" sekonyong-konyong berkata, "Diceritakan!"
Lagi-lagi terjadi kegaduhan.
"Lho kok diceritakan?"
"Diceritakan bahwa," demikian ia melanjutkan sembari mengingat-ingat bacaannya kemarin di perpustakaan, "pada suatu saat Kanjeng Nabi Muhammad…"
Sengaja ia menjeda kalimatnya dan menekankan pada kata Muhammad dengan satu maksud, dan maksudnya tercapai saat serta-merta bocah-bocah lainnya kompak menimpali dengan selawat: shallallahu alaihi wa sallam. Sementara itu, lagi-lagi mereka tidak bisa menyanggah, karena yang diceritakan adalah Kanjeng Nabi, junjungan tercinta, maka antusias mereka mendengarkan:
"Tindak alias pergi ke pasar berbekal uang 8 dirham untuk membeli pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Namun, sesampai tujuan, Kanjeng Nabi mendapati seorang perempuan menangis, menjadikan Kanjeng Nabi iba lalu menanyainya, apa sebabnya."
Seusai menyatakan bahwa dirinya budak, demikian si bocah melanjutkan, perempuan itu menyatakan bahwa ia telah kehilangan 2 dirham, uang belanja kebutuhan majikannya. Karenanya ia takut majikannya bakal memukulinya.
Tanpa pikir lama, Kanjeng Nabi yang pribadinya penuh kasih-sayang, segera memberinya 2 dirham, lalu bergegas membeli gamis, baju kesukaannya. Namun, tidak lama seusai membeli gamis, Kanjeng Nabi mendengar seorang lelaki tua mengatakan dengan lantang, bahwa barang siapa mau memberinya pakaian, semoga Gusti Allah Ta’ala memberinya pakaian kelak di Surga.
"Nah, apakah Kanjeng Nabi juga akan memberikan baju barunya?”
Tanpa menjawab, mereka masih tampak menyimak dengan saksama.
Kanjeng Nabi mendekat, memperhatikan baju lelaki itu memang sudah tidak layak dipakai. Kanjeng Nabi yang tidak pernah menolak permintaan orang lain, segera memberikannya pada lelaki itu yang sontak amat gembira, lalu berterima kasih kepada Kanjeng Nabi.
Kemudian, Kanjeng Nabi berjalan pulang. Namun, belum lama berselang, Kanjeng Nabi kembali bertemu dengan perempuan tadi. Kali ini ia mengadu, bahwa kehilangan uang membuatnya telat berbelanja; ia takut pulang karena mungkin majikannya akan menghukumnya.
“Kalian"tahu, apa tanggapan Kanjeng Nabi?"
Mereka kompak menggelengkan kepala, sementara benak mereka bertanya-tanya, bagaimana kelanjutannya.
Kanjeng Nabi yang amat baik hati, dengan senang bersedia mengantarkannya pulang. Bahkan, jika nanti majikannya menghukumnya beliau pun bersedia menggantikannya menerima hukuman.
Untuk beberapa saat bocah itu terdiam, memberi waktu mereka mengagumi kepribadian sosok yang sedang diceritakan.
Kemudian, lanjutnya, sesampai mereka, Kanjeng Nabi Muhammad uluk salam, tetapi tidak ada jawaban. Hingga salam yang ketiga, barulah seseorang menjawab sambil membuka pintu. Sepertinya penghuni rumah itu perempuan semua.
Kanjeng Nabi bertanya, kenapa mereka tadi tidak langsung menjawab salamnya. Jawaban mereka unik, yakni mereka ingin didoakan oleh Kanjeng Nabi hingga tiga kali. Karena, bukankah uluk salam adalah doa? Di samping itu, siapa yang tidak ingin didoakan oleh Kanjeng Nabi?
Kepada si pemilik rumah, Kanjeng Nabi Muhammad menjelaskan maksud kedatangannya. Karenanya, apabila perempuan itu salah dan dihukum, maka Kanjeng Nabi siap mengganti menerima hukumannya.
Tidak dinyana dan ini sungguh menjadikan mereka gembira: lantaran ketulusan dan kebaikan Kanjeng Nabi, si pemilik rumah terkesima, lalu sontak memerdekakan perempuan itu tanpa tebusan alias lillahi ta’ala.
Kanjeng Nabi bersyukur kepada Gusti Allah Ta’ala yang melimpahkan banyak keberkahan pada uang 8 dirhamnya. Dengannya beliau menenteramkan seseorang dari ketakutan, memberi pakaian, serta memerdekakan seorang budak, yang apabila lewat tebusan bakal menghabiskan ribuan dirham.
Demikian kisah Kanjeng Nabi yang berakhir bahagia, sebagaimana mereka bahagia menyimaknya dan menyambut Muludan tiba.
Akan tetapi, sekali lagi, ini bukan soal sedikit-banyaknya urunan.
Yang ia tahu, baik lewat bacaan atau pengajian, bahwa Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah makhluk paling mulia—baik penciptaan maupun akhlaknya—di antara seluruh makhluk yang diciptakan oleh Gusti Allah Ta’ala; Kanjeng Nabi Muhammad adalah manusia yang paling dicintai oleh Gusti Allah Ta’ala.
Karenanya, ditakdirkan oleh Gusti Allah Ta’ala turut berpartisipasi—apa pun bentuknya—pada peringatan hari kelahiran manusia yang paling dicintai oleh Gusti Allah Ta’ala bukankah anugerah tiada terkira?
Inilah yang menjadikannya haru campur bahagia, hingga-hingga matanya berkaca-kaca dan seketika mengucap syukur, alhamdulillah—segala puji hanya milik Gusti Allah Ta’ala, Dzat yang Maha Pemurah.
Semoga Gusti Allah Ta’ala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang mencatat lembar-lembar tersebut dan partisipasi orang-orang pada Muludan di mushala temannya juga semua orang yang Muludan kapan dan di mana pun dengan riang gembira sebagai bukti cinta kepada Nabi yang di antara kemuliannya adalah kenabiannya diberitakan oleh Gusti Allah Ta’ala kepada para Nabi sebelumnya—berabad-abad sebelum kelahirannya.
"Shalli wa sallim daiman ala ahmada, shalli wa sallim daiman ala ahmada, wal ali wal ashabi man qad wahada, wal ali wal ashabi man qad wahada…." lantunnya sembari terus mengayuh sepeda.
Kesugihan, 26 Mulud 1445 H