Cerita Pendek Saeful Huda
Aku terbangun saat segaris sinar matahari mengenai wajahku. Sinar itu menembus lewat celah kecil dinding bambu rumahku. Aku pikir aku terbangun di pagi hari. Ternyata aku salah. Itu sinar matahari yang satu jam lagi akan tenggelam di ufuk barat.
Celaka! Aku belum salat zuhur. Pak Darma pasti salat zuhur sendirian tadi di mushala yang sepi itu. Dia pasti mencari-cariku. Untuk menebus kesalahan, sekarang aku harus cepat-cepat ke mushala untuk shalat ashar dan menemui Pak Darma.
Kebetulan ini hari Ahad. Pak Darma pasti di rumah yang lokasinya samping mushala persis. Karena di hari selain Ahad, Pak Darma selalu pergi ke kantor Nusantara Hijau (NH) di pusat kota.
Setahuku, nama asli Pak Darma adalah Angling Darma. Aku tak asing dengan nama itu karena aku pernah nonton layar tancap di lapangan lempung di kampung ini. Betapa hebatnya Angling Darma yang aku tonton itu, seorang pendekar pemberani yang kemudian jadi raja. Tapi aku tak suka Angling Darma ketika dia sudah menjadi raja. Karena ada sikapnya yang menurutku masing sewenang-wenang. Semoga Pak Darma imam salatku ini, hanya menyamai sifat-sifat baik Angling Darma di film layar tancap itu.
Usai salat ashar, aku temui Pak Darma di rumahnya. Benar saja dugaanku, beliau sedang menyirami tanaman di belakang rumahnya. Aku mendengar beliau sedang menyanyikan lagu Untuk Kita Renungkan karya Ebiet G Ade. Aku tahu lagu itu karena Pak Darma pernah bercerita kepadaku.
"Assalamualaikum, Pak Darma." Aku salami dia. Dia tampak terkejut.
"Waalaikumsalam. Eh, Warso. Ke mana saja kamu?" Sudah kuduga, dia akan bertanya begitu.
Baca Juga
Bersepeda di Kota yang Membeku
"He-he. Maaf Pak, tadi saya ketiduran," jawabku sambil garuk-garuk kepala.
"Jangan dibiasain begitu ya So. Enggak baik."
Aku hanya menjawab dengan senyuman.
"Seperti biasa ya, besok kamu yang imamin mushala ini. Bapak ada acara di kota."
Sebetulnya aku ingin menjawab: Ngapain Pak di-imamin? Orang jamaah di mushala desa ini cuma kita berdua. Tapi aku urungkan niat tersebut. Aku takut membuat Pak Darma marah.
"Baik Pak. Siap selalu!"
Baca Juga
Dua Pohon Mangga
"Bagus, bagus." Pak Darma menepuk pundakku.
Tak berselang lama kami mengobrol, aku siap-siap untuk azan magrib. Sepintas aku melihat kalender di dalam rumah Pak Darma yang bertuliskan 'Ahad, 30 Mei 1982'. Bentuk kalender itu berupa kertas kotak agak kecil yang bisa disobek kapan saja. Pernah kulihat Pak Darma menyobek salah satu kertas itu setelah shalat subuh dan secara otomatis tulisannya berganti.
Aku sendiri masih kurang paham apa pekerjaan Pak Darma yang sebenarnya. Di umurku yang sudah masuk kategori bujang tua ini seharusnya sudah tahu. Tapi Pak Darma selalu berdalih, "Nanti kamu juga bakal tahu sendiri." Dia hanya memberi tahuku bahwa dia bekerja di kantor NH di pusat kota.
Aku pikir NH itu sebuah partai agama Islam yang besar. Aku pernah disuruh Pak Darma untuk mencoblos partai NH ketika pemilu beberapa tahun yang lalu. Tapi Pak Darma bilang, NH sekarang bukan lagi partai, tapi organisasi agama yang bergabung dalam partai baru yang warna benderanya lebih ijo royo-royo. Aku tahu partai itu karena aku punya kaos bergambar kotak hitam dan bertuliskan PPH: Partai Persatuan Hijau.
"So! Azan, So." Aku kaget mendengar teriakan Pak Darma. Baru aku sadari dari tadi aku melamun.
"Iya, Pak. Siap."
***
Baca Juga
Kita Harus Pulang
Selepas maghrib, aku sempatkan mengaji dengan Pak Darma. Sudah menjadi kebiasaan Pak Darma memarahiku karena ada kesalahan dalam bacaan Surat Al-Fatihah ayat 6. Pak Darma selalu saja menegaskan "Mustaqiim, So. Mustaqiim. Pakai 'Qaf' bukan 'Kaf'. Bukan mustakiim!"
Aku sudah tidak terlalu takut sekarang kalau dia marah. Beda saat pertama kali aku mengaji dengannya, aku sempat kena mental. Harus aku akui, kalau aku orang Jawa yang tidak gampang mengucapkan seperti yang Pak Darma ucapkan tadi.
Hanya sepuluh menit aku mengaji, selebihnya aku habiskan waktu dengan membuat kopi dan mengobrol dengan Pak Darma. Walaupun jamaah mushala hanya kami berdua, tetapi jamaah kopi obrolannya kadang berlima. Maklum, kebanyakan warga desa ini masih memeluk aliran kepercayaan. Ketika sudah masuk waktu shalat isya, tetap hanya aku dan Pak Darma yang shalat. Selebihnya orang-orang itu mengobrol di teras mushala.
Saat sedang shalat jamaah, aku mendengar mereka membicarakan tentang NH. Kata mereka, NH menarik diri dari PPH tidak lama ini. Ada kabar NH mau jadi organisasi mandiri yang tidak lagi ikut dalam politik. Alasannya, NH selama ini hanya fokus mengurusi urusan politik tanpa memprioritaskan kesejahteraan anggota-anggotanya yang sangat banyak itu.
Aku tidak terlalu paham apa yang mereka bicarakan. Tapi sepemahamanku mereka pernah menyatakan jadi anggota partai berwarna merah bergambar kepala kijang.
Usai uluk salam, Pak Darma tidak seperti biasanya langsung keluar mushala. Biasanya dia membaca wirid terlebih dahulu. Muka dia agak masam.
"Hei, jangan sok tahu kalian! Tahu dari mana kalian itu?" Pak Darma menegur mereka yang sedang asyik mengobrol di teras mushala.
Baca Juga
Genangan Air
"Dari pemimpin partai kami, Pak di pusat kota," jawab salah satu dari mereka polos.
Aku langsung menyusul Pak Darma di teras mushala. Aku kira Pak Darma akan marah. Ternyata dia kembali duduk dan ikut nimbrung berdiskusi dengan mereka. Pak Darma bicara panjang lebar dalam diskusi itu. Aku terpukau dengan cara dia menyampaikan sesuatu. Dia pandai ceramah seperti Angling Darma, kata orang-orang sini.
Hal yang aku tangkap dari ceramah Pak Darma yaitu NH akan kembali kepada wustha. Wustha itu artinya kembali kepada konsep awal NH berdiri yaitu bukan untuk urusan politik praktis. Tandanya NH nantinya tidak akan terlibat lagi dalam politik dan pemilu. NH nantinya akan fokus mengurus umat yang begitu banyaknya dengan memprioritaskan program pendidikan, sosial, ekonomi dan keagamaan. Kata Pak Darma, akan ada musyawarah di Kabupaten Landhung tentang wustha ini.
"Pak, berarti saya nanti nyoblosnya partai apa kalau pemilu?" tanyaku penasaran.
"Ya terserah kamu, So. Itu hak kamu milih partai apa saja nanti."
"Oh berarti saya tidak wajib milih yang ada NH-nya lagi, ya Pak?" tanyaku lagi. Tapi kali ini Pak Darma langsung menutup mulutku dengan telapak tangannya yang bau wangi itu sembari berbisik "Hussst."
Saeful Huda, Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, asal Banyumas, Jawa Tengah. Penulis di NU Online Banyumas, pepnews.com, salamcommunity.id. Karyanya yang sudah diterbitkan berupa kumpulan cerpen 'Lumut di Jalan Setapak'.