Cerpen

Menuju Hutan

Ahad, 6 Juli 2014 | 02:20 WIB

Oleh Hidayat Tf

-- Aku ingin pergi ke hutan. Hidup di sana. Lepas dari tradisi-tradisi yang ada. Lepas dengan hukum-hukum yang ada. Aku terlalu lelah berada di sini, begitu tertekan dengan keberadaan. Seakan-akan sedikit-sedikit tertekan bagaimana kesejahteraan orang-orang. Padahal, diriku sendiri tidak merasakan kesejahteraan. Bahkan aku tidak mengerti apa itu sejahtera? Apa itu kebahagian? Aku tidak mengerti. Tidak benar-benar mengerti. Aku ingin pergi ke hutan. Mendapati kesejukan pikiran.

<>

“Benarkah di hutan aku mendapatkan kesejahteraan?”

Aku harus mencoba. Seketika di sana. Bersama bayang-bayanganku.

Pohon tinggi menjulang. Tidak rapi. Serabutan pohon-pohon, entah apa itu namanya, aku tidak tahu, berlumut semrawut. Entah. Aku mau kemana. Aku tidak mempunyai tujuan pasti. Aku tidak tahu jalan pulang. Pikirku, untuk apa aku pulang, di kerumunan aku sering terpusingkan. Sangat terlelahkan.

Ia sudah membisu saja. Kalau berbicara sekedar dalam hati. Ia sandarkan tubuhnya di bawah pohon. Tidak ada yang ditunggu. Berupaya membuang pikiran-pikiran tentang kerumunan, tentang kekotaan. Ia berusaha damai tanpa pikiran-pikiran, tanpa bayang-bayang.  Ia berdiri. Melangkah. Tangannya membuka-buka belukar. Kakinya menjejeg-jejegnya, berupaya membuat jalan.

Aku tidak mempunyai tujuan. Pokoknya aku terus berjalan. Kalau lelah, aku istirahat. Begitu saja lah. Di kota pikiranku terlalu kacau. Tujuanku kerap sekali buram. Suram. Malah terkadang seakan-akan tatkala diriku berusaha mewujudkan lebih baik, di sana aku malah mendapati ketidakbaikan yang banyak. Tatkala aku berusaha menantang dan menterjuni karakterku, maka otakku merasa sangat terbodohkan akan kekurangan sesuatu dan bagaimana caranya mensejahterakan orang-orang. Ah pergilah pemikiran-pemikiran kekotaanku. Pergilah.

Ia masih berjalan. Cahaya matahari menerobos lewat pohon-pohon yang tinggi. Suara binatang beraneka ragam. Ia tidak mengenal suara hewan apa itu. Ia tidak hapal. Aku tidak perlu khawatir dengan hewan-hewan. Hutan adalah rumah liar binatang. Tujuanku sekarang adalah terus berjalan mendapati kelelahan. Kalau lelah istirahat. Kalau merasa lapar, aku akan makan. Apa-pun itu yang bisa aku gigit. Entah itu pucuk-pucuk dedaunan, syukur-syukur kalau menemukan buah-buahan.

“Kumohon, jangan lukai kami dengan tangan dan kakimu,” kata rumput merintih.

Robit menengok ke belakang. Bulu kuduknya merinding. Benarkah rumput mampu berbicara?

“Kau lihat bahwa kami hidup, Kawan,” balas rumput, yang kemudian suara itu menjelma suara yang banyak yang menjadi satu. Suara itu muncul dari jejak-jejak yang telah terinjak.

Robit menelan lidah susah. “Tatkala kau menyisihkan diantara kami,” rengek rumput lagi. Robit terharu. Berdirinya ragu.  “Kau memisahkan di antara kami,” tambah rengeknya. “Kau menjadikanku terluka, mengeluarkan darah-darahku. Kalau kau keluar darah, tidakkah kau merasa kesakitan.”

Robit berdiri penuh lelah. Lelah hati. Baru kali ini kurasakan benar, mendapati kata-kata dari rumput. Ia benar-benar tersakiti. Aku harus keluar dari suasana ini. Robit kembali lagi. mengabaikan suara demi suara yang merengek tak henti-henti. Ia memejamkan mata. Berusaha teguh melangkah. Mencari celah dimana ada jalan keluar tanpa menginjak dan memisahkan rumput yang belum tersentuh. Ia merasa bahwa kembali bakal menyakiti dua kali. Tapi itulah pilihannya. Pikirnya, kalau aku melangkah ke depan, maka bukan hanya kakiku yang menyakiti, tapi tanganku juga, terlebih lagi, aku bakal mendengar lebih banyak rumput-rumput merengek. Aku harus kembali ke tempat awal. Dimana tanganku tidak bekerja, dimana tanganku mulai memisahkan rumput.

Kakinya terus melangkah. Sekarang, terlalu jelas, dalam benaknya terbesit sebuah tujuan nyata. Yakni dimana ia bermula bersinggah. Dimana tangannya mulai melakukan perjalanan. Tapi sebelum itu, bakal menemukan pohon besar, dimana tubuhnya tadi bersinggah. Tapi sejauh ini ia melangkah. Belum tampak pohon besar itu. Seketika yang ada adalah belahan rumput, yang tingginya melampaui tubuhnya.

Sejauh mata memandang adalah jalanan belahan rumput. Apa-apaan ini! Mengapa aku bisa berada di antara rumput-rumput belaka. Persis berada di tembok rumput yang terbelah. Aku rasa, tadi tidak seperti itu. rumputnya tidak tinggi-tinggi. Mengapa sekarang rumput menjelma dinding?  Ia menengok ke belakang. Terkejut bukan main. Sejuah mata memandang adalah belahan rumput yang menjadi jalan. Kemana aku harus pergi? Akukah harus kembali, atau aku meneruskan perjalan, ke arah depan. Tapi sekarang, dimana arah depan yang pasti? Aku tidak melihat tanda-tanda selain belahan rumput. Bukankah tadi aku berharap berada di hutan, tapi mengapa sekarang berada di antara rerumputan?

“Ketahuilah, kawan, sebentar lagi mentari tenggelam. Kami sengaja menggiringmu menuju tempat aman,” kata rumput yang menjadi jalan.

“Jadi kalian yang menggiringku sampai di sini. Tapi, sekarang, aku harus kemana? Aku tidak mempunyai arah yang pasti. Kalian membawaku dalam kepusingan yang nyata. Aku harus bagaiamana?”

“Jalanlah sesukamu. Sampai kau terlelahkan. Ingatlah, kalau kau lelah, maka tubuhmu akan letih maka jadilah engkau tertidur.”

Robit tersenyum lega. Mendapat petunjuk tentang bagaimana ia berjalan. Ya, aku tidak mempunyai tujuan pasti sekarang. aku mengikuti dimana tubuhku mengarah. Aku tak ragu dengan jalan ini. aku harus terus berjalan. Pokoknya berjalan sampai diriku lelah, disini aku aman. Aku percaya rumput telah mengiring demi keamananku. Aku percaya itu.

Robit menundukan kepala. Terus melangkah. Berusaha menghapus ingatan dalam memori kepala. Sebab sekali pun dipikirkan, pohon besar itu tidak ada gunanya. Tujuan awal tangannya membuka rumput tak ada gunanya. Biarlah mereka menjadi kenangan dalam perjalanan. Sekarang, tatkala melakulan perjalanan yang ada adalah bentangan rumput yang terus-terusan. Aku menunggu lelah tubuh saja. Terus seperti itu. Tidak ada yang perlu dipikirkan. Tinggal melangkah dalam diam. Diamlah, kawan.

Ia melangkah dengan tenang. Mengamati tanah yang dilalui. Seketika terlihat daun-daun. Ia menegakkan kepala. Pohon besar. Ia tersenyum. Jadi, sampai di pohon pun aku belum terlelahkan. Bahkan aku tidak melihat tanda-tanda matahari, yang ada cuaca sekarang adalah siang yang terang, cuaca yang redup. Tidak panas. Tidak dingin. Aku tidak merasakan sengatan matahari. Ia melongok ke atas. Langit biru. Awan berarak pelan. Di sekitar pohon ia melihat bebatuan. Ia melangkahkah kaki di atas bebatuan. Mengarah ke bebatuan. kakinya mengindar dari menginjak rerumputan. Suara rumput tadi begitu sangat menyayat diri.

Perlahan-lahan bebatuan menggiring menuju tempat yang terang. Terkejut bukan main. Batu-batu menggiring menuju lingkungan masyarakat. Dimana manusia saling berinteraksi. Ia tersenyum. Aku lelah kalau berkumpul lagi bersama para manusia?

“Tapi hidup di hutan jauh lebih sulit, oh pemuda.”

“Siapa itu?” kata Robit begitu terharu. Melongok wajahnya agak takut. Tapi seketika terlihat kakek sedang berjalan membungkuk mengendong kayu bakar. Dia terlihat masih kecil.  Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku bakal menyambanginya. Membantunya membawa kayu bakar. Batin robit terus bertanya-tanya, tapi tubuhnya telah mengarah ke kakek. Tubuhnya secara otomatis bekerja membatu kakek.

“Sini, Kek, biar saya bantu,” kata Robit dengan renyahnya.

“Tak usah, Nak,” kata Kakek dengan suara terpatah-patah. “Aku sudah terbiasa dengan ini kok. Kalau tidak, maka diriku merasa terlelahkan. Kumohon jangan.” Tambah kakek membuat Robit semakin bingung. “Urus sendiri saja tujuanmu, Nak.” Lanjut kakek seraya melangkahkan kaki. Seakan-akan tak perduli dengan keberadaan Robit.

Ia semakin heran. Akan apa yang bakal diperbuatnya. Ia kembali menepi. Mengarahkan kakinya menuju hutan. Entah apa yang bakal diperbuatnya. Apa-pun itu kejadian yang ada di hutan, aku harus menerima. Agaknya, di hutan bagiku lebih baik, di banding kumpul dengan manusia.

**

Robit telah di hutan.

Aku masih di sini, tidak di hutan. Tapi sekarang, setidaknya pikiranku lebih tenang dari sebelumnya. Setidaknya aku bisa mengambil pelajaran. Pokoknya kehidupan ini perlu di jalani. Walau tidak sesimpel teks, ‘hidup perlu di jalani.’ Setidaknya, gelegatku menerima tentang apa yang terjadi, bahwa segalanya telah ditentukan alurnya. Begitu sajalah. Tak usah dipikir pusing. Walau sebenarnya, pusing pun masih menyelimuti.

Sekarang. Aku keluar dari teks.

2014


Hidayat  Tf,  penyuka sastra, tinggal di Lampung


Terkait