Oleh Usmar Ismail
Aku terpekur di tanah merah yang masih basah itu, basah karena hari baru hujan, ditambah oleh air mata, yang aku cucurkan di atas pekuburan yang terletak di tepi hutan, jauh dari kota itu. Perkataannya yang terakhir masih mendengung di telingaku, orang yang baru kukenal ini, tetapi sungguhpun demikian seorang yang telah jadi perintis jalan bagiku.
<>
Semasa ia seorang ahli gambar yang termasyhur, sewaktu ia jadi buah bibir orang, aku turuti ia, sedangkan aku orang yang tak bernama, tak bergelar, seorang yang di jalan hanya dapat teguran, “Ah, kau itu, Anu.” Aku turuti ia di dalam hidupnya dari jauh. Teringat aku akan suatu peristiwa, suatu kejadian yang hidup dalam sanubariku, di suatu pertunjukan gambar-gambar, ciptaannya. Aku tertegun melihat keindahan cahaya sukmanya yang membayang di kain yang tergantung di dinding itu.
“Guru dan Murid,” demikianlah nama gambar itu, merupakan seorang tua duduk di atas balai-balai; di bawah, di kakinya, bersila seorang anak muda. Pada wajah orang tua itu tergambar kekuatan batin yang tak terhingga, gores-gores tertera di keningnya, di sebelah menyebelah pipinya, dan kupiahnya berkerumuk menutup kepalanya sehingga sedikit saja kelihatan rambutnya yang putih, di sela di sana-sini oleh rambut hitam; bibirnya membayangkan kekuatan kemauan hatinya yang terdesak, dan tangannya terletak di atas bahu pemuda itu, ringan tetapi kuat.
Di segala, “gerak-gerik” gambar itu tampak olehku guruku yang tak kenal padaku. Hanya ketika aku terdiam, terdiri melihat muka yang berseri itu, terasa olehku bahwa suatu alun meresap ke dadaku, menahan nafasku, suatu alun pengertian di antara dia dan aku. Dan guruku yang tak bernyawa itu, tak mendengar, tak melihat, hanya menerima dengan kesabaran hati yang kukuh, biarpun tak selalu mengaminkan sesuatu dengan begitu saja. Dab aku berkata kepada diriku sendiri, “Sekiranya aku bertemu dengan penderitaan yang sangat, di sinilah tempat aku mendapat perdamaian hati, di temat perjuangan dan penderitaan sehari-hari, pecah, hancur luluh di puncak hari kemarin, dan mudah-mudahan tanggunganku akan lebur menjadi debu dan perdamaian.”
Aku perhatikan anak muda yang duduk di bawahnya itu bersila, menengadah ke atas melihat gurunya dalam ketakjuban dan kehormatan, dan dari sedetik ke sedetik, dari semenit ke semenit aku kenal rupaku di wajah anak muda itu.
Demikianlah asal mulanya aku bergiat, mencoba menggamabar, membayangkan penghidupan di atas layar penghidupan dengan tak mengacuhkan caci pujian, tetapi terus berusaha, tak putus-putusnya, hanya dengan seorang guru yang tinggi perasaan keseniannya, yang tak kenal akan muridnya. Terkadang kalau terlambat pensilku di atas kain, tak berdaya, tak berjiwa lagi akan terus, akan kenang kembali gambar “Guru dan Murid” itu dan berkata aku kepada diriku, “Tidak, aku tidak hendakkan bayangan hidup, tiruan hidup, tetapi aku berkehendak hidup semata-mata.”
Ah, berapa pun uanga akan kubayar, untuk belajar kenal dengan perintis jalanku itu, jikalau ada padaku, tetapi … di dalam hatiku aku takut akan menemuinya. Betapa dambanya aku kadang-kadang akan membawa “ciptaan-ciptaan”ku kepadanya, mempersembahkan kerja yang jauh dari sempurna itu, mengatakan, “Ini hasil cucur peluhku, cacilah aku, katakanlah aku tidak ada kepandaian, buanglah pekerjaanku ke dalam bandar sampah,” tetapi hatiku takut, takut akan perkataan-perkataan itu, jika sekiranya nanti betul dilemparkannya ke mukaku.
Tak dapat tiada aku akan patah, jatuh, tak akan bangkit lagi, sebab terasa olehku, aku bergantung kepada guruku seperti seorang bergantung di akar yang tak kelihatan pangkalnya, sedangkan di bawahnya lembah yang dalam.
Oleh karena itu aku jauhakan diirku daripadanya, dan dengan tumpuan batin gambar yang telah terguris, tak dapat dihapus dari kalbuku itu, aku capai tingkat yang tinggi dalam dunia kesenian. Dan ketika aku mesti bercerai dengan “Guru”ku karena diundang orang ke luar negeri, coraknya masih gillang-cemerlang, biarpun tak gemerlapan seperti dahulu lagi.
Ketika aku kembali pulang, tiga tahun kemudian, tak ada kedengaran namanya lagi. Aku tanyakan ke sana-sini. Hingga pada suatu hari, ketika aku duduk di serambi muka rumahku, lalu seorang berjual gambar. Ia berhenti di muka rumahku, melepaskan lelah, menghapus peluhnya, dan karena aku senantiasa memperhatikan buah seni-seni yang tersembunyi, aku hampiri orang itu. Seorang pembeli sedang menawar sebuah gambar yang aku kenal, yang telah jadi teladan bagiku, yaitu gambar “Guru dan Murid”.
Kalau sekiranya aku tak kenal betul akan ciptaan “guru”ku niscaya aku akan terperdaya oleh tiruan itu. Si pembeli tadi menawar satu rupiah, sedangkan si penjual meminta serupiah setengah.
Mendengar harga yang disebut-sebut itu, mendidih darahku, bukan buatan marahku.
“Tunggu dulu,” aku berseru, “tahukah Tuan-tuan, bahwa gambar ini sepuluh tahun yang lampau harganya seribu rupiah, dan sekarang Tuan-tuan berani menjual atau membeli serupiah setengah?”
“Tetapi gambar ini kemarin baru siap,” jawab tukang jual itu.
Ketika itu jelas padaku, bahwa catnya masih baru, hilang marahku, hanya sekarang berganti dengan perasaan benci yang tak terhingga, benci terhadap orang yang meniru ini, yang menjual jiwa dan sukma seorang ahli seni yang besar. Dan ketika kulihat gambar-gambar yang lain, teringat olehku bahwa gambar-gambar lain itu pun pernah kulihat dahulu, dan sesudah kuperhatikan seketika, nyatalah padaku, bahwa ini barang tiruan semata-mata.
“Bang!” kataku kepada orang penjual itu,”kalau Abang bawa aku ke tempat orang yang membuat ini, aku beri Abang nanti persen lima rupiah.” Segera orang itu mau dan kami pun berangkatlah menuju sebuah kampung tak jauh dari kota. Tak lain maksudku, hanya hendak mengata-ngatai si peniru yang tak berperasaan itu.
Di tengah jalan aku perhatikan terus gambar-gambar itu dan makin lama kulihat, makin terharu pikiranku, karena barang tiruan itu tak dapat disangkal, diperbuat dengan tangan yang cakap dan tumbuhlah syak wasangka dalam hatiku yang membuat hatiku berdebar.
Setiba kami di sebuah kampung yang belum pernah aku jejak, dibawa aku oleh si penjual tadi ke sebuah pondok bambu, rendah dan tak teratur tampaknya.
“Silakan Tuan,” katanya dan berseru ia dari luar ke dalam,” Tuan, ini ada tamu!”
Dari dalam rumah itu kedengaran suara yang lemah, tak tegap lagi, ”Suruhlah masuk, Din!”
Aku masuk dan sejurus kemudian aku tertegun, hatiku bedebar, tak salah lagi, yang duduk di atas balai-balai ini ialah guruku, telah agak tua tampaknya, kupiahnya bekerumuk di atas kepalanya dan dari sana sini tersembur dari dalam tutup kepalanya itu rambut putih. Tak tahan hatiku lagi, aku meniarap di bawah lututnya, tak sadarkan diri. Ketika aku angkat kepalaku, heran aku melihat wajah yang tenang itu, sedikit pun tak terlihat keheranan di mukanya yang pucat itu.
“Kaulah yang aku nanti-nanti, Nak,” katanya, “harapan inilah yang memberi aku tenaga untuk hidup terus.”
“Aku yakin,” sambungnya lagi, “gambarku yang satu itu akan memutuskan penderitaanku. Lihatlah kita sekarang, tak ubahnya seperti gambarku dahulu. Aku kenal akan kau, Anakku. Aku turuti engkau semenjak cahayamu mulai terang bersinar dan aku mengerti, engkaulah yang akan menggantikan kedudukanku dalam kesenian Indonesia yang sepi ini. Sekarang aku bersyukur kepada Yang Maha Esa.”
Aku bercerita pula tentang segala hal yang aku alami, dan kunyatakan terima kasihku kepadanya yang tak terhingga.
“Tak usah kau mengucapkan terima kasih pula lagi; pada waktu ini akulah yang sangat bergirang hati, karena masih ada seorang di atas dunia in yang ingat kepadaku; bersuka hati buat pertama kali semenjak … isteriku meniggalkan daku. Semenjak itu tak datang lagi hasrat padaku hendak menggambar. Hilang segala kekuatanku; terkadang aku coba jua dengan bersusah payah, tetapi sia-sia belaka. Tak terperikan perasanku pada waktu itu, kelemahan yang tak terhingga. Perassaan untuk menciptakan sesuatu yang baru, telah hilang, ibarat sebuah lilin yang makin lama makin kurang jua terang nyalanya, pada akhirnya padam, tak dapat hidup lagi. Berkali-kali aku bertempur, kemauan ada, tetapi daya tak ada, karena setiap aku ambil pensilku hendak memulai suatu gambar, hilang kekuatan tanganku.”
“Dan ketika habis uangku, tak lain jalan hanya mengulang-ulang kaji yang lama, membuat gambar yang telah kuciptakan dahulu. Bagaimanakah sekarang penghargaan kepada gambarmu, Nak?
“Tidak seperti dahulu lagi,” sahutku. Bukannya karena orang tak lagi menghargai kesenian, tetapi terkadang uang yang hendak dikeluarkan untuk itu lebih baik lagi dipergunakan untuk yang lebih perlu.”
Ia diam, terpekur.
“Tak usah kau bersusah hati, Nak. Nasib ahli seni sekaliannya sama, seperti hari cerah di waktu pagi, tetapi kian lama kian kelam jua, hingga akhirnya datang awan hitam menutup bentangan langitnya,” ujarnya, setelah hening sejurus.
“Sungguhpun demikian,” sambungnya pula dengan suara yang terharu,”jangan kau berputus asa, sedetik pun jangan, sebab di waktu sekejap mata itulah kadang-kadang menyerang suatu kodrat yang meruntuhkan apa yang telah kita tegakkan dengan bersusah payah.”
Ia berhenti sebentar, mengambil nafas panjang.
“Sekarang, sementara badanku masih mengandung nyawa, ada permintaanku kepadamu…”
“Ah, Bapak jangan berkata begitu,” aku memotong perkataannya. “Seharusnya Bapak beristirahat dahulu, bersenang-senang di tempat saya dan insya Allah, akan kembali lagi kelak apa yang telah hilang buat sementara itu…”
“Tidak, Nak tak usah, dan lagi aku telah tahu, aku takkan lama lagi di dunia yang fana ini, oleh karena aku sendiri pun tak begitu berkehendak lagi akan hidup… Tidak, bukannya aku seorang yang tak berterima kasih kepada Tuhan, tetapi… ah, apakah gunanya bercakap tentang hal ini lagi. Permintaanku Nak, buatkanlah aku suatu gambar, ciptaanmu, sebagai balasan gambarku dahulu. Lihatlah di dinding itu, aku simpan buat Nak.”
Aku menoleh dan di dinding yang ditunjukkannya itu kelihatan olehku gambar “Murid dan Guru,” kotor tak pernah dibersihkan penuh debu, tapi sungguhpun demikian masih mempunyai sinar yang membayang dari bawah kotoran yang menutupinya itu. Terharu pikiranku bukan buatan, hanya Allah saja yang mengetahui, bagaimanakah gerangan.
***
Lima hari lamanya aku bekerja, berusaha mencari “tumpuan”, tapi suatu pun tak masuk dalam dadaku, hilang rasanya segala kekuatanku untuk menggambar; pada waktu subuh, telah mulai aku duduk di muka kain gambarku dan apabila telah terbenam matahari, kainku masih putih, di sana-sini tercoret oleh warna-warna yang tak berkententuan. Sehingga, pada hari keenam aku dipanggil orang, mengatakan guruku menyuruh aku datang.
Aku dapati ia terbujur di atas balai-balai, aku hampiri dan aku singgung lengannya. Lambat matanya baru terbuka dan ketika aku tegur, bertanya ia, “Kau itu Nak? Cobalah lihatkan kepadaku gambarmu itu.”
Aku tertegun, tak tahu apa yang harus kukatakan, hatiku dalam perjuangan, sebab suatu akal timbul dalam dadaku. Tetapi sebentar kemudian aku lemparkan ingatan itu jauh-jauh dari diriku, “Tidak! Aku takkan mengecoh orang tua ini.”
“Mana, Nak” tanyanya sekali lagi, sayup-sayup terdengar. Mendengar suaranya yang lemah itu, patah pula ketetapan hatiku, aku pergi ke dinding dan aku ambil gambar “Guru dan Murid” itu dan aku peragakan kepadanya, sedangkan pada batin bukan main maluku, karena telah mempermain-mainkan guruku yang tak berdaya itu. Tetapi lama kelamaan timbul perasaan lain dalam kalbuku mengatakan bahwa semestinyalah aku tak boleh mengganding guruku yang besar itu dan mulailah tenang hatiku.
Sungguhpun demikian, sekarang di atas tanah, tempat ia tidur selama-lamanya tak putus-putusnya aku menyesali diri, “Sehendaknya aku meluluskan permintaannya yang terakhir, sehendaknya…” Dan terkadang malu aku kepada diriku sendiri karena tak sanggup, tak berdaya, tetapi kemudian pula berpikir aku, “Bukankah ia guruku?” Sebenarnya ia guruku, biarpun ia telah terbujur, terbelintang berkalang tanah, dan aku muridnya, biarpun aku masih hidup bermegah di atas dunia. Mudah-mudahan Allah memaafkan daku, dunia akhirat, tak lain pengharapanku lagi!
Panji Pustaka, Th. XX No. 17, 1 Agustus 1942
USMAR ISMAIL, dilahirkan di Bukittinggi, Minangkabau, 20 Maret 1921. Pendidikan: AMS-A II Yogya, Sekolah Menengah Tinggi Jakarta, tamat 1943. Pada waktu penjajahan Jepang, Usmar dikenal sebagai pengarang yang produktif, melahirkan sajak-sajak, cerita pendek, sandiwara. Ciri khas dari karya-karyanya adalah keagamaan dan kebangsaan.
Usmar mendirikan sandiwara penggemar “Maya” pada permulaan tahun 1944, sebagai imbangan terhadap badan propaganda “Pusat Kebudayaan”. Sesudah Proklamasi Indonesia merdeka, pindah dari Jakarta ke Yogya dan mendirikan Majalah Tentara dan Patriot, yang kemudian menjadi harian dan majalah kebudayaan dan kesusasteraan Arena.
Di tahun 1962, Usmar bersama Djamaluddin Malik, Asrul Sani, Anas Ma’ruf bergabung di Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, sebuah lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama.
Kemudian Usmar lebih dikenal sebagai tokoh film. Film Darah dan Doa dijadikan sebagai tonggak hari film nasional. Dan ia ditetapkan sebagai Bapak Film Indonesia