Malam itu begitu tenang. Angin berhembus pelan, menyentuh dedaunan yang menua di halaman belakang. Bulan separuh tergantung di langit, seolah enggan meninggalkan bumi yang tertidur dalam kesunyian. Di dalam sebuah kamar sederhana yang hanya diterangi lampu minyak, seorang lelaki duduk bersila di atas sajadah.
Namanya Raka. Seorang lelaki yang hidupnya biasa tapi batinnya tak pernah tenang.
Sejak beberapa bulan terakhir, Raka sering terbangun di tengah malam tanpa sebab. Bukan karena mimpi buruk, bukan pula karena suara gaduh. Ada sesuatu yang membangunkannya, sesuatu yang lembut namun kuat. Ia tak bisa menjelaskan dengan kata-kata semacam panggilan, semacam bisikan yang menyeret jiwanya keluar dari kelalaian.
Awalnya, ia mencoba menolak. Ia merasa lelah. Hidupnya sudah penuh dengan urusan dunia pekerjaan, keluarga, rutinitas yang tak berujung. Namun, panggilan itu tak pernah padam. Setiap kali ia abaikan, hatinya terasa kosong dan dadanya sesak. Seakan ada ruang yang menjerit ingin diisi, tapi ia tak tahu dengan apa.
Malam demi malam berlalu, dan Raka semakin gelisah. Hingga suatu malam, ia menyerah.
Ia duduk, menarik napas panjang, menatap temaram cahaya lampu. “Aku tak tahu siapa yang memanggilku,” katanya lirih, “tapi aku datang.”
Dan malam itu, ia mulai berbicara dengan sesuatu yang tak berwujud.
Ia menyebut satu nama yang dulu hanya ia kenal lewat doa-doa formal: Allah.
Namun kali ini, nama itu terasa berbeda. Bukan sekadar kata dalam ritual, melainkan getaran yang mengguncang seluruh jiwanya. Setiap kali ia menyebutnya, hatinya bergetar. Air matanya menetes tanpa sebab.
“Aku tak tahu wujud-Mu,” katanya dalam sujud. “Namun setiap napas ini mengenal nama-Mu.”
Malam-malam berikutnya menjadi saksi kejujuran hatinya. Ia mulai mengurangi tidurnya, menggantinya dengan duduk diam, memejamkan mata, dan hanya menyebut satu nama. Ia tidak berdoa untuk dunia, tidak meminta apapun. Ia hanya ingin dekat meski tak tahu seberapa dekat jarak itu.
Kadang ia merasa seperti berbicara sendirian. Kadang ia merasa hatinya begitu hampa. Tapi di balik hampa itu, ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Seolah ada kehadiran yang menemaninya di antara detik-detik sepi.
Hingga suatu malam, ia merasakan sesuatu yang berbeda.
Saat ia menyebut “Allah” dalam hati, tiba-tiba dadanya terasa hangat. Bukan panas, bukan sakit hangat yang lembut, seperti pelukan yang datang dari dalam diri sendiri. Ia merasa seluruh tubuhnya ringan, dan di dalam kesunyian itu, ia menangis tanpa suara. Air matanya jatuh, bukan karena sedih, melainkan karena rindu yang tak tahu kepada siapa ia tujukan.
Raka menunduk dalam-dalam, mencium sajadahnya yang sudah lembab. “Aku rindu,” bisiknya. “Aku tak tahu apa yang kurindukan, tapi aku tahu Kau mendengarnya.”
Waktu berjalan. Hari-hari Raka diisi dengan diam dan dzikir dalam hati. Ia bekerja seperti biasa, tersenyum kepada rekan-rekannya, tapi dalam dirinya, ada getar halus yang tak pernah padam. Ia merasakan bahwa setiap langkah, setiap tarikan napas, adalah bentuk lain dari doa.
Namun, sebagaimana manusia, Raka tak selalu kuat. Ada masa-masa di mana ia kembali lalai. Pekerjaan menumpuk, emosi membuncah, dan dunia menariknya lagi ke dalam arus sibuk yang melupakan. Tapi anehnya, setiap kali ia lalai, batinnya terasa hampa. Ada badai kecil yang menghantam dadanya, membuatnya resah tanpa sebab. Ia tahu, itu bukan sekadar stress itu adalah teguran.
Malam itu, ia kembali tersungkur dalam sujud panjang. “Ampuni aku,” bisiknya pelan, “aku lupa pada-Mu.”
Ia menangis lagi, kali ini lebih dalam. Air matanya bukan hanya penyesalan, tapi juga rasa syukur karena masih diingatkan. Dalam sujud itu, ia merasakan sesuatu yang tak kasat mata: pelukan yang tak terlihat, namun nyata di hati.
“Kau selalu ada,” katanya sambil menutup mata, “meski aku sering menjauh.”
Lalu datanglah satu malam yang akan selalu ia kenang.
Di sepertiga malam itu, ia duduk bersila lebih lama dari biasanya. Udara dingin menembus kulit, tapi hatinya hangat. Ia tidak lagi memikirkan apa pun. Ia tidak berusaha menemukan apa-apa. Ia hanya diam, tenggelam dalam kehadiran yang ia rasakan mengelilinginya.
Tiba-tiba, seolah waktu berhenti. Ia tidak lagi mendengar suara detak jam, tidak lagi merasakan beban tubuhnya. Yang tersisa hanyalah rasa damai yang begitu luas.
Raka merasa dirinya tenggelam dalam sesuatu yang lembut dan terang. Ia tak melihat cahaya dengan mata, tapi batinnya menyaksikan sesuatu yang lebih dari
Cahaya sebuah kesadaran bahwa dirinya kecil, rapuh, dan seluruh keberadaannya hanyalah karena cinta yang Maha Besar.
Ia berbisik tanpa suara, “Aku tenggelam dalam kasih-Mu… tiada batas, tiada syarat, tiada ragu.”
Ketika ia tersadar, fajar sudah menyingsing. Langit mulai berwarna lembayung, dan burung-burung kecil menyanyikan lagu pagi. Ia menatap kedua tangannya yang basah oleh air mata. Tak ada keajaiban yang tampak di luar, tapi di dalam dirinya, sesuatu telah berubah.
Ia merasa ringan bukan karena semua masalahnya hilang, tapi karena kini ia tahu cara memandangnya. Ia tahu, hidup ini bukan sekadar berjalan dan berjuang, tapi juga belajar untuk kembali kepada yang memberi kehidupan.
Hari-hari selanjutnya, Raka menjalani hidup dengan cara yang baru. Ia masih bekerja, masih bercanda, masih berhadapan dengan dunia yang sama, tapi hatinya kini berbeda. Ia membawa ketenangan itu ke mana pun ia pergi. Ia tidak lagi mencari tanda-tanda lahir, karena ia telah menemukan yang batin.
Ia mulai memahami sesuatu yang dulu hanya ia dengar dari para sufi: bahwa rindu kepada Tuhan bukan sekadar perasaan, melainkan bentuk tertinggi dari cinta. Bahwa mencintai Tuhan tidak perlu menatap, cukup merasa. Tidak perlu mendengar suara, cukup menyadari kehadiran.
Suatu malam, seorang sahabat menemuinya dan bertanya, “Raka, kau sering sendirian di malam hari. Apa yang sebenarnya kau cari?”
Raka tersenyum. Ia tidak langsung menjawab. Ia memandang ke luar jendela, melihat bulan yang menggantung di langit dengan sinarnya yang lembut.
“Aku tidak mencari apa pun,” katanya akhirnya, “aku hanya ingin bersama Dia yang tak pernah meninggalkan.”
Sahabatnya diam, tak memahami. Tapi Raka tidak perlu dimengerti. Ia tahu, rindu yang ia rasakan bukan untuk manusia, bukan pula untuk dunia. Itu adalah rindu yang datang dari sumber rindu itu sendiri. Rindu yang tidak berwujud, tapi nyata dalam setiap napas dan detak jantung.
Malam itu, ia kembali bersujud. Kali ini tanpa air mata, tanpa permintaan, tanpa gelisah. Hanya ketenangan yang menyelubungi seluruh jiwanya. Dan dalam sujud itu, ia tahu, bahwa rindu yang dulu menyakitkan kini telah berubah menjadi kehadiran yang menenangkan.
Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar,
“Jika aku mendekat, Kau semakin merapat. Jika aku menjauh, Kau tak pernah menjauh.”
Lalu ia diam, menyatu dalam keheningan yang suci. Tak ada lagi jarak antara dirinya dan Yang Dirindukan. Hanya ada cinta, hanya ada Dia yang melingkupi semesta dan hatinya untuk selamanya.
Samudera Dwija, nama pena dari Siswanto, Setelah bebepa tahun menjadi Kepala SDN 1 Bangsri ia kini berkarier sebagai pengawas SD di Nganjuk Jawa Timur. Ia Sekretaris MWCNU Kertosono 2022-2027. Karyanya dalam bentuk buku berjudul Guru Terjepit hingga Melejit (2025).