Oleh Yoga Prakoso
--Pria tua itu bangun meringkih dengan payahnya. Dia mencoba bangun. Diikuti suara derit dipan kasur lapuknya. Dalam kamar kusam di rumah gubuk kawasan kumuh bantar sungai Ciliwung.<>
"Hah! Hal yang sama lagi," keluhnya.
Dia duduk dan meraih tongkat bantu jalan. Menggerutu geru. Gerutuan karena bangunnya tidak enak, pertanda tidurnya tak nikmat.
"Suara setan darimana itu! Tidurku jadi tak menentu. Tak bisakah aku menunggu mati dalam keadaan sunyi?" kutuknya pada berisik yang mengusik tidur.
Pak Pardi nama si pria tua. Begitu pula cara orang memanggilnya. Duda ditinggal mati istri tanpa anak kelahiran Trenggalek, 86 tahun silam. Seorang veteran pejuang kemerdekaan. Dan karena panggilan perjuangannya dia berakhir menjadi warga ibukota, demi bergabung dengan Laskar Rakyat setempat. Setelah kemerdekaan telah diraih penuh, dia memilih berhenti memanggul senjata dan beralih menjadi pemanggul semen, batu bata dan material bangunan lain. Dia menjadi kuli bangunan. Merasa masa negara merdeka sudah tidak memerlukan senjata, saatnya mengisi dengan membangun. Dan karena tidak memiliki gelar sekolah apapun dan modal sedikitpun, dia memilih mengisi dan bersumbangsih dengan keahlian andalannya: tenaga raga yang dipunyai.
"Dengan menjadi kuli bangunan, aku masih dapat berjuang untuk negara. Mungkin memang aku tak ikut menyumbang uang dan kepintaran untuk pembangunan. Tapi tenaga kasarku bisa mengambil peran." pikirnya ketika itu.
Dan kini, pilihan hidup mengantarkannya pada keadaaan ini. Tua, kesepian dengan uang pas-pasan. Dia memang veteran pejuang, tapi tidak mendapat tunjangan dari negara. Nama dan riwayatnya luput dari mata petugas pemerintah karena Pardi berubah wujud dari seorang pejuang kemerdekaan menjadi kuli bangunan. Pekerjaan yang menyita waktu dan tenaga, apalagi dia buta aksara, membuatnya tak sempat mengetahui administrasi birokrasi. Tabungan dari hasilnya menguli puluhan tahun tandas terkuras untuk membiayai sakit almarhumah istrinya. Maka dia hidup dari uang zakat dan sedekah masjid setempat. Tapi dia sama sekali tidak keberatan. Baginya perjuangan membela kemerdekaan dulu hanya urusan sepihak dirinya dengan negara. Maksudnya, dia berjuang semata berharap untuk kebaikan negaranya tanpa mengharap balasan kebaikan negara bagi dirinya. Tulus dan Ikhlas. Dengan idealisme abadi terjaga.
Hal yang sama. Suara setan. Berisik mengganggu.
"Bapak-bapak! Ibu-ibu! kaum miskin sekalian harap dengarkan saya! Saya Sunarto dari Partai Golongan Kemakmuran berjanji akan mengubah hidup bapak ibu sekalian. Oleh karena itu, pilih saya untuk menjadi anggota parlemen, menjadi wakil suara bapak ibu sekalian. Percaya pada saya dan partai saya: Partai Golongan Kemakmuran, Partainya Orang Kecil!"
Entah jenis magis apa yang terkandung dalam suara setan itu. Hiruk pikuk warga kampung kumuh itu berduyun mendatangi sumber suaranya. Mengerubung.
Pria tua itu menerawang melalui jendela kamarnya. Menyipit matanya coba memperjelas sosok setan manakah yang berani mengusik tidurnya. Rambut licin rapi, muka dan kulit bersih dari legam kusam dan pakaian indah yang dikenakan.
"Setan mulai berubah wujud rupanya. Dulu mereka datang dengan rupa rambut pirang, mata biru dan kulit pucat. Sempat berganti menjadi kate bermata sipit tapi dengan kejam yang dikompres dari masa lebih tiga ratus tahun menjadi hanya tiga tahun bersama duka luka mengerikan bagi rakyat. Kini mereka memilih rupa yang sama seperti kita? Bah dagelan apa ini!" gerutunya lagi.
Masa ini memang masa kampanye. Partai dan orang-orangnya perlu berkampanye untuk memenangi pemilu. Atau paling tidak, memastikan mereka masih bisa mengikuti pemilu berikutnya. Semua partai dan calonnya berbondong turba. Yang dalam bahasa kerennya sekarang dikenal dengan blusukan. Berkeliling memasuki satu kampung kumuh ke kampung kumuh lainnya.
"Aduh mana benda itu!"
Tiba-tiba dia gelisah. Mulai dia mencari sesuatu. Tertatih bergerak ke sisi lain kamar sempitnya. Ketemu. Sebuah pispot tua. Segera dia menyalurkan hajatnya. Maklum, di usianya sekarang kemampuan menahan hajat sudah hilang. Begitu dia merasa, harus segera dikeluarkan. Jarak ke kamar mandi kadang terasa jauh ketika hajat itu datang.
"Untuk membuktikan niat mulia dan kebaikan partai, khususnya saya tentunya, akan dibagikan uang bantuan untuk saudara sekalian. Amplop bukti kepedulian kami pada rakyat, orang kecil seperti saudara semua!" calon parlemen itu bersuara lagi.
Hore! Hidup Partai Golongan Kemakmuran! Hidup Sunarto! Hidup orang kecil! pekik warga.
Demi mendengar jawaban riuh warganya, mata Pak Pardi berkaca berair. Berganti baju dan bersarung dia menghambur keluar. Terbata berjalan dengan bantuan tongkatnya menuju kerumunan. Dia ingin menyadarkan. Tentang ketulusan yang dia tahu. Ketulusan yang tidak didapat dari membayar ataupun dibayar.
Hai bubar! bubarkan diri kalian! Jangan percaya pada setan itu! halau Pak Pardi pada kerumunan warga.
Percuma. Panggung kampanye telah berganti menjadi panggung dangdut. Apalagi dengan botol miras yang mulai dikeluarkan panitia kampanye, orang-orang bertambah kalap. Orang kecil meminum miras. Anak mudanya, orang tuanya, bahkan anak kecil tanggungnya. Menikmati seronok goyang dan minuman dari setan.
"Sedikit hadiah dari saya. Minuman biar kalian kuat berjoget dan tertawa. Meriahkan panggung kampanye saya sampai malam suntuk saudara!"
"Nak, tolak pemberian amplopnya. Jangan terima. Masa depanmu akan dimakannya!" seru Pak Pardi pada seorang pemuda. Belum menyerah dia.
"Jika kalian menerima pemberian dan memilihnya, niscaya hanya ada kecewa untuk kalian. Sadarlah! berteriak berharap warga menaruh perhatian padanya.
Sayang bukan warga yang perhatiannya dia rebut, tapi panitia kampanye. Dihampiri dan ditanyai dia siapa.
"Oh pria tua itu hanya seorang pengemis."
"Dia hanya penerima belas kasih sedekah masjid."
"Tak tahu, pernah kudengar dulu ia pejuang kemerdekaan. Kurasa dia hanya beban warga kampung saja."
"Namaku Pardi, aku dulu memang sukarelawan di Laskar Rakyat" dia menjawab sambil menahan getir, mendengar semua sahutan jawab warga yang mendahului jawaban darinya.
Memicing mata panitia kampanye itu. Memandang Pardi tua dari bawah ke atas. Bergegas berlari menuju Sunarto, empunya hajatan dangdut berbalut kampanye. Sunarto berdiskusi dengan ketua RT yang memang duduk disebelahnya, membenarkan cerita pejuang kemerdekaan.
"Heh ada barang pencitraan bagus jangan disiakan. Bawa pak tua itu ke atas."
Turunlah dua orang panitia menjemput Pak Pardi. Bingung, Pak Pardi hanya bisa menurut, tenaganya sudah tidak bisa menurut. Kalah dan pasrah.
"Tidak sepatutnya pahlawan pejuang kemerdekaan hidup begini. Lihat pak tua ini. Betapa menyedihkan saudara? Tapi kemurahan saya dan partai akan merubahnya. Kami akan membantunya. Demi menunjukkan ketulusan dan kemurahan kami pada rakyat!” kata Sunarto ingin memberi kesan.
"Bapak tentu mau menerima amplop bukti kemurahan tulus kami kan?"
"Terima! Terima! Terima!"
"Terima saja pak tua!"
"Sudah, terima biar kau tidak terlalu menyusahkan kami!" warga bersorak lancang menjawab.
Busuk aroma nafas yang keluar, memerah warna mata mereka. Efek alkohol.
Pria tua itu hanya bisa membisu lemas, tangan gemetar.
Dengan selembar amplop Sunarto memaksa Pak Pardi bergaya. Gaya salaman sambil tangan menyerahkan dan menerima amplop. Air mata Pak Pardi mulai turun, digigiti bibirnya karena getar tubuhnya.
"Lihat pria tua ini! menangis haru tersentuh oleh kebaikan kami!" seru Sunarto.
Bukan, air mata yang turun bukan karena haru. Bukan pula tersentuh oleh kebaikan setan berpartai itu. Tapi lebih kepada perih. Yang timbul dari prihatin mendalam setelah melihat reaksi warganya, rakyatnya, yang dulu negaranya dia perjuangkan dengan nyawa dan taruhan segala untuk merdeka.
"Baiklah! Mari lanjutkan pesta rakyat kita! Kencangkan volumenya! Buka botol berikutnya! perintah Sunarto girang, merasa kampanyenya hari ini sukses besar.
Pak Pardi berjalan turun. Sambil merunduk kepalanya. Muram. Kembali ke rumah gubuknya dengan setengah meratap. Langsung menuju kamar kusamnya. Merengkuh pispot tua yang bahkan dibelinya bekas. Didapat dari lapak pemulung dekat kampungnya. Dengan sisa terakhir uang tabungan yang sebelumnya sudah dihabiskan untuk mengobati istrinya. Merebah kembali di dipan kasur lapuk. Amplop itu masih dipegangnya. Pispot tua ada di tangan kirinya. Ya dia harus selalu bersiap membuang hajatnya. Dulu dia gagah menahan segala bentuk derita saat berjuang, kini dia hanya seorang pria tua dengan pispotnya. Tak berdaya.
"Ah, bukan demi rakyat dan kondisi negara seperti ini dulu aku, kami, berjuang. Bukan demi badut politik jelmaan setan itu."
Terasa lelah dia menjaga matanya untuk tetap terjaga. Letih batin kini benar-benar dia derita. Letih batin yang menambah lelah tubuh. Membebani. Berat. Tak tahan lagi. Dia pun memilih menyerah, mengakhiri perjuangannya. Menutup mata. (*)