Cerpen

Pohon-Pohon Bersembahyang

Sabtu, 17 Maret 2018 | 02:00 WIB

Oleh Asef Saeful Anwar

Saya menyaksikan pohon-pohon bersembahyang. Menghadap matahari. Suara mereka teduh merapal asma Tuhan. Gerakan mereka serba tenang. Dan apabila saya ada di dekat mereka sehabis sembahyang, saya akan disalami. Dua atau tiga kali saya pingsan, sebelum akhirnya terbiasa untuk bercengkrama dengan mereka sehabis kami bersembahyang. 

Sepertinya saat dua atau tiga kali pingsan itulah cerita tentang bagaimana saya bisa bicara dengan pohon mulai menyebar. Ya, mungkin sejak itu, sejak saya tak kuat menerima kenyataan bahwa saya memang bisa melihat pohon-pohon bersembahyang dan menyalami saya. Karena saya tidak kuat, saat sadar dari pingsan, berceritalah saya pada istri. Dan dimulai dari istri saya tercinta itulah cerita menyebarlebihluas.

Saya tak menyalahkannya karena mungkin dia juga mulai tak kuat melihat suaminya lebih sering memperhatikan pohon daripada dia dan anak-anaknya. Melihat suaminya lebih dulu menyiram tanaman daripada memandikan anak ragilnya. Melihat suaminya sering bertengkar dengan anak sulungnya sebab saya melarangnya menekuni hobinya: membonsai beringin. 

Cerita terus menyebar, ada orang-orang yang datang ke rumah. Mereka bertanya tentang kebenaran kabar yang mereka dengar. Tentulah saya bicara apa adanya. Saya tak bisa menutup-nutupi, apalagi orang-orang juga mulai sering melihat saya bicara dengan pohon-pohon ketika sedang keluar rumah. Kebetulan sepanjang lorong rumah-rumah tetangga ada pohon-pohon yang ditanam di pot. 

Selanjutnya, banyak yang datang mengeluhkan masalah pohon-pohon yang ditanamnya. Kebanyakan masalahnya sama, yaitu pohon-pohon yang tidak berbunga dan berbuah. Tentulah saya tidak bisa memberikan saran apa-apa sebab saya tak mengetahui bagaimana cara menanam dan membibit yang baik. Waktu itu, yang saya tahu cuma pohon-pohon bersembahyang. 

Namun, suatu kali, ada orang yang memaksa saya untuk turut ke rumahnya. Setibanya di halaman rumahnya, saya melihat sebuah pohon belimbing yang kurus kering dengan ranting agakrebukdandaunannya setengah kuningmelayu. Saya pun mencoba bercakap-cakap dengan belimbing itu dan mengulik apa masalahnya. Ternyata, sang belimbing tak leluasa memandang matahari sehingga tidak bisa sembahyang secara sempurna. Rupanya, penyebabnya kanopi yang menutupi seluruh halaman rumah itu yang dibangun beberapa minggu sebelumnya. Saya pun menyarankan untuk memugar kanopi agar belimbing itu bisa leluasa bersembahyang menghadap matahari.

Si pemilik rumah malah marah-marah pada saya dan menuduh saya sesat karena baginya tak mungkin pohon-pohon bersembahyang, apalagi menyembah matahari. Saya tak menanggapi kemarahannya dan lebih memilih menyalami pohon belimbing yang ada di halaman rumahnya untuk berpamitan.

Tiga hari setelahnya, orang itu kembali bertamu. Ia meminta maaf atas kejadian di rumahnya dan mengabarkan kalau pohon belimbing yang kurus keringnyaitu telah mati. Saya mengucap innalillahi. Tanpa petir tanpa angin pohon itu jatuh dengan akar-akar putus yang menguak dari tanah. Hari itu saya diminta datang lagi ke rumahnya untuk menguburkan. 

Tapi, saya langsung tolak permintaannya. Saya bilang padanya untuk memanfaatkan seluruh batang tubuh pohon itu. Entah untuk bahan bakar atau apa pun terserah dia. Tak ada manfaatnya bila dikubur. Pohon-pohon memang bersembahyang, tapi bukan berarti harus dikubur apabila telah meninggal. 

Setelah kejadian itu saya sering menghabiskan hari dengan berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya karena permintaan tamu. Di halaman rumah mereka ada yang menanam pohon jambu, pepaya, pisang, klengkeng, flamboyan, srikaya, sirsak, mengkudu, markisa, delima, dan lain sebagainya. Pokoknya, rumah-rumah itu ada yang punya beragam jenis pohon, ada yang punya sejenis tapi banyak pohon, dan ada yang hanya punya satu pohon. 

Saran saya pada mereka sederhana, hanya meminta mereka membiarkan pohon-pohon itu menghadap matahari. Tidak dihalangi kanopi, terpal, tembok, atau apa pun. Selain itu, mereka juga harus mulai menjadikan pohon-pohon sebagai bagian dari keluarga. Tentu, saya juga memberikan saran-saran lain sesuai hasil percakapan saya dengan pohon-pohon yang saya temui. Dari saran-saran itu saya mendapatkan imbalan. 

Apakah pekerjaan saya ini haram? Tentu menurut saya tidak. Tapi ada saja orang-orang yang menganggap pekerjaan itu haram sehingga sedikit demi sedikit tamu berkurang. Keuangan saya pun menurun. Sementara saya sudah dipecat oleh perusahaan penambangan tempat saya bekerja sebabsudah lama tak masuk kerja. 

Para tetangga juga mulai tak suka pada saya. Sebabnya, saya mencabut seluruh tanaman di pot-pot sepanjang lorong rumah-rumah tetangga untuk saya tanam di sepanjang tepi sungai. Saya juga ditegur oleh kepala desa karena membongkar beberapa konblok di depan rumah-rumah tetangga. Saya bongkar konblok itu karena sering saya mendengar keluhan para pohon: beri kami tanah, perlihatkan pada kami wajah tanah. Padahal, hampir seluruh tanah di desa saya sudah ditutupi konblok.

Istri saya menganggap kalau kenekadan saya karena tenungan roh-roh jahat yang adadalam pohon. Istri saya pun sempat menasihati agar mengurangi kebiasaan bercengkrama dengan pohon. Ia juga berjanji akan menghidupi kami sekeluarga sampai saya mendapatkan pekerjaan baru. Tapi saya tolak tawaran itu. Saya lebih memilih menjadi juru bicara pohon. Saya pun meninggalkan istri dan anak-anak untuk sementara sampai mereka mengerti akan keadaan saya. Sampai para tetangga, termasuk kepala desa, mulai mengerti kenekadan saya memang benar.   

Lagi pula saya sudah terlanjur menikmati peran sebagai juru bicara pohon. Saya senang bila berjalan melihat pohon-pohon khusyuk bersembahyang lalu menyalami saya. Saya senang saat menyampaikan salam antar-pohon dari halaman rumah ke rumah lainnya yang ternyata saudara. 

Misalnya, pohon nangka milik Waslan ternyata anak dari pohon nangka Waskini. Pohon duwet Wastiah ternyata ibu dari pohon duwet Waslim. Pohon mangga Wasyad ternyata cucu dari pohon mangga Wasmin. Dan lain-lain. Kalau mereka terpisah karena proses jual-beli atau tukar-menukar buah, yang lain ada pula yang terpisah karena angin yang menerbangkan benih terlalu jauh dari induknya. 

Makanan saya selalu disediakan pohon-pohon. Kalau sedang beruntung, saya malah dapat banyak buah karena menyampaikan salam dan kabar antarsaudara pohon itu. Kata mereka, angin-angin sering salah mengirimkan kabar sehingga mereka lebih percaya pada saya.

Yang membuat saya heran, mereka tak meminta saya untuk mempertemukan mereka dengan keluarganya dalam satu lingkungan atau dalam satu taman. Mereka sangat hormat benar dengan para penanamnya. Mereka sungguh tawaduk pada para pemilik tanah tempat mereka hidup. 

Saya jadi ingat istridananak-anak yang waktu itu telah saya tinggalkan beberapa pekan. Saya pun mampir ke rumah. Istri saya menyambut dengan senyum. Anak sulung saya juga. Anak ragil saya malah menangis memeluk ayahnya yang datang. Tapi, istri saya buru-buru menghindar dan mengajak anak-anak masuk rumah ketika saya mengatakan bahwa saya ingin menjenguk pohon-pohon di halaman rumah. 

Pohon kersem menyapa. Buahnya dijatuhkan ke kepala saya. Katanya ia iba pada nasib saya. Saya katakan tak masalah asal tidak sampai kami bermusuhan. Saya menerima sapaan yang sama dari anak nakal, kembang kertas, mawar putih kesayangan istri saya, jeruk nipis, juga beringin yang tidak lagi terbonsai. 

Saya duduk di antara mereka. Saya mengeluhkan keadaan saya yang mulai lelah berjalan untuk menyampaikan salam dan pesan antar-pohon. Saya tiba-tiba ingin menjadi pohon saja.  

Mawar putih menundukkan bunganya. Ia menasihati agar saya tak menyerah. Katanya, kesusahan selalu datang dalam setiap kewajiban. Pohon anak nakal malah berkata saya ini beruntung karena Nabi-pun tak ada yang bisa bercakap dengan pohon-pohon. Jeruk nipis meminta saya membersihkan daunannya dari ulat-ulat kecil. Istri saya terlalu sibuk dengan kerjaan sehingga kurang perhatian padanya. Sementara pohon beringin memamerkan tubuhnya yang mulai meninggi. Kembang kertas tersenyum dengan rekah bunga merahnya. 

Saya bertanya pada mereka apakah mereka bahagia menjadi pohon? Hidup dan mati di satu tempat saja? Apakah mereka tidak mau berkumpul dengan keluarganya dalam satu taman? 

Tak ada yang menjawab. Sampai akhirnya saya tunjuk pohon kersem untuk menjawabnya. Saya tahu dia yang paling tua sehingga dialah yang mungkin lebih tahu dari yang lainnya. 

Kersem itu bilang bahwa pohon-pohon memang diciptakan untuk berbakti pada manusia. Tuhan menciptakan pohon-pohon pada hari Senin sementara manusia diciptakan pada hari Jumat. Jadi, pohon memang diciptakan untuk kebutuhan hidup manusia. Dan dalam sebuah kebaktian tak ada beban kecuali kebahagiaan, katanya.

Mereka pun bahagia hidup dan mati di satu tempat sebab mereka hidup rukun dengan pohon-pohon yang bukan keluarganya. Bahkan, beberapa rela berkorban sebagai tempat hidup pohon-pohon parasit. Apakah manusia bisa seperti itu?

Saya menggeleng. Manusia lebih banyakmengutamakan dirinyasendiriataugolongannya daripada kemanusiaannya, kata saya. Kalaupun manusia mementingkan kemanusiaannya, mereka sering lupa jati diri kemakhlukannya. 

Saya kembali bertanya, sejak kapan pohon-pohon bersembahyang? 

Untuk tahu jawaban itu ia memberi saran agar saya menemui pohon randu alas yang paling besar yang ada di depan sebuah pemakaman di dekat pasar kecamatan. Saya tak tahu perihal pohon randu alas. Sang kersem meminta pohon kembang kertas untuk melepaskan bunganya dan mengantarkan saya ke pohon yang dimaksud.

Saya pun berjalan mengikuti bunga kertas merah tipis yang terbang dengan tenang. Saya waktu itu lupa pamit pada istri dan anak-anak. 

Setibanya di depan pemakaman ini, saya takjub ketika melihat bunga kertas menyapa bunga-bunga kuning yang beterbangan dari pohon randu alas. Mereka jatuh bersama, merebahkan diri di atas kuburan. Setiap gundukan kuburan itu selalu terdapat bunga kuning dari randu alas yang berdiri kokoh di depan pintu pemakaman. 

Pohon ini, pohon di hadapan kalian ini, memalingkan wajahnya pada saya dan saya menghaturkan salut padanya yang meratakan taburan bunganya pada tiap gundukan kuburan. 

Pohonrandu alas itu bilang: “Biasa saja, itu sudah kewajiban”. Ia lalu menggeliatkan dahannya, merontokkan bunga-bunganya yang terbang berpusing seperti kincir dan jatuh di gundukan kuburan. Kalau saja Nabi Terakhir dari kaummu tak memberi teladan manalah mungkin saya mau melakukannya, itu katanya.

Saya kaget. Dia tahu sejarah Nabi Terakhir kita! Dia tahu bahwa selama daun-daun di atas gundukan kuburan tak kering maka arwah ahli kubur akan diberi keteduhan di akhirat sana. 

Bayangkan, dia tahu ajaran itu. Masakah kalian akan tetap melaksanakan niat kalian?   

Saya tahu, pohon-pohon bersembahyang tidak seperti yang diajarkan Nabi Terakhir. Saya pun tanyakan hal itu kepada pohon randu alas ini, agar kalian juga mengerti mengapa saya membela randu alas ini. 

Katanya, ajaran Nabi Terakhir hanya untuk manusia, bukan untuk pohon. Masakah pohon harus sembahyang dengan bersujud seperti manusia? Bagaimana nasib telur-telur burung yang sarangnya ada di dahan? Bagaimana nasib semut-semut yang berumah di lubang batang dan ranting? Juga serangga-serangga lain yang berumah di tubuh pohon apabila lima kali sehari mereka harus bersujud sebanyak 34 kali? Bisa-bisa makhluk-makhluk itu tak bisa hidup dengan tenang. Sembahyang itu bukan untuk membuat susah makhluk lainnya, begitu katanya.

Dan perlu kalian tahu, pohon-pohon bersembahyang sejak Nabi Adam turun ke bumi. Jika banyakmanusia bersembahyang untuk pahala, pohon-pohon bersembahyang karena ingin meminta ampun pada Tuhan atas kesalahan sebuah pohon di surga yang membiarkan buahnya dipetik Adam. 

Mungkin kalian akan membantah karena bagi kita, manusia, yang salah adalah iblis yang membisiki Hawa agar meminta Adam memetikan buah terlarang. 

Tapi coba cermati jawaban pohon randu alas ini. Katanya, yang dirayu iblis adalah pohon yang ada di surga, bukan Hawa. Di surga, pohon itu selalu kesepian. Tak ada siapa pun yang berani mendekatinya sebab Tuhan melarang siapa pun untuk mendekatinya. Mengerti kalau sang pohon selalu disekap kesepian dan kesedihan, iblis mendekatinya. Pada pohon itu iblis menjanjikan bahwa kelak pohon itu tidak akan menjadi terlarang bagi siapa pun apabila mampu merayu Hawa. Maka pohon itu berbuahlah dengan rindang. Buahnya merona dan memesona hingga membuat mata Hawa melirik dan tak bisa memalingkan wajahnya kecuali meminta Adam untuk memetikannya. 

Ceritanya memang tidak ada dalam kitab suci. Saya juga awalnya ragu pada kebenarannya. Tapi, apakah segala hal harus Tuhan cantumkan dalam kitab suci yang hanya beberapa lembar? 

Apakah dalam kitab suci Tuhan menerangkan bahwa pohon-pohon bersembahyang menghadap matahari? Tidak, tidak ada, silakan kalian bisa baca sendiri. Yang ada, Tuhan hanya mengatakan pohon-pohon bersujud padanya, tidak menerangkan bagaimana caranya pohon-pohon bersujud. Tidak pula diterangkan sujud menghadap ke arah mana. Padahal, pohon-pohon bersembahyang menghadap matahari. Mereka sembahyang menghadap matahari bukan karena tidak menyembah Tuhan, bukan, bukan seperti itu. Mereka menyembah Tuhan sama seperti ketika kita sembahyang dan menghadap sebuah kubus!

Pohon randu alas ini rela mati, tetapi dia tidak ingin berhenti menaburkan bunga-bunganya di atas gundukan kuburan. Bukankah kuburan-kuburan ini berisi jasad orang-orangtua kalian? Berisi jenazah saudara-saudara kalian?

Jadi, tolong, tolong urungkan niat kalian untuk menebang pohon randu alas ini hanya karena kalian ingin mendirikan sebuah tower untuk berkomunikasi!

Tepi Kali Code, November 2013


Penulis adalah pengajar di Program Studi Sastra Indonesia FIB UGM. Di antara karyanya adalah Alkudus (novel, 2017)


Terkait