Mata-mata berjejal setelah lama terkatup menanti pagi. Ubin yang masih terlapisi tanah dan sedikit lembab menjadi kawan hangat. Aku hidup bersama kakekku. Bersekolah di salah satu sekolah negeri. Kawan-kawan sering memanggilku Jitot, Aji katok melorot. Memang celanaku sering melorot saking kendornya. Aku tak bisa sering-sering membeli celana sekolah berwarna merah. Kakekku hanya penjual ikan asin, keuntungannya hanya bisa membeli nasi dan lauk pauk seadanya.
Kakekku bekerja dari pagi hingga tengah malam. Sepuluh kilo ia tempuh dengan sepeda tuanya. Tuanya sebaya dengan rentanya. Suara kayuhannya melengking saat kaki kakekku ingin mengayuhnya. Sepeda itu pemberian dari tetanggaku. Ia baik dan dermawan. Ia memberikan sepeda kepada kakekku cuma-cuma.
"Kapan kakek bisa membelikanku celana baru? Barang ini sangat lusuh. Aku lelah diejek teman-teman, Kek."
Raut wajah lesu kakek tersapu angin. Rengekan cucunya membuat rona muka dipaksa untuk tersenyum. Kakek hanya mengelus pundakku sambil berkata, "Besok kakek belikan. Sabar sebentar ya."
Udara makin dingin menusuk rongga-rongga tenggorokan kami. Makan malam hanya tersedia nasi jagung iwak teri. Kakek mengusap keringatnya sambil terus mengunyah walaupun giginya payah. Giginya ompong melompong, hingga gusi yang meringis geli. Tak berapa lama hujan menghiasi rumahku. Atap-atap mulai menganggap membanjiri teras depan. Kakek segera menghalangnya dengan ember.
"Bocor, Ji. Singkirkan baju-bajumu, biar besok pagi tidak basah."
Aku mengangguk, kurapikan seragam sekolahku. Aku bergumam dalam hati: Alangkah senangnya jika seragam sekolahku baru. Kakek sudah janji belikan aku seragam baru.
Tetesan air hujan kerap masuk di genting rumahku. Saat-saat musim hujan seperti ini, kakek harus pindah ke kamarku, kami tidur berdua beralaskan tikar rotan.
"Dingin ya, Kek. Hujannya tidak mau berhenti."
"Nanti juga reda sendiri," kata sambil menyelimuti tubuhku dengan sarungnya yang berwarna hijau kotak-kotak. Mata kami tetap memandang ke arah langit-langit rumah. Lebatnya suara air hujan dan dentingan jam dinding menjadi alunan nada yang kami dengar sebelum terlelap.
Tik tok
Tik tok
Tik tok
Perlahan bola mataku terkatup. Suara air hujan terasa landai, dan selimut sarung itu menjadi pelindungku. Semuanya lenyap dideru kantuk.
Pagi-pagi buta kakek sudah pergi. Tidak biasanya kakek tidak menyapaku saat bangun tidur dan berangkat sekolah. Kakek hanya meninggalkan sepucuk surat di ceret kayu: "Maaf. Kakek tidak pamit. Kakek berangkat kerja dulu ya, Ji. Hati-hati. Nanti setelah sekolah langsung pulang, bantu kakek garap sawah. Nanti ada hadiah buat kamu."
Hadiah? Jangan-jangan sepeda baru. Ah, jangan terlalu berkhayal, Ji. Uang dari mana.
Kukayuh pedel sepedaku. Hilir mudik pengendara motor berlalu lalang di jalan raya. Kebulan asap knalpot yang menghitam dan beradu menjadi asesoris di tepi jalan. Walaupun begitu, kesejukan di pagi hari masih bisa terasa. Jarak tempuh dari rumah ke sekolah tidak cukup jauh, sekira 150 meter saja.
"Hai, Ji. Masih pakai sepeda butut saja. Ganti baru dong," suara laki-laki yang memantul ngebas itu milik Bani, anak lurah tetangga desaku.
"Hehehe. Iya, Ni. Kapan-kapan."
"Keburu habis kapan-kapannya."
Aku tidak mau menggubris, aku tidak ingin merusak pagiku dengan menanggapinya. Aku hanya melontarkan senyum merekah kepadanya lalu bergegas pergi: "Ayah, ibu. Aku kangen kalian."
Hampir saja ia terlambat masuk. Gerbang sekolah setengah body sudah ditutup Pak Norman. "Le...le, untung kurang dua menit. Ayo cepat masuk," aku hanya meringis dan menggaruk rambutku yang sudah acak-acakan diterpa angin jalanan.
Klek
"Nah, sudah aman."
Pagi ini waktunya pelajaran bahasa Indonesia. Aku suka sekali dengan bahasa Indonesia. Nilaiku selalu bagus. Bu Rani selalu menyemangatiku untuk terus mempertahankan nilai itu. Sesekali aku juga diberi uang jajan.
"Anak-anak, besok akan ada ulangan harian untuk pelajaran bab lima, ya. Dimohon untuk belajar dan tetap semangat."
Semuanya bersorai. Tepat satu jam lamanya Bu Rani berada di kelasku. Kelas yang tidak terlalu banyak jumlah siswanya. Maklum, kelas reguler. Bu Rani merapikan peralatannya lalu pergi. Namun sebelum itu, Bu Rani menghampiriku, "Buat jajan sama makan siang, Ji."
Aku mengangguk pelan. Ucapan terima kasihku membuat senyum Bu Rani merekah kembali
Rais ternyata sudah menungguku di tembok belakang kantin, "Ayo main, Ji."
"Ayo, Is."
Kkkrrrrrrr
"Hahaha. Suara apa itu. Kamu lapar ya."
"Iya, Is."
"Ya sudah, ayo makan dulu di situ," ia menunjuk warung Bu Kasni.
Kami berdua makan dengan lahap, sesekali berbincang dengan mulut yang masih penuh dengan kunyahan nasi dan lauk-pauk. "Kakekkmu masih jualan, Ji?"
Aji mengangguk. Seketika Aji khawatir dengan kakeknya setelah dia merengek ingin dibeliikan sepatu baru.
"Aku pulang dulu ya, Is.Tadi aku hampir lupa kalau kakek mau ajak aku ke suatu tempat. Makananmu sudah ku bayar di Bu Kasni." belum sempat membalas, Rais hanya bisa melambaikan tangan dan menelan pelan-pelan sisa-sisa makanan yang masih tertanggal di kerongkongannya: "Terima kasih, Ji."
Semarang, 2025
"Bagaimana kalau kita adopsi anak saja, Sayang?"
Budi tidak ingin melihat istrinya terus-terusan meratapi takdir. Dua indung telur dan rahim usai diangkat lima bulan lamanya. Untuk mempunyai keturunan mustahil rasanya. Ah aku tidak mau turut bersedih atas keputusan terbesar itu.
"Anaknya siapa yang mau kita adopsi, Sayang. Aku tidak terlalu suka bayi. Aku tidak punya asi, tidak bisa mbedong, tidak bisa nyebokin, tidak bisa...." tanganku menghalang mulut kecilnya yang tiada henti mengumpat kelemahannya.
"KIta adopsi yang sudah masuk sekolah dasar saja, bagaimana? Jadi kita tinggal memberikan fasilitas sekolah unggulan. Tadi aku tidak sengaja bertemu dengan kakek penjual ikan asin."
"Ikan asin? apa hubungannya dengan adopsi anak?"
Aku tersenyum. Sejenak kulekatkan mataku memandang raut kebingungan dari istriku tercinta, Clara.
"Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan seorang kakek. Dia sangat dermawan. Dia membantuku saat ban mobilku terkena paku di jalan, setelah itu aku ajak dia ngobrol, dan ternyata kakek itu berdua dengan cucunya saja, namanya Aji."
Aku melanjutkan ceritaku bersama Clara. Aku bercerita bagaimana anak yang bernama Aji itu. Dia pintar, dia suka membantu kakeknya jual ikan asin setelah pulang sekolah, dan ternyata obrolan itu berangsur lama.
Hasratku sangat ingin mengadopsi anak yatim piatu itu. Semoga Clara pun setuju dengan usulanku. Hingga akhirnya aku berani berkata, "Aku ingin Aji jadi anak angkat kita, Sayang. Bagaimana menurutmu?"
Clara terdiam. Matanya lurus melihat kipas angin gantung. Napasnya berhembus panjang. "Aku mau bertemu langsung sama anak itu dahulu, baru aku bisa berikan jawabannya, Sayang."
Aku menggenggam tangannya, menatap matanya sekali lagi, memberikan tanda bahwa usulanku sangat tepat, karena aku yakin, Aji anak baik.
Percakapan pun usai, Clara kembali melanjutkan aktivitas bersama teman-temannya. Sementara aku meregangkan otot kencangku selama letih bekerja sambil minum teh di teras rumah.
Huffft......
Napas Aji terengah-engah, dia hampir saja terpeleset di galeng yang becek itu. Aji bersama sepeda kuno pemberian orang tuanya sambil membawa bekal dari rumah.
"Sudah selesai, Kek? ini Aji bawa makanan."
Kakek cepat-cepat melepas caping tani dan membersihkan tangannya usai memanen bibit padi. Keringat yang bercucuran juga segera ia basuh dengan air. "Tunggu sebentar di sana."
Kakek mengambil dua buah gelas berisikan air kelapa. "Wah, segar nih, Kek. Kelapanya siapa?"
"Dari Pak Naryo, yang punya sawah ini. Ayo makan."
Segarnya air kelapa melupakan makanan yang amat sederhana. Lagi-lagi mereka hanya bisa membeli lauk ikan asin dan orek tempe dari warung sebelah rumah.
"Maafkan kakek ya, Ji. Kakek belum bisa beli sepeda dan celana baru. Tapi nanti hasil garap sawah Pak Naryo kakek simpan buat beli celanamu dulu."
Aji mengelus pipi sang kakek yang sudah keriput dan terlihat kisut lalu ia tersenyum.
"Tidak apa-apa, Kek. Nanti biar Aji jahit sendiri di rumah biar tidak kendor. Benang jahitnya masih ada kan, Kek?"
"Masih, Ji."
Sedang asyik makan dan berbincang-bincang, tiba-tiba kakek menepuk pundak Aji. Kakek berkata, bahwa ada bapak-bapak yang ingin bertemu dengannya. "Siapa, Kek? Kenapa bapak itu mau bertemu denganku?"
"Nanti kakek kasih tahu. Sekarang kamu pulang setelah itu mandi, ya. Nanti Pak Budi jemput kamu sama kakek di suatu tempat."
"Pak Budi? Suatu tempat? Kenapa ya?"
Sepuluh menit kemudian, tiba-tiba dari halaman depan klakson mobil terdengar lantang. Sorot lampunya terang. Kaca mobil depan terbuka. Muncul wajah semringah menyapa dari dalam mobil.
"Aji, ya?"
Aji mengangguk dan menunduk. Aku tidak kenal mereka tapi sepertinya Pak Budi orangnya baik.
Lamunan Aji buyar ketika Pak Budi membuka pintu mobilnya. Ia lagi-lagi menyambut dengan melontarkan pujian. "Kamu hebat, Aji. Rankingnya tolong dipertahankan, ya."
"Ranking? Kenapa Pak Budi tahu kalau aku dapat ranking. Pasti dari kakek ya?"
"Silakan duduk di gubuk kami, Pak Budi, Bu....?"
"Nama saya Clara, Kek."
"Baik, Bu Clara. Silakan masuk." Kedua orang asing itu masuk ke dalam Rumah kami. Aji yang heran mengapa kakek bisa kenal dengan Pak Budi dan Bu Clara.
Sementara itu, kakek dengan riang gembira menyambutnya dengan mengambil dua cangkir teh manis hangat dan kue pemberian dari tetangga sore kemarin. Pak Budi melihat Aji dengan sumringah, disusul dengan Bu Clara. "Kamu kelas berapa, Nak?"
Aji terbata-bata menjawabnya, mulutnya jadi tiba-tiba gagap. Kakek membantu menjawab pertanyaan dari sepasang suami istri itu.
"Maksud dari kedatangan kami berdua hendak mengangkat Aji menjadi anak angkat kami, Kek. Kami sudah sepuluh tahun membina rumah tangga namun hingga saat ini belum dikaruniai anak."
"Anak? Maksud Bapak, saya jadi anak angkat bapak sama Ibu?"
Mereka menganguk. Tatapannya kian berharap dan sangat tulus.
"Tapi bagaimana dengan kakek saya?"
Bu Clara memegang kedua tangan Aji mengelus punggung tangan Aji yang legam karena sorotan mentari. Bu Clara meyakinkanku bahwa kakek akan tetap berada dekat dengannya.
Kakek berlinang air mata, ucapan rasa syukur tak henti-hentinya terucap dari bibirnya. "Bagaimana, Aji? Aji bersedia?"
Aji terdiam sejenak. Tatapan matanya sayu. Ia teringat bagaimana dahulu kedua orang tuanya masih ada, mengajak bermain, membantu mengisi pekerjaan rumah dari sekolah, liburan. Ah. Masih banyak lagi.
"Apakah mereka akan sama dengan bapak ibukku?" gumam Aji
"Aji?" Bu Clara memangil dan menyentuh pundak Aji. "Jangan khawatir, kami akan menyayangimu layaknya anak kami sendiri. Semua kebutuhanmu kami upayakan untuk selalu ada. Dan kakek juga tinggal bersama kita."