Cerpen

Mudik ke Haribaan

Ahad, 8 Juli 2018 | 02:00 WIB

Mudik ke Haribaan

Ilustrasi: Imural.id

Oleh Madno Wanakuncoro

“Romo Yai, kenapa panjenengan tidak ikut serta takbiran di masjid pesantren?” 

Kang Wongso, santri senior yang telah dua belas tahun mengabdi di Ponpes Sanubari, sambil terduduk leseh dan posisi ngapurancang demi rasa takzim, ia bertanya dengan nada bingung kenapa Pengasuhnya, Romo Kiai Umbaran. Kenapa tidak merayakan malam takbir seperti tahun-tahun yang silam. Tidak lazimnya kiaiku yang semangat ini mendadak sepi, sirep. Begitu batinnya.

Romo Kiai Umbaran di ruang tamu ndalem tersenyum ramah. Wajahnya masih secerah pagi hari pada musim semi. Kemudian ia beranjak dari kursinya, menuju rak kitab-kitab yang terpajang di sisi dekat pintu di ruang tamu. Mengambil salah satunya. Lantas membukanya, mencari lembar-lembar halaman kertas tua tersebut untuk lalu sejenak membaca isinya. Setelah itu ia masukkan kembali kitab yang sepertinya bukan kitab Arab.

“Sebentar lagi saya mudik, Wongso.” 

Senyum Kiai Umbaran masih terkerat halus di parasnya. Sinar mata dari kelopak yang terkatup itu masih bisa memancar. Cahaya yang lembut. Meneduhkan. Ternyata pancaran auranya tak terbendung sama sekali walau sedang terpejam.

“Loh, mudik teng pundi, Yai?” Kang Wongso masih tertunduk. Ia masih ingat betul, akan menjadi kurang sopan bahkan su’ul adab bila santri berani menatap langsung wajah kiainya tanpa seizin dari kiai sendiri.

Sudah belasan tahun ia mengabdi di pesantren ini dan belum pernah satu kali pun Romo Kiai Umbaran bepergian atau mudik. Untuk sowan? Ah, beliau sudah sepuh dan justru menjadi pihak yang disowani. Beliau sudah punya cicit, dan kakek-nenek atau abah-ibu beliau pun sudah wafat dan dimakamkan dekat tanah pesantren. 

Namun apa salahnya jika seorang tua ingin sowan ke seseorang yang meskipun lebih muda darinya. Toh, demi peleburan dosa antar sesama, halal bi halal, itu sah-sah saja asalkan semua pihak saling memaafkan. Saling melegakan. Satu sama lain. Tanpa memelihara dendam di hati masing-masing. Mana mungkin seorang kiai rela membiarkan batinnya dirongrong penyakit hati itu. 

Kalau benar demikian, terus mudik ke mana beliau? Gemerisik bisikan batin Kang Wongso mengurai benang-benang kusut pertanyaan. Rasa yang sebetulnya tidak teramat masalah jika pun tidak mendapatkan jawaban sama sekali.

“Ya masak semuanya harus saya laporkan ke kamu, Wong? Macam inteljen saja kamu ini.” Kiai Umbaran terkekeh kecil, selera humornya tiada habis dimakan usia yang sudah beranjak kepala tujuh.

Suasana pun cair. Kang Wongso tersenyum tipis sambil menunduk minta maaf atas perbuatannya yang dianggap lancang oleh perhitungan moral di benaknya sendiri. Kesadaran yang tertebak oleh Romo Kiai Umbaran.

“Heuheu... saya guyon kok, Wong.”

“Eh, sini. Kok di situ? Jangan lesehan di lantai. Dingin. Sini, di karpet sama saya.” 

“Injeh, Yai.”

“Itu, tuh. Monggo dimakan juga unjukannya. Ojo sungkan-sungkan.

Di luar; takbir, jidor, bedug, dan riuh-rendah suara-suara menggema di seluruh desa. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laaa ilaaha illallahu wallahu akbar. Allahu Akbar, walillaaahil hamd. Berkali-kali, hiruk-pikuk malam itu bersahut-sahutan, antarlanggar, mushala, dan masjid-masjid. 

Anak-anak desa ada yang berlarian sambil teriak-teriak semangat membawa obor bambu bikinan bapak mereka atau paman mereka sendiri. Beberapa jamaah majelis mengadakan takbir keliling dengan mengendarai mobil pick-up. 

Tapi, keesokan harinya, tiada yang tahu: apakah masing-masing mereka masih diberi jatah berdetak ataukah tuntas sudah tugas jantungnya. Semua orang hanya terlarut dalam suasana yang megah nan membahagiakan di Hari Raya Idul Fitri. Semua umat Islam, di Indonesia, sebagian kecil saja yang masih berkesadaran akan betapa dekatnya ajal. Romo Kiai Umbaran termasuk dalam sebagian kecil itu.

Malam takbir sudah berlalu. Petasan-petasan yang memekakkan telinga sudah menuju hening. Bungkam. Hanya tersisa merdu takbir dengan nada yang lebih halus dan syahdu dari semalam. Sekarang di pagi ini, setelah subuh, Kiai Umbaran tidak pulang dari masjid. Ditugaskan menjadi imam shalat Idul Fitri tahun ini membuatnya untuk memilihi tinggal di masjid saja.

Telah datang saatnya Shalat Id, maka ramainya orang di masjid begitu meruah. Tumpah hingga ke selasar halaman masjid dan bahkan ada beberapa yang menggelar tikar dan karpet di sisi jalan raya. Sesudah Kiai Umbaran menyelesaikan tujuh takbir pada rakaat pertama, menuju ke rakaat kedua dengan lima kali takbir, dan ketika usai menyelesaikan rukuk, tiba-tiba Kiai Umbaran terjatuh!

Para jamaah pada barisan shaf pertama seketika membatalkan shalatnya.

“Mbah Yai! Mbah… Mbah Yai…” satu di antaranya menggoyangkan tubuh Romo Kiai sepuh itu. Tapi tak berguna. Kiai Umbaran tak juga bangun. 

Hanya hening yang tersisa. Sejenak angin terjeda. Diam. Dan selanjutnya buyarlah para jamaah Idul Fitri itu untuk mengerubungi jasad Kiai Umbaran yang tak lagi bernyawa. Beliau kapundhut. Pergi, pulang, mudik ke kampung halaman kesejatian yang fitri sefitri-fitrinya. Tepat di hari yang suci itu.

Bandung, 25 Juni 2018


Madno Wanakuncoro, nama pena dari Muhammad Naufal Waliyuddin. Penulis yang gemar melukis, apalagi membaca. Suka kopi yang nggak banyak tingkah. Anggota PMII Cab. Kab. Bandung dan CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 2013.


Terkait