Cerpen

Melati untuk Bunda

Ahad, 31 Maret 2013 | 07:03 WIB

Gemetar tanganku ketika mengambil kertas yang tergenggam di tangan Melati, teman sekamar di pesantren ini. Tak ada penolakan dan penyerahan dari tangan itu. Ya, karena tangan itu sudah tidak bisa bergerak lagi.

<>Ternyata kertas itu surat. Mataku yang sembab, mendelik membaca huruf-huruf yang sepertinya sudah lama ditulis.
***

Pagi itu, setengah tahun lalu, seorang remaja 15 tahun, datang bersama ibunya ke pesantren kami, Al-Mukhtariyyah. Ia  datang karena tahun ajaran baru akan segera dimulai.

Aku pun membawakan minuman dan makanan untuk ibu dan anak itu ke ruang tamu. Aku memang sering memberi suguhan kepada tamu di rumah kiaiku. Saat kusodorkan secangkir gelas ke anak itu, kulihat matanya indah, bulat, bersih, bersinar, bak bulan purnama. Senyumannya manis membuatku tertarik, meski sesama perempuan, aku kagum keelokan rupanya.

Benar saja, dia akan mesantren di sini.

Aku pun dipanggil kiai untuk menemani anak baru itu ke kobong. Kebetulan kamarku masih cukup ditambah seorang. Ia sekamar denganku.  

Saat di kobong aku mencoba menyapanya karena dari tadi kulihat dia hanya terdiam namun sesekali batuk kecil.

“De, nama kamu siapa?” kubuka pembicaraan.

“Namaku Melati, Kak. Biasa dipanggil Mela,” jawabnya sambil tersenyum.

“Oh... Melati asalnya dari mana? Terus sekarang kelas berapa?” tanyaku mencari tahu tentangnya

“Aku dari Ciater Kak, aku baru mau masuk sekolah di MA Terpadu Daarul Ikhlash, kalau Kakak siapa? Dan kelas berapa?” rupanya dia pun ingin mengetahui tentangku

“Nama Kakak Zahra, kalau kakak udah kuliah Mel, sekarang semester IV,” jawabku sambil membukakan pintu kobong supaya santri yang lain bisa melihat dan masuk ke kobongku lalu berkenalan dengan Melati.

Kami pun ngobrol cukup lama. Entah kenapa, bagiku sepertinya Melati sudah tak asing lagi. Aku seolah pernah bertemu dengannya. Namun entah dimana.

Dari obrolan-obrolan kami di kobong itu, akhirnya merasa benar-benar pernah bertemu dengannya, tapi tetap tak tahu dimana. Yang jelas, kami makin akrab.

Semakin hari semakin banyak santriwan dan santriwati baru berdatangan, walau tak sebanyak tahun kemarin. Sesuai jadwal yang telah ditetapkan Pesantren, proses belajar mengajar pun dimulai seperti biasanya.

Setiap hari, aku dan Melati selalu bertemu, bercanda dan mengobrol mengenai sekolah, pesantren, dan aktivitas lainnya, namun sayangnya aku tak sempat mengobrol mengenai keluarga dan pribadinya, sehingga yang aku tahu hanyalah Melati yang kini ada di Pesantren.

Sesekali, jika aku tidak ada jadwal kuliah ataupun mengajar di pesantren, aku mengajaknya jalan-jalan keliling pesantren atau melihat keindahan sawah yang berada persis di belakang pesantren. Aku merasa makin dekat. Perasaan itu berkembang dengan anggapun Melati adalah adikku sendiri. Sungguh, aku merasa dia adik kandungku.

Maha Suci Allah...andai aku punya adik, sayang aku adalah anak tunggal.

Suatu waktu, di tengah malam aku terbangun suara batuk Melati. Aku beri dia minum agar batuknya reda. Setelah reda, kami pun tidur karena pukul 03.30 nanti kami harus bangun untuk tahajud.
***

Batuk Melat malah makin menjadi. Aku sangat khawatirkan. Kucoba membujuk dia agar segera diperiksa ke dokter, namun selalu meyakinkanku bahwa dirinya baik-baik saja.

Suatu malam, sekitar pukul 02.00, tanpa sepengetahuan aku terbangun. Kudapati Melati tengah duduk di atas sajadahnya. Sepertinya dia baru saja melaksanakan tahajud sendirian. Mungkin dia ingin lebih khusu dalam berdoa.

Ternyata benar, tidak lama kemudian dia berdoa sambil menangis. Dia berdoa dengan suara pelan, namun suaranya dikalahkan sepi malam, sehingga aku mendengar dengan jelas.

“Ya Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Melati tahu Engkau sayang sama Melati. Melati tahu Engkau memberi Bunda yang sangat baik buat Melati. Melati pun tahu Engkau memberi adik buat bunda supaya bunda tidak kesepian. Maafkan Melati, Ya Allah. Jika malam ini Melati mengeluh kepada-Mu. Melati sangat sedih. Melati kesepian. Melati kehilangan bunda yang sangat Melati sayangi. Ya Allah, kenapa bunda lebih sayang sama adik Melati? Padahal dia bukan anaknya bunda. Dia kan anak ayah baru Melati. 5 tahun sudah bunda mengacuhkan Melati, seolah tak sayang sama Melati. Tak merhatiin Melati.”

“Ya Allah.... maafkan Melati jika Melati suudzan kepada bunda. Tapi memang itu yang selama ini Melati rasakan, Melati selama ini sakit pun bunda seolah tidak peduli, Bunda tak peduli sama Melati, ya Allah. Walau begitu, Melati tetap sayang sama bunda kok. Makanya Melati milih mesantren supaya tak ngerepotin bunda lagi.”

Itulah doa yang kudengar dari mulut anak itu. Dia berhenti sejenak menahan tangisannya. Dia pun kembali berdoa, doa yang cukup membuatku kaget dan sedih.

“Ya Allah, apakah Melati akan sembuh? Atau Melati akan menyusul ayah ke surga? Jika Melati harus menyusul ayah, tolong jaga Bunda, tolong jaga juga adik Melati yang umurnya cuma beda satu tahun sama Melati. Walaupun dia bukan adik kandung Melati, tapi Melati sayang sama dia. Ya Allah mudah-mudahan adik Melati tidak mengalami apa yang saat ini sedang Melati rasakan. Sakit ya Allah. Sakit sekali. Semoga Engkau mengabulkan semuanya. Amin...”

Tak terasa, doa Melati cukup mujarab mengundang air mataku. Tak terasa air mataku menetes cukup deras, namun aku tak ingin Melati tahu itu. Aku pun menutup selimutku agar ia tak mengetahui bahwa aku mendengar doanya.

“Ya Allah, betapa sakit rasanya aku mendengar doa yang dipanjatkan tadi. Apa sebenarnya beban yang dia tanggung? Apakah anak sekecil itu harus memikul beban yang sangat berat? Penyakit apa sebenarny? Kenapa dia bilang apakah Melati akan menyusul ayahnya ke surga?” bertubi-tubi pertanyaan menyerang, dan mengganggu pikiran.

Setelah kulihat Melati tidur, aku bangun dan menunaikan shalat malam dan berdoa untuk Melati. Tak terasa air mataku kembali mengalir dengan deras. Sungguh, sangat sakit yang kurasakan saat mendengar doanya. Aku pun tidak lupa berdoa mengenai pertanyaan yang menggangguku ini. Semoga semua dapat terungkap dan terjawab.

Aku pun lalu membaca Al-Quran. Aku yang memang malam ini sedang kebagian piket malam, mencoba membangunkan para santriwati yang ada di kobongku. Yang pertam kubangunkan adalah Melati. Baru kemudian aku keluar dan  menggedor semua pintu kobong untuk membangunkan santriwati agar mereka melaksanakan shalat malam.
***

Di pagi yang cerah, kulihat Melati sedang menanam bunga di sebuah pot di taman pesantren yang cukup sederhana. Aku menghampirinya.

“Hei...!!!” kucoba mengejutkan Melati dari belakang. Ia kaget sampai gayung yang dipegang jatuh ke tanah.

“Eh.. maaf Melati, kakak gak sengaja,” ucapku sambil mengambil gayung yang tadi jatuh.

“Gak apa-apa, Kak. Udah selesai kok,” Melati pun menjawab dengan senyumannya yang manis

“Oke kalau gak apa-apa mah. Kamu habis menanam apa Mel?” kakak perhatiin kamu tadi menanam bunga atau apa gitu, tapi kok kakak lihat lama sekali nanamnya?”

“Iya neh, Kak, aku sedang menanam Melati. Ini nanti buat bunda di rumah. Takutnya bunda kangen sama Melati. Jadi kalau kangen tinggal lihat dan cium bunga ini aja.”

“Oh.. gitu ya?”

“Iya, Kak. Bagus gak?”

“Oh, bagus ini, Mel. Apalagi nanti kalau berbunga, pasti bagus banget.”

Saat mendengar jawaban dari Melati, rasanya aku ingin menangis, apa maksud dari semua ini? Apa mungkin umur Melati tidak lama lagi? Apa dia hanya ingin memberi hadiah saja untuk bundanya? Hm..entahlah, yang pasti aku mengharapkan Melati selalu baik-baik saja.
***

Melati sudah hampir enam bulan di sini. Melati yang dulu ditanam sudah mulai muncul calon bunga dan siap menghiasi keindahan taman pesantren yang sederhana itu. Di suatu hari minggu, sesaat setelah santri menyelesaikan tugasnya membersihkan pesantren, tiba-tiba Melati memanggilku.

“Kak Zahra, kesini! Lihat! Coba lihat ini! Bunga melati, Kak!”  

“Iya, sebentar kakak kesitu” jawabku yang sedang tanggung menjemur pakaian yang kemarin sore aku cuci.

“Lihat, Kak, cantik apa tidak bunga melati ini?”tanyanya penuh bahagia.

“Iya Mel, cantik sekali ya, seperti kamu, sepertinya akan mekar satu atau dua hari lagi ya..”

“Beneran, Kak?”

“Iya Mel, kamu rawat ya supaya bunganya mekar dengan sempurna.”

“Iya, Kak. Insya Allah, tapi Melati punya permintaan sama kak Zahra”

“Permintaan apa Mel?”jawabku dengan pertanyaan

“Nanti kalau bunga ini sudah mekar, tolong kasihin ke bunda Mela ya. Kan kampus kakak dekat dengan rumah Melati.”

Ganjil permintaannya.

“Melati ini kan sengaja kutanam supaya nanti kalau sudah berbunga, diberikan kepada bunda. Meski Melati tidak ada, tapi kan nanti bunga ini bisa menjaga dan menemani bunda di rumah. Begitu, Kak.

“Oh, iya iya. Ya udah, sekarang kamu istirahat dulu ya.” Pintaku.

“Ohok! Ohok! Ohok!”

Aku lihat Melati batuk. Sepertinya batuk kali ini yang paling parah, karena walau sebelumnya aku sering mendengar batuknya, tapi tidak sekasar, sesering dan separah dengan batuk sekarang, yang lebih mengagetkan lagi, aku melihat darah keluar dari mulutnya.

Tidak lama kemudian Melati tersungkur. Dia pingsan. Aku sangat terkejut. Sambil menangis aku meminta tolong kepada santriwati agar membantuku membawa Melati ke kobong, dan menyuruh salah seorang untuk melaporkan kepada pengurus pesantren dan juga pak kiai.

Tidak lama kemudian ia siuman. Ia memintaku untuk mengantarnya berwudlu karena ingin melaksanakan shalat Ashar. Aku sendiri sudah menyarankan kepada Melati agar diperiksa ke dokter atau dirawat di rumah sakit. Aku siap mengantarnya, namun seperti biasanya, ia meyakinkan kami bahwa dirinya baik-baik saja.

Dengan terpaksa aku mengantarnya ke kamar mandi dan membantunya berwudlu. Lalu aku antar ke kobong dan ia shalat dengan berbaring. Saat ia sedang shalat segara aku ke kamar mandi untuk mencuci wajahku, karena mataku udah sembab gara-gara manangis.

Selesai mencuci muka aku kembali ke kobong. Kulihat Melati tertidur nyenyak. Para santriwati pun tidak berani mengganggunya.

Aku yang memang sudah menggap Melati sebagai adikku sendiri mencoba menghampirinya. Lalu kucium dahinya dan mendoakan agar lekas sembuh, namun betapa terkejutnya aku saat mengetahui Melati tidak bernafas, kuperiksa seluruh badannya.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun...Melati telah berpulang kepadamu ya Allah, aku beserta santriwati lain yang ada di kobong tidak kuasa untuk menahan tangis atas kepergian Melati.

Aku menyuruh santri melaporkan ini kepada pengurus dan Kiai, saat ku pegang tangan Melati, kudapati tangannya sedang memegang sepucuk surat, kertasnya sedikit kusut, sepertinya sudah ditulis sejak dahulu.

Teruntuk kak Zahra...

Kak, Jika nanti aku pergi untuk selamanya, melati yang ku tanam itu, tolong berikan kepada bunda ya... terima kasih sudah menjadi kakak yang baik untuk Melati. Melati sudah tak kuat lagi kak, Melati sakit..... kanker paru-paru stadium akhir.

Ttd

Melati

Subang, 26 Februari 2013


FITRI ERNAWATI, adalah santriwati Pesantren Al-Mukhtariyyah dan mahasiswi salah satu perguruan tinggi Islam swasta di Subang, pernah mengikuti pelatihan jurnalistik yang diadakan atas kerjasama PCNU Subang dan NU Online.


Terkait