Cerpen

Patim

Sabtu, 13 April 2019 | 09:25 WIB

Oleh Dwi Putri

1.
Sudah menjadi rahasia umum bagaimana hubungan keluarga Patim dan dua istrinya. Istri pertamanya Ayuk  Roza, cantik, gemulai dan memiliki naluri keibuan yang mampu memikat perhatian banyak orang. Bukankah beginilah keinginan semua suami. Betapapun tegar dan kekarnya ia di luar, tetap akan menjadi anak kecil ketika sudah di rumah. Ingin dimanja, diperhatikan sama seperti sang istri memperlakukan anak-anaknya. Lalu bagaimana dengan istri Patim yang kedua? Ayuk Tita ,umurnya lebih tua 2 tahun dari Patim. Kabarnya dia juga seorang janda beranak 1. Pikir tetangga, duh mulia sekali hati Patim.

Punya dua istri sah sekaligus masih sangat tabu untuk dilakukan bagi masyarakat suku Besemah. Kalaupun ada, hanya satu dua orang yang mau berani berbuat demikian. Karena selain menanggung cibiran masyarakat sekitar, anggapan dituduh hamil di luar nikah, berbuat mesum dan hal-hal yang tidak layak untuk didengar. Patim? Dia cukup cerdas. Ia tidak menempatkan istrinya dalam 1 atap. Ayuk Roza ia boyong ke kota Pagaralam, sedangkan Ayuk Tita tetap ia biarkan berdekatan dengan kerabatnya di Lahat. 

Namun demikian, Patim berani mengambil resiko. Pasalnya, dalam keadaan ia yang beristri 2 dan beranak 3, Patim bukanlah anak orang kaya. Bahkan ia masih serba kekurangan di sana sini. Akibatnya, mau tidak mau Ayuk Tita hanya ia beri rumah kayu mungil berukuran 8x4 meter. Entahlah, ini disebut adil atau tidak jika dibandingkan dengan fasilitas yang Patim berikan kepada Ayuk Roza. Rumah mereka di Pagaralam sudah cukup baik. Kesehariannya bertani dan sayur kubis yang cukup luas yang ia jual di pasar Pagaralam seorang diri, dan kedua anak kembarnya sudah menginjak sekolah menengah atas.

Jangan dibayangkan jika kedua istri Patim adalah dua orang perempuan yang akur. Jelas tidak. Mereka sama-sama saling mengetahui jika mereka bukanlah satu-satunya istri Patim, tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah jadi bubur. Toh mereka tahu jika mereka madu dari orang lain. Pernah terjadi adu mulut ketika Ayuk Tita sedang berbelanja di pasar Pagaralam. Sengaja ia ke sana, sekedar ingin membuktikan kebenaran rumah tangganya. Sesampainya di sana, Ayuk Tita langsung menghampiri kedai Ayuk Roza. Benar saja. Setelah tawar menawar sayur, Ayuk Tita langsung memberitahu siapa dirinya sebenarnya. Sontak Ayuk Roza kaget bukan kepalang melihat perempuan yang saat itu berada di depan matanya. Dari sanalah pertengkaran hebat terjadi. Pelipis sebelah kiri Ayuk Tita terluka akibat kena lemparan mangkok dacing  milik Ayuk Roza. Untungnya satpol PP langsung menghampiri mereka dan keduanya diurus pihak keamanan pasar setempat. Mau tidak mau, Patim juga ikut terlibat dalam insiden tersebut.

Setelah duduk permasalahan diketahui, keduanya baru diperbolehkan pulang. Bukan main geramnya Ayuk Roza. Patim tidak tahu harus berbuat apa. Dari sini, kelelakiannya diuji. Memang susah.

2.
“Kasihan tim sepakbola dari Jerman, Mak.”

“Lah? Kenapa, Pak?”

“Itu lho, mereka jadi korban kutukan selanjutnya di piala dunia. Tadi malam bapak lihat di televisi, nonton bareng dengan bapak-bapak yang lain di balai desa.”

“Lah Bapak masih ke sana?”

“Kenapa harus diungkit-ungkit lagi, Mak? Patim kan sudah meminta maaf ke Emak. Bapak juga baik-baik saja dengan keluarganya. Kecualinya memang istrinya itu. Aduh, rendah sekali dia memandang keluarga kita, mak. Tapi tak apa……..”

“Halah sudahlah. Bapak bilang tidak usah diungkit-ungkit lagi. Buktinya sekarang? Bapak malah membicarakan perempuan itu lagi. Jangankan mukanya, namanya saja disebut-sebut di rumah ini aku tidak sudi lagi.”

“Itu istrinya, tapi kan Patim tidak mak.”

“Terserah. Baik istrinya maupun Patim sama saja. Kalau memang Patim itu baik, sudah jelas seharusnya dia sadarkan perempuan yang berlagak sok kaya itu.”

Lelaki kurus jangkung itu langsung mengarah ke belakang dengan bertelanjang dada. Sedang istrinya masih sibuk mengupas singkong untuk dibuat keripik pedas lalu kemudian dijual di kedai mungil depan rumahnya. Setidaknya dari hasil keripik itulah mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-sehari pasca diberhentikan oleh Patim bekerja menyadap di kebun karet miliknya. Si bapak tidak ambil pusing dengan keputusan Patim. Baginya, rezeki masing-masing orang sudah diatur oleh Allah. 

“Nanti Allah akan mengganti rezeki kita dengan yang lebih besar, mak”

“Rezeki boleh diatur Allah, pak. Tapi perlakuan Patim dan istrinya itu sudah keterlaluan. Kasihan Agil sampai harus membongkar celengan untuk masuk SMP. Kalau saja seandainya anaknya Patim itu mengatakan hal yang sebenarnya, mungkin hubungan  keluarga kita tidak akan separah ini.”

“Ya sudah, terus emak maunya gimana? Apakah saya harus datang ke keluarganya Patim? Menyampaikan kalau emak tersinggung? Agil bongkar celengan? Bapak yang pengangguran?”

“Bukan begitu maksud saya, pak.”

“Kalau bukan, ya sudah. Nggak usah dibicarakan terus. Selama kita masih punya Tuhan yang maha besar, Dia punya segalanya. Kita malah lebih kaya lagi, karena punya Dia yang punya segalanya hehe…”

Emak hanya tersenyum sambil terus mengupas singkongnya. Di luar cuaca gerimis. Padahal hari ini pak Tris si lelaki jangkung sudah berjanji pada Agil  membelikannya cat air untuk keperluannya di sekolah besok. Langkahnya urung keluar. Sandal kulit yang sudah ia lap gemilang 4 jam yang lalu setelah selesai sholat subuh, juga akhirnya ikut masuk lagi ke dalam rumahnya yang hanya beralaskan tanah liat mengeras.

Mendapati dirinya yang masih bugar bekerja untuk anak istrinya saja pak Tris sudah bersyukur. Baginya tidak semua orang akan diberikan hal semacam ini. Ada yang bergelimang harta, namun kesehatan selalu terancam. Ada juga yang sehat, namun hanya bermalas-malasan di rumah. 

Sembari menghisap rokok tembakau miliknya di pelataran balai bambu, pak Tris menarik sarung lusuh yang tergantung di paku dinding yang ada di dekatnya. Suasana berubah. Membuat kulit menggigil. 

“Ada kopi hitam, mak?” Ujarnya memanggil si istri.

“Iya pak, nanti emak antarkan.”

Tak lama berselang, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah mereka. Balai bambu berderik, pak Tris buru-buru membukakan pintu. Matanya nanar setelah melihat siapa yang datang.

“Maaf ganggu pak. Saya mau masuk, ngobrol dengan bapak. Boleh?”

Pak Tris hanya mengangguk dan mempersilakan tamunya masuk.

“Maaf nak Patim. Di rumah bapak nggak ada kursi. Jadi duduk di balai saja ya.”

Si lawan bicara tersenyum, “Iya nggak apa-apa pak. Emak mana?”

“Ada di belakang, sedang memanaskan air untuk kopi. Mau ngopi juga?”

“Nyeruput gelas sama bapak saja nggak apa-apa.”

“Hahahahaha…” Keduanya tertawa.

Emak datang membawa segelas kopi dan beberapa potong singkong rebus yang sudah ditaburi gula pasir. Emak juga kaget dengan kedatangan Patim di rumahnya, hanya saja agar terkesan dalam keadaan baik, emak diam dan langsung menaruh kopi di hadapan keduanya.

“Ngopi Tim?” Tawarnya

“Nggak usah, mak. Patim nyeruput gelas bapak saja.”

Emak langsung kembali lagi ke belakang. Dan melanjutkan pekerjaannya mengupas singkong. Jelas ia menggerutu melihat kedatangan Patim. Tapi emak pada akhirnya tidak ambil pusing. Toh benar juga apa yang dikatakan si bapak. Yang memberhentikan pak Tris itu si Roza, istri Patim.

“Istriku ngamuk lagi pak” Adu Patim tiba-tiba.

“Istri yang mana?”

“Roza.” Jawab Patim singkat.

“Itu kan sudah menjadi konsekuensinya, Tim. Kamu yang sudah memilih jalan begini. Berarti kamu juga harus menyelesaikan sampai akhir. Dari awal aku sudah memberitahu kalau Tita juga manusia. Dia janda. Sudah kamu nikahi dengan sah, tapi hanya beberapa kali aku lihat kamu bertandang ke Lahat. apa nggak sedih hatinya si Tita? Saya juga akhirnya merasa bersalah. Maksud hati saya ingin melihat dia bahagia mempunyai suami seperti kamu. Mengenalkan kamu dengan keponakanku, Tita. Ini malah ditelantarkan. Masih baik Tita tidak menuntut lebih ke kamu, Tim. Sebagai seorang istri, wajar seandainya nanti Tita menuntut hak.”

Patim membenamkan pandangannya dalam-dalam.

“Semalam Tita juga menelpon saya, pak. Dia sudah memutuskan untuk menggugat cerai saya. Nah sebelumnya, ketika sore, Roza juga berontak meminta cerai. Nggak mendengar apa yang saya katakan. Dua-duanya sudah tidak ada niat untuk saya pilih. Masa saya harus menceraikan dua perempuan sekaligus, pak. Minimal salah satu di antara keduanya harus ada yang tetap bertahan dengan saya. Atau kalau bisa dua-duanya tetap sama saya. Aduh bingung pak. Capek saya.”

“Roza bagaimana?” Tanya pak Tris.

“Saya nggak tahu pak. Saya bingung.” Mata Patim mulai berkaca-kaca, “Jujur. Hati saya tergerak untuk segera mendatangi Tita ke Lahat.”

“Kamu datang ke sana. Temui Tita. Kalau dia sudah meminta cerai, maka kamu sudah harus beri dia kejelasan. Benar-benar cerai, atau pilih dia satu-satunya sebagai istri. Saya juga merasa tidak enak hati dengan Tita, Tim.”

“Besok saya ke sananya pak. Hari ini dengan Roza dahulu. Saya ingin mendengarkan dia maunya seperti apa. Kalau saya jujur saja, ingin tetap bertahan dengan keduanya.”

Lama bercengkrama dengan pak Tris. Ketika gerimis sudah mulai reda, Patim beranjak pergi dari rumah pak Tris yang merupakan buruh di kebun Patim. Namun, dua hari yang lalu, Ayuk Roza memberhentikannya dengan alasan pak Tris sudah lamban dalam bekerja dan akan digantikan dengan pekerja yang lebih muda di ladangnya. Pak Tris tidak yakin sepenuhnya. Pasalnya Ayuk Roza dikenal sangat baik dengan keluarga pak Tris. Bahkan sudah dianggap saudara sendiri. Tapi semenjak Ayuk Roza tahu kalau pak Tris lah yang memperkenalkan Patim dengan Tita, di sana perubahan sikapnya dimulai. Ia sudah mulai berani membentak pak Tris. Hasilnya, pak Tris malah diberhentikan bekerja di ladangnya.

Dua bulan aral melintang tidak tahu arah. Patim harus menerima kenyataan bahwa prahara rumah tangganya benar-benar tidak bisa dibendung lagi. Dua istrinya memilih untuk bercerai dengan Patim. Luar biasa memang keputusan kedua istrinya. Setelah ia bolak balik antara Pagaralam dan Lahat, satupun tidak ada yang bisa menerima. Pikir Patim awalnya, ia bisa menaklukkan keduanya agar rukun dan tidak bertengkar. 

Kenyataannya, justru Patim yang terpuruk menghadapi nasib yang baru saja ia terima. Ia memang masih di Pagaralam. Hanya saja ia kini tinggal di gubuk di ladang kubis miliknya. Sempat terbersit oleh Patim untuk menjual kebun tersebut dan pindah ke Muara Enim, daerah asal orangtua kandungnya. Tapi entahlah. Patim masih berbaring dan menutup wajahnya dengan lengan. Lalu kemudian tertidur. Untuk esok, belum terencana apalagi yang harus ia perbuat.


Penulis adalah mahasiswa Psikologi UNUSIA Jakarta



Terkait