Cerpen Hadistsya Aulia Azis
Hujan tidak berhenti turun dari semalam. Tidur terasa lebih pulas karena hawa yang dingin. Setelah shalat Subuh aku keluar kamar, melihat kakek sudah duduk di bangku sambil menonton berita di televisi. Aku mencium aroma harum dari arah dapur. Ternyata ibu sedang menggoreng pisang dan membuat teh hangat manis untuk disantap bersama.
"Kak, Abang, ke sini dulu. Ayah mau bicara sesuatu," wajah ayah terlihat dari balik kepulan uap teh panas di tangannya.
"Kakek akan tinggal di sini sementara waktu. Mungkin setelah ada rundingan keluarga di mana kakek akan tinggal nanti," kata ayah.
Baca Juga
Wasiat Ibu
Sebenarnya tidak meminta izin kami pun, kami tidak keberatan. Tapi ayah menghargai kami karena dengan keberadaan kakek di rumah sekarang pasti kami akan ikut direpotkan.
Awalnya kakek tidak ingin tinggal bersama anak dan cucunya. Kakek lebih memilih menetap di tanah kelahirannya di Purworejo, Jawa Tengah. Kakek memang tinggal di sana, tapi setelah nenek wafat, anak-anaknya mengajak ke Jakarta. Kakek awalnya menolak karena ingin menghabiskan masa tua yang sudah dibangun di sana. Setelah dibicarakan baik-baik akhirnya kakek mau mengerti.
*
Baca Juga
Sujud Terakhirku di Tahajud Malamku
Tidak terasa kakek sudah tinggal sebulan bersama. Dia sering mengeluh tidak betah, selalu minta pulang bahkan sampai mengigau saat tidur. Sebenarnya kasihan sekali melihatnya, tapi lebih kasihan kalau kakek tinggal di Purworejo sendiri. Kakek sudah pikun dan sepuh tidak kuat melakukan hal yang berat.
Aku melepas penat setelah beberes rumah. Baru saja aku aku membuka handphone, tiba-tiba terdengar.....
"Bukkk...."
Suara itu berasal dari teras luar rumah. Kakek sudah terkulai lemah dengan baju yang basah kuyup. Alhamdulillah tidak terjadi hal lebih buruk yang tidak diinginkan.
Ini bukan kejadian pertama. Pernah sekali kakek jatuh di kamar mandi, padahal sebelumnya sudah diingatkan kalau mau ke kamar mandi memanggil ibu agar diantar. Kakek tetap keukeuh tidak mau menurut. Akibat dari jatuh itu, walaupun tidak terlalu parah, kakek harus rutin terapi karena ada pergeseran tulang di bagian kakinya.
Semenjak kejadian itu ibu memperingatkan kami agar lebih intens menjaga kakek. Setiap ulah kakek yang membahayakan, kami cucunya selalu mengingatkan dengan cara baik-baik. Tapi kadang ibu marah mengira seakan-akan kami selalu melarang dan membatasi kegiatan kakek.
Kakek yang menganggap dirinya masih mampu melakukan kegiatan seperti masa dulunya ia bekerja. Dulu kakek memang adalah seorang pegawai kantoran. Dia dipandang sugih di kampung karena dianggap sukses merantau di Jakarta. Kakek mempunyai beberapa rumah dan tanah yang lumayan luas, serta sawahnya yang subur. Itu investasi yang akan diwariskan kepada anak-anak dan cucunya.
*
"Hati-hati Eyang kalau jatuh gimana? Nggak usah pakai tongkat ya nanti kesandung," kataku mengingatkan sambil membantu kakek berdiri dari kasur. Kakek hampir saja jatuh karena ingin jalan dengan tongkat yang dipegangnya.
Saat aku melanjutkan mencuci piring yang sempat tertunda tadi, tiba-tiba ibu memanggilku.
"Kamu tadi ngapain bentak eyang? Jangan begitu seakan apa-apa yang eyang lakuin itu salah. Kita larang melulu di rumah nanti nggak betah gimana?" kata ibu menegur dengan nada agak keras.
"Aku cuma ngingetin eyang, tadi hampir jatuh kesandung tongkat, Bu. Nggak sama sekali niatan bentak eyang."
Aku menahan air mata, sementara ibu pergi meninggalkanku. Aku ke kamar menangis sesenggukan. Semua lepas begitu saja. Sebenarnya itu bukan kali pertama ibu menegur seperti itu. Aku lebih baik menahan dan merenungkan diriku sendiri. Mungkin itu kesalahanku juga.
Tidak lama kemudian, ibu membuka kamar dan langsung menghampiriku.
"Maafin ibu ya, Nak. Ibu hanya khawatir eyang tidak betah di sini, takut rumah ini tidak dapat berkah. Takut ibu nyakitin hati eyang dan jadi anak durhaka," kata ibu.
Tangisku menjadi-jadi. Aku lebih menangis lagi karena melihat ibu menahan tangis. Tidak tega dan merasa sangat bersalah sekali. Ibu langsung memeluk, dan menenangkan tangisanku.
*
Ibu pernah bicara kalau ingin mendapatkan surga orang tua harus berkorban. Semakin tua orang tua di situlah tantangannya. Karena siklus kehidupan kembali ke kanak-kanakan. Awalnya aku mengeluh karena waktuku tersita untuk menjaga kakek.
Tapi itu tidak sebanding dengan apa yang dilakukan ibu. Dari pagi sudah repot dengan pekerjaan rumah, menyiapkan sarapan keluarga, membersihkan rumah, menjaga eyang, tak lupa juga memperhatikan anak-anaknya. Itu semua tidak semua disebutkan, pekerjaan semua itu tidak semudah diucapkan. Sampai ibu sakit pun yang diingatnya hanya kakek. "Eyang makan apa? Eyang gimana? Eyang jangan lupa ini itu."
Aku yang melihatnya saja lelah. Alhamdulilah ibu didampingi ayah yang selalu ada di samping ibu, tapi tetap saja ibu tidak mau banyak merepotkan kami semua. Sungkan, takut kami kelelahan, kata ibu.
Ibu tidak pernah menuntut anak-anaknya untuk berjanji akan merawatnya ketika masa tua nanti. Tapi semua perlakuan ibu sudah menjadi bekal berharga. Dari ibulah kami mendapat pelajaran yang tidak bisa didapatkan dari siapa pun. Melihat perjuangan ibu yang sangat totalitas merawat, menjaga, memberi kasih sayang kepada kakek.
Kata ibu, memang sudah kewajiban anak merawat dan menjaga orang tua. Bagi seorang perempuan tetap harus dengan izin suami walaupun itu orang tua sendiri. Ibu bisa membuktikannya dengan keberadaan kakek tapi juga tidak lalai dengan pekerjaan yang lain.
Ibu, ayah doakan anakmu, insan faqir ini masih membutuhkan doa dan nasihatmu. Wejangan ibu selalu aku ingat dalam kalbu. Semoga ibu dan ayah selalu dalam lindungan-Nya dan lancar rezeki. Aamiin ya rabbal alamin.
Hadistsya Aulia Azis mahasiswi Ma'had Aly Sa'iidusshiddiyah Jakarta.