Cerita Pendek: Ahmad Zaini
Langit cerah. Matahari bersinar membabi buta. Panas merajalela. Pohon-pohon meranggas. Sungai-sungai mengering. Tanah merekah. Binatang peliharaan warga kurus. Sawah terlihat bagai tanah lapang. Warga hidup serba kesulitan.
Beberapa warga membawa ember dan jeriken. Mereka berjalan laksana konvoi melintasi jalanan kampung berdebu. Mereka menuju suatu tempat yang konon akan dibagikan air gratis. Bapak-bapak berjalan sembari memanggul jeriken kosong. Ibu-ibu juga demikian. Mereka bahu-membahu mendapatkan air layak konsumsi demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Belum setahun kemarau melanda. Namun, efeknya luar biasa. Banyak warga mengalami dehidrasi. Mereka lunglai di teras-teras rumah masing-masing. Ada pula yang terpaksa dilarikan ke rumah sakit lantaran sakit ginjalnya kambuh karena kurang minum. Sungguh sengsara kehidupan warga padahal kemarau belum lama mendera.
Siang hari lidah matahari menjilati bumi. Penghuninya pontang-panting mencari perlindungan. Kulitnya seperti terkelupas. Gosong dan semakin menghitam. Warga tetap menantang matahari. Mereka berupaya mempertahankan hidup dengan mencari area yang diyakini ada sumber air. Sayang seribu sayang. Area tanah yang dulunya menjadi sumber air kini kerontang. Tidak ada penghijauan yang bisa menyimpan air.
Baca Juga
Kubu Langgar dan Kubu Masjid
Warga bergotong royong menggali sumur di dalam sungai. Mereka berharap mendapatkan sumber air. Namun, hingga kedalaman mencari 100 meter, sumur itu tidak mengeluarkan air.
Warga pasrah. Mereka hanya mengandalkan suplai air bersih dari pemerintah setempat untuk sekadar buat minum keluarga dan binatang piaraannya. Mereka tidak memikirkan kondisi kesehatan kulit. Beberapa minggu mereka tidak bisa mandi. Bau apek badan tidak dipedulikan. Yang paling penting mereka bisa minum.
Dalam kondisi seperti ini manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Warga harus sadar bahwa Tuhanlah Yang Mahakuasa. Berbagai upaya dilakukan oleh warga demi mendapatkan air. Akan tetapi, semuanya belum membuahkan hasil. Tinggal solusi terakhir, berharap anugerah Tuhan.
”Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, kondisi kita semakin memprihatinkan. Banyak keluarga kita sakit karena kekurangan air. Kita sudah berikhtiar, namun belum berhasil. Sekarang saatnya kita usaha lainnya. Kita memohon kepada Tuhan agar hujan segera datang,” kata Suroto.
Baca Juga
Golok Penghabisan
”Caranya bagaimana, Kang?” tanya salah satu warga.
”Besok siang kita melaksanakan salat istisqa,” jawab Suroto.
Saat warga sedang bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari musibah kekeringan ini, tiba-tiba mereka dikagetkan teriakan seorang ibu yang datang membopong anak balitanya.
”Tolong anak saya. Tolong anak saya,” pintanya berkali-kali.
Baca Juga
Aku Ingin Menjadi Atlet Lari Kursi Roda
Kerumunan warga itu hanya bengong. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya menatap balita lunglai dalam dekap ibu meregang nyawa.
”Anak ibu sudah meninggal,” kata lirih Suroto.
”Meninggal? Kenapa kalian tidak berbuat apa-apa. Kenapa kalian tidak memberikan air meski hanya setetes kepada anakku?” protes ibu itu sambil menunjuk-nunjuk warga yang masih tertegun karena kejadian itu.
”Mohon maaf, Bu! Apa yang kami berikan? Kami sama seperti ibu. Tidak punya air meski hanya setetes untuk membasahi tenggorokan kami. Selain itu, anak yang ibu bawa kemari tadi sudah meninggal,” jelas Suroto mewakili yang lain.
Baca Juga
Tragedi Ciliwung
”Tidak. Anakku tidak meninggal. Anakku hanya butuh air. Mana air? Mana air?” ratap perempuan malang itu.
Ibu itu berlari ke sana kemari. Dia hilang kesadaran karena jiwanya terpukul kematian anaknya.
Suroto dan warga lainnya berusaha menenangkan perempuan itu. Mereka ingin memahamkan perempuan tersebut bahwa kematian itu adalah takdir Tuhan. Tidak ada satu pun manusia menolak atau menghindar dari kematian apabila sudah saatnya. Kekeringan akibat kemarau panjang yang melenyapkan air di kampung itu hanya sebagai penyebab atau perantara. Kita tidak boleh menyalahkan alam, manusia lain, Tuhan. Kita harus menerima takdir itu dengan ikhlas.
”Sabar dan ikhlas, Bu!” pinta Suroto.
Baca Juga
Percakapan-percakapan yang Tertinggal
”Apa? Ikhlas katamu? Kamu bisa berkata seperti itu karena tidak merasakan yang aku alami saat ini. Siapa yang tidak bisa berkata ikhlas? Anak kecil pun bisa. Coba kalau yang aku alami ini menimpa kalian.”
”Kami paham, Bu. Kami sangat paham bahwa kamu bersedih karena kehilangan anak tersayang. Apa boleh buat anak Ibu sudah tidak akan hidup lagi.”
”Bisa. Anakku bisa hidup. Mana air? Mana air? Mana?!” bentak perempuan itu.
Suroto dan warga diam. Mereka tidak menyahuti kata-kata perempuan tersebut. Mereka sudah kehabisan cara untuk menjawab, memahamkan, dan menghibur perempuan yang baru saja kehilangan anaknya. Mereka pasrah dimaki, dicela, ditunjuk-tunjuk wajahnya oleh perempuan itu.
Baca Juga
Obrolan di Teras Mushala
Tak berselang lama, datang lagi seorang laki-laki setengah baya. Dia meminta Suroto dan warga lain untuk menolong istrinya yang sedang sekarat. Suroto dan warga lainnya bergegas ke rumah laki-laki tersebut. Mereka melihat seorang perempuan terbujur di ranjang dengan napas tersengal-sengal.
”Dia butuh air,” kata Suroto dengan nada agak berat.
”Air. Air. Air.” Laki-laki itu panik. Dia menoleh ke kanan-kiri mencari air. Dia menatap gelas-gelas, jeriken, gentong, kosong semua. Sebuah kendi di atas meja yang biasanya berair penuh juga tak berisi. Laki-laki itu berlari keluar mencari ember, bak, jambangan. Barang-barang itu juga kering.
”Pak, jangan panik. Percuma kamu berlari ke sana kemari mencari air. Semuanya mengering, Pak. Ayo, ikut aku! Kita doakan dan bimbing istrimu supaya selamat,” ajak Suroto.
”Baiklah, Kang.”
Lelaki itu mengikuti Suroto. Dia dan warga lainnya mendoakan perempuan sekarat itu agar segera mendapat pertolongan Allah. Doa mereka menemui jalan terjal. Perempuan itu pun meninggal dunia.
Secara bergantian para warga mengalami hal sama. Mereka datang dan meminta pertolongan pada Suroto dan warga lainnya yang masih bertahan agar menyelamatkan keluarganya yang sakaratul maut. Tiap hari ada warga meninggal. Rata-rata mengalami dehidrasi. Kurang cairan. Warga dalam kondisi titik nadir. Nyawa mereka terancam keganasan sinar matahari.
Suroto dan kawan-kawan sadar diri bahwa ini adalah kehendak Tuhan. Manusia tidak bisa menghindar apalagi melawan kehendak Sang Maha Pencipta. Usaha apa pun yang dilakukan apabila Tuhan belum berkendak, maka semua itu hanya sekadar usaha. Sebuah kewajiban manusia untuk berencana. Sebaik-baiknya rencana manusia, Tuhan pula yang menentukan.
Siang hari matahari merajalela. Planet langit sumber panas ini menyengat semua benda di tempat terbuka. Hamparan tanah merekah. Fatamorgana yang terlihat dari kejauhan seperti air. Bergulung-gulung serupa gelombang di pantai utara Jawa. Namun, saat didekati ternyata hanyalah bongkahan tanah dan kerikil tajam menyakitkan.
Para warga dipimpin Suroto berduyun-duyun ke persawahan. Mereka akan melaksanakan salat istisqo atau salat meminta hujan kepada Tuhan. Mereka mengenakan pakaian kusam berbaris di persawahan. Binatang peliharaan yang tersisa dibawa pula ke tempat itu. Mereka mengadukan nasib hidup yang didera kemarau berkepanjangan. Persawahan gersang. Tidak ada yang dipanen. Sumur-sumur kering. Tidak ada yang diminum.
Suroto dan warga lainnya sangat berharap kepada kemurahan Tuhan melalui salat istisqo semoga hujan segera turun. Hujan dapat menumbuhkan biji-bijian menjadi tunas. Tunas tumbuh menjadi tanaman yang berbuah. Buahnya dapat dimakan oleh warga. Kesehatan warga menjadi normal sehingga dapat bekerja dan beribadah dengan normal.
Salat istisqa selesai. Warga membubarkan diri. Hati mereka ikhlas dan tulus menjalani takdir Tuhan berupa kemarau panjang. Saat perjalan pulang, warga melihat segumpal awan di dekat matahari yang merajalela. Gumpalan awan itu semakin lama semakin membesar. Sesekali awan tersebut menutupi wajah matahari. Mereka berharap gumpalan awan itu malam harinya menjadi hujan yang memberkahi warga.
Lamongan, 8 Oktober 2023
Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpen dan puisinya dipublikasikan di berbagai media cetak dan online. Dia juga telah menerbitkan beberapa buku kumpulan cerpen. Buku terbaru berjudul Bukan Kisah Laila Majnun (2023). Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur.