Seusai dengan sigap menggerakkan tangan kanan mendekat ke mulut, giginya tampak cekatan membuat gerakan menggigit ujung sesuatu yang dipegang tangannya untuk kemudian seusai ancang-ancang, cepat-cepat melemparkannya dengan penuh gaya ke depan lalu sekonyong-konyong tubuhnya tiarap, sementara kedua tangannya refleks menutup kedua telinganya. Ini, karuan saja seketika menjadikan panik sosok yang menjadi sasarannya itu. Kendati cukup dekat, untungnya lemparan tadi tidak mengenai tubuhnya, karenanya ia menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa: terlempar ke samping lalu terguling-guling di tanah sembari mulutnya mengerang menyuarakan kesakitan.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, si pelempar buru-buru mendekatinya untuk kemudian menangkapnya dengan gerakan mengikat kedua tangan pada punggungnya. Kemudian, seiring digelandang menuju satu arah, sosok yang tampak lebih tinggi itu menggerutu dengan bahasa yang terdengar rada wagu, kenapa ia dilempari granat; dari mana musuhnya itu mendapatkannya?
Bagaimana ia mendapatkannya—mendapatkan uang sebanyak itu? Demikian benaknya sembari sesekali memandangi bocah-bocah berlarian dengan penuh keceriaan mendekati sebuah ruangan, tempat yang ia bangun di samping rumahnya untuk mulang—mengajar—ngaji mereka. Belakangan, kendati ia merasa senang mendapati kian banyak bocah-bocah mengaji, akan tetapi agaknya tempat itu sudah tidak cukup menampung mereka, maka mau tidak mau resah acap menimpuknya seiring memikirkan cara mendapat uang yang ia perkirakan cukup banyak untuk menambah atau memperluas tempat itu. Untuk beberapa saat kemudian, kegelisahannya ngeclap alias lenyap seiring keasyikannya mengajari mereka membaca Al-Qur'an dengan cara menyimak satu per satu secara bergantian.
Setelahnya, sembari menunggu waktu shalat berikutnya tiba, kadang ia menyuruh mereka menghafal surah-surah pendek atau menceritakan kisah para nabi yang penuh teladan. Akan tetapi kali ini, karena sekonyong-konyong seorang bocah memintanya bercerita tentang pahlawan, maka seusai tampak berpikir sejenak, ia mengiyakan yang sontak disambut sorak mereka penuh kegembiraan.
Kalian lihat, ucapnya memulai cerita—mengajak mereka menyaksikan atau membayangkan dalam benak masing-masing apa yang bakal ia ceritakan—hari semakin petang, akan tetapi kian banyak orang berduyun-duyun datang dari berbagai penjuru, berdesak-desakan memenuhi halaman hingga pekarangan-pekarangan di sekitar rumah itu. Apa yang menggerakkan mereka?
Sementara sebagian bocah menggelengkan kepala, ia melanjutkan: kendatipun kelelahan tampak terpajang di wajah seusai menempuh perjalanan jauh melewati terjalnya pegunungan dengan perbekalan makanan yang sedikit bahkan kadang mereka meminta kepada warga yang mereka lewati, mereka tetap semangat—terlihat saat satu kelompok berpapasan dengan kelompok lainnya sembari meneriakkan satu kata, serta merta dijawab kompak dengan kata yang sama sembari mengepalkan tangan, "MERDEKA!"
Mereka yang kebanyakan pemuda dan kebanyakan memegang sebatang bambu yang runcing ujungnya bermaksud menemui seorang kiai sepuh yang masyhur ketawadukan dan keihlasannya di lereng gunung itu untuk mendoakan mereka sebelum terjun ke pertempuran menghadapi kompeni Belanda yang dengan seenaknya mau menjajah kembali tanah air tercinta yang jelas-jelas sudah diproklamasikan kemerdekaannya dan disiarkan ke mana-mana, mulai dari pelosok desa hingga ke mancanegara. Ndilalah—atas kehendak Gusti Allah Ta’ala—seiring doanya kendati persenjataan musuh lebih canggih, mereka tidak gentar menghadapinya.
Kemudian, ketika sebagian mereka kian hanyut mengikuti cerita, bahkan ada beberapa yang mulai membayangkan dengan gambaran masing-masing—di antaranya: seiring terompet ditiup genderang ditabuh riuh, ribuan prajurit dari dua pasukan tampak berhadap-hadapan, di satu sisi para kompeni angkuh berdiri bersenjatakan senapan dan berlindung di balik meriam, sementara di sisi yang lain para pemuda berdiri penuh keberanian dengan bambu runcing siap melawan mereka—ketika ia mengangankan bakal terjadi pertempuran yang amat seru sembari berharap pihak yang ia dukung meraih kemenangan, sekonyong-konyong suara tarhim terdengar dari corong masjid kampung itu sehingga cerita tersebut sampai di sini dulu, sementara ia berharap semoga bisa bersambung di lain waktu.
Kendatipun mereka menyimak satu penggalan kisah yang sama, akan tetapi, subhanallahil adzim subhanallahi wa bihamdihi, Gusti Allah Ta’ala kuasa menjadikan kesan masing-masing mereka berbeda dalam meresponsnya. Bagi si pencerita, seusai bocah-bocah itu pergi, kisah tersebut mengingatkannya betapa dahsyat perjuangan para pendahulunya—para santri yang dipimpin oleh para kiai—yang di samping tekun ngurip-urip alias menghidupkan ilmu agama lewat kegiatan ngaji, mereka juga gigih bertempur melawan penjajah. Tidak sekadar tenaga, harta dan pikiran, bahkan nyawa pun rela mereka korbankan. Sampai di sini kegelisahannya mulai berkurang seiring pikiran bahwa perjuangannya kini relatif lebih ringan dibanding dengan perjuangan mereka.
Kemudian kegelisahannya sekonyong-konyong hilang diguyur kelegaan seiring benaknya menenangkannya, kenapa resah memikirkan hal tersebut, bukankah Gusti Allah Ta’ala Maha Kaya yang mencipta dan memiliki jagat raya dan seluruh isinya tetapi tidak membutuhkan semua itu juga Ar Razzaq yang mencukupi rezeki seluruh makhluk ciptaan-Nya? Ia jadi teringat, dulu selepas dari pesantren, seiring niat lillahi ta’ala berbekal restu dari kiainya dan orang tuanya ia ingin membangun tempat ngaji supaya ilmu yang telah ia pelajari bermanfaat bagi sesama. Alhamdulillah, lantaran dukungan dari banyak pihak, baik berupa doa, tenaga, pikiran maupun uang, maksud tersebut terlaksana. Kini, ketika ingin menambah atau memperluas tempat tersebut, bukankah tinggal meminta kepada-Nya? Barang tentu disertai lantaran usaha dengan cara menyisihkan sebagian uangnya dan memberitahu teman-teman yang barangkali bersedia membantunya. Adapun hasilnya ia pasrahkan saja kepada Gusti Allah Ta’ala yang memberi rezeki kadang dengan cara tidak terduga.
Demikian dampak kisah tersebut baginya. Sementara bagi seorang bocah, pada suatu waktu ia mengajak beberapa dari mereka bermain sehingga tampaklah sesosok bocah yang lebih kecil yang tidak lain adalah dirinya yang tengah berperan sebagai seorang pejuang yang dengan penuh kemenangan terpampang di wajahnya menggelandang sesosok bocah yang lebih besar berperan sebagai kompeni yang tiada henti uring-uringan dengan logat wagu alias terdengar rada janggal karena meniru logat asing, logat Landa. Si kompeni memprotes bagaimana dan dari mana musuhnya mendapat granat untuk menyerangnya. Karena kesepakatan mereka dalam perang-perangan tersebut si kompeni bersenjata bedil dari pelepah daun pisang, sedangkan si pejuang bersenjata bambu runcing dalam bentuk sebatang ranting kering.
Atas protes tersebut si pejuang menjawab dengan nada kalem dengan mengatakan bahwa granat—yang sebetulnya tidak ada, hanya seakan-akan ada dalam permainan—itu ia dapatkan tadi saat mengendap-endap hendak menyerangnya sekonyong-konyong ia terbayang banyak pilihan senjata tergeletak di dekatnya. "Sampean beruntung," tambahnya sembari tersenyum hampir-hampir tertawa, "tadinya saya mau ambil bazoka!"
Kesugihan, 21 Muharam 1446