Oleh Abdullah Alawi
Seorang sahabat saya menceritakan mimpi pada malam sebelumnya. Ia belum pernah menceritakannya pada siapa pun. Sebenarnya saya hendak langsung kabur karena buat apa mendengarkan mimpi, meski jadi orang pertama diceritakan. Peristiwa sehebat apa pun dalam mimpi, tak lebih berharga daripada daun beringin jatuh di tepi jalan tua di kampung udik. Bukankah segenggam kapuk dalam telapak lebih berharga daripada sekarung emas dalam mimpi?
“Jangan kabur dulu,” cegahnya seperti KPK melarang koruptor ke luar negeri, “ini lain, mimpi yang benar-benar kontekstual.”
Ungkapan itu benar-benar menyihir seperti pencucuk hidung kerbau dungu, “dan makhluk jenis apakah ini?” tanya saya.
“Syaratnya kau mesti mendengarkan, anak baik.”
Aku kemudian benar-benar jadi anak baik, sebagaimana anak SD yang disuruh berbaris dan berjemur di tengah lapang pun mau. Tak jauh beda dengan Hanwan Samkong kalah bertaruh.
“Semalam aku bermimpi ditemui salah seorang pendukung Capres Cawapres. Ia memberi uang 700 ribu rupiah. Dan kau pasti tak percaya, kontan dibayar.”
“Setan alas, apa gunanya, kontan dan dan utang dalam mimpi, toh sama-sama kentut.”
“Itu betul. Tapi tahu tidak, 700 ribu hanya disuruh melakukan yang gampang. Orok 7 hari pun bisa.”
“Heh, kursi reyot, mudah dan susah dalam mimpi itu tak berguna karena sama-sama tak ada.”
“Jangan begitu, seharusnya kau bertanya, apa yang harus kulakukan dengan imbalan 700 raibu rupiah itu.”
“Iya, apa?”
“Cuma meretwitt kampanye-kampanye dia Twitter, melike status dia di Facebook. Kampanye itu bisa buatan dia sendiri atau tautan dari link lain. Nah, di Facebook ini ada tambahan, membagikannya ke teman-teman. Tapi itu kan mudah, tinggal sekali klik, pada tulisan bagikan. Sudah tinggal tidur, dapat 700 ribu.”
“Siapa temanmu itu? Sekarang ada dimana?” jawab saya semangat.
“Lho..lho..ini cuma mimpi, tikus comberan!”
“Iya, tapi ini mimpi kontekstual. Jangan, jangan ini betulan? Apa salahnya kita tanya.”