Cerpen

Panglima Organisasi

Ahad, 26 Desember 2021 | 14:00 WIB

Panglima Organisasi

Ilustrasi

Cerpen: Ali Mukoddas
Di sebuah bar hotel, seorang bertubuh besar membukakan pintu, lalu mengantarku pada seseorang yang menjanjikan pertemuan. Rupanya, bukan hanya aku yang diundang untuk datang, orang yang membukakan pintu sebelumnya, salah satu orang yang juga mendatangi pertemuan.


Suasana menjadi tegang, tak ada percakapan, semua menyulut rokoknya masing-masing. Aku tak bisa merokok, jadilah memainkan jari sebagai pilihan terbaik sebelum terlihat seperti orang yang salah masuk ruangan.


"Saya mengumpulkan kalian di sini hanya untuk membicarakan sesuatu yang ringan," ucap seseorang yang telah mengumpulkan kami.

 

Orang tersebut biasa kami sebut dengan panggilan 'Panglima'. Bisa dikata, dia adalah seorang tokoh di balik kejadian-kejadian besar, sebab orang tua, kakek, dan kakeknya lagi adalah guru spiritual tokoh-tokoh yang berpengaruh di dataran tanah Jawa. Dari tingkatan spiritual yang kecil hingga yang besar, Pemuka Spiritual Tanah Tandus, atau beberapa penguasa akan mengikuti permintaan Panglima. Sejauh yang aku tahu, mereka bersikap demikian karena pernah berguru ke ayah Panglima.


Mengetahui identitas tersebut, membuatku sedikit canggung untuk menolak saat diajak berkumpul. Aku mengenalnya pun karena tidak sengaja selalu bertemu di acara yang sama, hingga di kemudian hari kami bisa akrab.


Sambil mengisap rokok, dengan kemeja putih dan jas yang membuatnya tampak berwibawa, dia memperbaiki kopiah putihnya, lalu berkata, "Organisasi kita ini warisan Dua Belas Cahaya Bintang, sebagai pagar ajaran murni kejiwaan. Lalu apa yang dapat kita berikan pada pagar yang umurnya akan menjelang tiga ratus tahun ini?"


Mendengar pertanyaan tersebut, kami terdiam, diam-diam memandangi satu sama lain. Mata kami menggambarkan pertanyaan.


Pertanyaanku sebelumnya tentang apakah aku akan dijodohkan, menjadi buyar. Sebagai orang yang paling muda di pinggiran meja, aku bisa lebih santai mendengarkan pendapat yang lainnya.

 

Pelayan bar datang ke meja kami menawarkan pesanan, sebagian memesan mocktail. Aku tak paham akan memesan apa, sebab itu pertama kalinya berkumpul dengan orang yang umurnya terentang jauh, di bar pula. Kulihat rak-rak dalam bar, hampir keseluruhannya minuman beralkohol. Meski tak suka kopi, akhirnya aku memesan kopi. Pelayan pergi, suasana kembali serius.


"Kita perlu menyatukan para pengikut, mungkin? Sebab selama ini, keputusan atasan berisi A tapi yang dilakukan bawahan kadang B atau malah kadang ada penentangan. Tidak seperti organisasi lain yang kalau kata atasan A, A merata," ucap seseorang yang sebelumnya membukakanku pintu. Sebetulnya kami sempat berkenalan, tapi aku lupa namanya.


Panglima menggelengkan kepala, seraya meniupkan asap dari bibirnya.

 

"Tidak bisa, kita tidak bisa menyatukan para pengikut, sebab itulah kelebihan kita. Karena, apabila atasannya tidak benar, para pengurus organisasi yang di bawah tidak ikut kesalahan yang dibuat atasan. Memang beda dengan organisasi sebelah yang apabila ketuanya menyatakan menolak, organisasi tingkat wilayah sampai ke ranting-ranting dan pengurus padepokannya menyatakan menolak. Organisasi mereka sudah satu tombol, sekali tekan langsung merata. Organisasi kita tidak bisa seperti itu."

 

Panglima menghentikan kalimatnya, dia kembali mengisap dan mengembuskan asap ke langit-langit ruangan.

 

Pelayan datang membawa pesanan, mocktail dalam botol hijau dengan gelas kosong, kemudian kopi hitam pekat yang tentu rasanya akan pahit. Aku tahu itu akan pahit, sebab ada sebungkus gula di samping gelas yang diletakkan di atas meja.

 

Sebelum melanjutkan pembahasan, beberapa orang menuangkan isi dari botol berwarna hijau ke gelas kosong. Mereka meminumnya. Kupikir, mereka akan segera mabuk, lalu berbicara ngelantur.


Benar saja, pikirku, pembicaraan sudah semakin melantur. Seorang berkaos hitam yang bersandar di kursi kayu mengatakan, "Jelas tidak bisa, sebab organisasi kita ada setelah organisasi sebelah ada."


Panglima terkekeh, singkat dia berkata, "Mana ada antivirus mendahului virusnya."


Seketika suasana terdiam, orang berkaos hitam yang awalnya berkata seakan percaya diri terlihat cengengesan, sedang yang lain manggut-manggut mengerti.

 

"Loh, organisasi kita ini ada sebagai pagar dari virus yang membuat ajaran murni kejiwaan terkikis. Sekaligus mengarahkan pengikut agar tetap berada di jalan yang dianjurkan Pembawa Pesan Spiritual. Jadi amat salah bila ada yang mengatakan organisasi kita ini adanya belakangan, sebab itu sudah dari peninggalan Dua Belas Cahaya Bintang, hanya saja tidak dibentuk dalam organisasi sebab belum ada yang mencoba mengikis pemahaman penganut."


Penjelasan yang Panglima lontarkan membuatku semakin mengangguk-angguk, meski sudah paham dari analogi antivirus dan virus yang sebelumnya disebutkan.

 

Di tengah percakapan yang terus berjalan, aku tak begitu fokus mendengarkan, sebab ada kejanggalan dari sesuatu yang kuanggap mereka akan mabuk karena minuman keras, di samping pikiran, "Membahas soal spirit di bar? Yang benar saja?" Aku tertegun setelah mata tak sengaja membaca tulisan di botol kaca yang berwarna hijau. Jelas nama yang tertera bertuliskan 'Equil, air mineral murni asli Indonesia', dan aku salah mengira bahwa mocktail adalah coctail. Memikirkan hal tersebut, aku tampak seperti orang yang mabuk.


Lamat-lamat kudengar Panglima berkelakar begini, "Semua putra pespiritual tingkat tinggi itu nakal-nakal, bandelnya minta ampun. Tapi saat tiba pada waktunya, kenakalan tersebut akan menjadi kepintaran jiwa yang mendekati seperti leluhurnya. Kalian tentu tahu hal itu."


Kalimat tersebut membimbangkanku sekali lagi, jangan-jangan, Panglima adalah orang yang paling bandel? Aku menggelengkan kepala, kembali yakin terhadap kewibawaan Panglima. Di antara orang yang memakai celana, hanya dia di bar yang mengenakan sarung.

 

"Menjelang pemilihan ketua organisasi kita yang baru, nanti, kita harus memberikan yang terbaik. Malu kita ini pada leluhur pendiri organisasi bila begini-begini terus."


Pada kalimat yang disebutkan Panglima tersebut, tiba-tiba suasana terkesan berat. Kami yang menyimak tampak seperti pendosa yang siap menerima hukuman.

 

"Isi Organisasi kita ini beragam, ada pencuri, penjagal, pedagang, petani, dan tentu ada yang penjaga kerohanian. Namun, apabila ada goncangan sedikit saja, mau itu pencuri, penjagal atau orang yang tidak pernah bersujud untuk mengisi spiritnya, akan bangkit jiwanya untuk membela." Panglima menghentikan kalimatnya, seakan memberi kesan dramatis, dia mengisap kembali rokoknya, dilanjutkan dengan kalimat, "Organisasi kita ini mirip komputer yang sedang mode screen saver, mouse digerakkan sedikit saja, desktop akan langsung menyala. Meski ada penyusup di organsasi kita, itu tidak berpengaruh apa-apa, kecuali penyusup itu sendiri yang akan celaka."


Di akhir kalimat tersebut, dadaku terasa sesak. Bukan karena tersedak meminum kopi, melainkan karena beberapa mata menatapku. Keringat dingin bercucuran. Kukira Panglima tahu bahwa aku adalah penyusup yang diam-diam mengambil informasi untuk membesarkan organisasi sebelah.

 

Jakarta, 4 November 2021


Ali Mukoddas, alumnus Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), menulis sejumlah cerpen, kini bergiat sebagai tim kreatif TVNU.