Oleh Dwi Putri
1
Aku ingin bercerita senja yang datang dari gadis berbola mata indah. Aku ingat ia terbiasa berdiri di sisi kiri pintu pertama gerbong ke dua. Meskipun sebenarnya ada tempat duduk yang kosong, ia tetap berdiri. Nyaris setiap aku pulang dari kantor selalu melihatnya di sana. Makanya demikian aku tahu di mana posisi yang akan ia ambil ketika kereta datang.
Awalnya aku anggap hal tersebut adalah sebuah ketidaksengajaan. Maksudku, dia pasti berdiri di kereta tanpa tahu bahwa ia beradadi tempat yang sama seperti kemarin. Itu pikirku. Tapi entahlah aku tidak terlalu peduli. Toh ada juga ibu-ibu, gadis, bapak, atau sesiapapun melakukan hal yang sama. Menyandarkan bahu kirinya di lengan bangku kereta. Acapkali tangannya dilipat di dada. Tapi tatapannya hanya tertuju pada satu hal, senja di ufuk barat Jakarta. Bibirnya melengkung seperti pelangi. Bedanya, pelangi berwarna warni, sedang bibirnya hanya tipis merah jambu. Hidupnya seperti tanpa gairah. Tidak ada sapa, tidak ada senyum, tidak ada tanya, tidak ada teguran ketika ada yang menyekat bahunya karena berdesakan turun naik kereta.
Lama kelamaan, ternyata tidak sekali dua kali saja aku lihat ia melakukan hal yang sama. Aku kurang tahu betul apakah dia seperti itu setiap hari. Karena, jadwalku masuk kantor yang berada di sekitaran Tebet Timur Dalam hanya 3 kali dalam seminggu. Dan 3 kali pula aku akan memperhatikan hal yang sama. Gadis yang menatap kaku matahari terbenam. Matanya nyaris tak beralih pada apapun. Kami hanya bertemu 2 stasiun dari Tebet. Setelah sampai stasiun Manggarai, ia turun.
Demikian penasarannya aku dengan gelagat gadis itu. Agak sedikit risih, karena pandangan dan konsentrasiku teralihkan olehnya. Sampai akhirnya aku mencoba memberanikan diri mengikuti si gadis. Kira-kira setelah keluar dari stasiun Manggarai, kemanakah dia akan pergi? Dan apa yang akan ia lakukan? Aku berjalan agak sedikit lamban agar gadis itu tidak menyadari kalau ada yang sedang menguntitnya. Sumpah! Aku akan mati penasaran jika tidak segera mengetahui apa yang sedang terjadi dengannya. Apakah mungkin dia psikopat? Atau sengaja ingin menarik perhatianku supaya nanti aku mengikutinya dan kemudian dia akan menculikku bersama teman-temannya yang ternyata mereka sudah merencanakannya sedari awal. Heh?! Jauh sekali aku berpikir buruk tentangnya.
Ia berjalan keluar stasiun. Sesekali ia agak mempercepat langkahnya dan kemudian berjalan melewati pintu arah pos polisi. Tidak, dia tidak berhenti. Ia terus melaju dan masuk ke taman, lalu duduk di rerumputan tepat menghadap ke lapangan yang digunakan anak-anak bermain sepakbola. Ia hanya duduk sendiri. Sedang dari kejauhan aku memperhatikannya dengan seksama. Berharap ada sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Ternyata ponsel. Mungkin ingin menghubungi seseorang, kekasihnya barangkali. Wajahnya ia biarkan tenggelam menunduk dalam memperhatikan ponsel itu.
JDUKKK!!!!!
“Awwhhhh,!!!!” Ia berteriak meringis kesakitan. Bola yang dimainkan oleh anak-anak tadi mengenai kepalanya keras. Setelahnya ia hanya terdiam sambil memegang kepala. Matanya menatap tajam ke arah bola, lalu ke arah anak-anak yang terdiam mematung. Satu dua orang berbisik-bisik. Mungkin sedang membicarakan bagaimana caranya mengambil bola yang ada di depan gadis itu.
Ia tiba-tiba berdiri,
“Bermainlah dengan hati-hati. Kepalaku pening karena ulah kalian.” Ujarnya datar sambil melemparkan bola ke lapangan. Anak-anak tadi berhamburan dan bermain kembali.
Aku harus kecewa karena setengah jam waktuku harus terbuang sia-sia. Tidak ada sesuatu yang aneh sebenarnya. Mungkin aku saja yang terlalu ingin tahu tentang gadis itu. Aku memutuskan untuk segera pulang. Soal si gadis, besok aku akan memberanikan diri menyapanyalebih dulu. Jujuraku belum begitu yakin sebenarnya. Karena takut dia tidak akan menanggapiku. Lihat saja sikapnya yang dingin.
Baiklah. Aku membiarkannya bebas hari ini. Besok tidak akan kulepas sampai rasa penasaranku mati.
2
Sudah dua minggu sejak hari itu. Bahkan jejak sepatu mungilnya juga ikut lenyap. Aku pikir ia sadar kalau ada yang sedang mengikutinya. Tapi itu tidak mungkin, karena aku baru sekali mengikutinya sampai ke taman. Ah, gadis itu semakin membuatku penasaran. Pada akhirnya, sebelum aku melihat ia kembali di sisi kiri kereta, aku akan melakukan apa yang biasa ia lakukan. Bersandar sambil menatap penuh ke arah matahari terbenam. Bukan apa-apa, aku tidak tahu artinya kenapa dia senang melihat sesuatu yang akan hilang. Kalian tahu? Senja belum tentu akan datang esok hari. Bisa jadi ia tersapu awan atau bisa juga ditenggalamkan hujan. Beruntungnya, ketika ia asyik berhubungan dengan senja, Tuhan sedang baik dan tidak membiarkan ia kecewa. Jika setiap hari ia melakukan hal demikian, mungkin senja sudah dibaiat olehnya sebagai kekasih. Sosok yang harus ia temui sekedar menawar rindu. Atau mungkin juga senja adalah masa lalunya. Pacarnya mecintai senja, lalu kemudian mereka terpisah entah karena apa. Dan kini ia yang mencintai senja agar cinta yang ia dapatkan dari kekasihnya tetap utuh.
Dua minggu berikutnya berlalu. Ia tak juga muncul di pintu kiri kereta. Di sisi lain aku mulai terbiasa dengan senja dan ingin menjadikannya juga seolah sebagaikekasih baruku seperti yang dilakukan oleh si gadis. Dan khayalku sekarang bukan hanya matahari terbenam yang menjadi kekasihku, tapi juga gadis itu. Aku merindukan ia berdiri di tempat yang sedang aku jajaki. Berharap ia akan datang besok dan dari kejauhan aku akan menikmati caranya menatap senja.
Tuhan menunjukkan kemurahan hatinya. Keesokan hari ia kembali bersandar di kereta. Kondisinya tidak nampak bugar, sepertinya sakit. Kaki yang biasa ia biarkan tanpa kaos kaki kini tertutup. Begitu juga dengan rambut ikalnya yang sudah ditutupi oleh jilbab. Bibirnya pasi. Kali ini tangannya begitu erat mendekap dadanya. Matanya nanar mencari senja. Ia mungkin tidak memperkirakan jika sore ini akan hujan. Langit menghitam sebagai isyarat bahwa ia juga sedang tidak baik.
Aku berjalan pelan mendekatinya.
“Aku…….”
“Kamu tidak perlu bersusah payah mengikutiku.” Baru saja aku ingin membuka obrolan, gadis itu sudah memotong bicaraku.
“Saya tahu dari jauh hari bagaimana kamumemperhatikan dan penasaran kenapa saya selalu berdiri di sini. Dengar, itu sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Dan kamu tidak akan rugi jika terlewat cerita bagaimana saya setia menatap matahari terbenam. Lihat? Hari ini dia tidak ada. Dan aku malang hari ini tidak dapat melihatnya untuk terakhir kali. Berhentilah menguntitku. Saya yakin kamu orang sibuk dan tidak akan menyia-nyiakan waktu begitu saja untuk hal konyol seperti ini.”
“Maaf, Almira,”
Keningnya mengernyit. Aku menunjuk,
“Papan namamu.”
“Ah ya, namaku Almira. Bisa biarkan aku sendiri? Maaf.”
“Aku yang seharusnya meminta maaf. Aku akan pindah. Maaf mengganggumu, Almira.”
Aku mengambil posisi di pintu sisi sebelah kanan. Berseberangnya dengannya. Ada rasa malu dan menyesal. Seharusnya tadi tidak seperti itukejadiannya. Aku hanya cukup berdiri di dekatnya. Mungkin dari mata dan punggungnya aku mampu menemukan alasan kenapa ia begitu setia menatap senja di dalam kereta. Tidak harus menunjuk papan nama miliknya. Kurang sopan memang.
Kereta berhenti di stasiun Manggarai. Aku duduk di bangku santai peron 4 sambil menunggu kereta ke arah Bekasi.
“Hai. Maaf tadi aku agak sedikit kasar.”
“Tidak apa.”
“Kita impas berarti.” Ia tersenyum. Manis sekali.
Aku terdiam.
“Senang melihatmu tersenyum Almira.” Kataku dalam hati. Apalagi sekarang ia yang memulai berbicara. Bukan aku.
“Boleh aku duduk?” Pintanya tiba-tiba.
“Silakan.”
Aku tertunduk. Agak sedikit gugup. Almira ternyata terlihat lebih cantik dari dekat. Bulu matanya lentik, hidungnya agak sedikit meruncing. Yang lebih cantik adalah bibir merah jambunya.
“Dia pergi.” Pundakku terangkat, terkejut ketika ia memulai bicara. Tadinya aku pikir dia akan diam saja.
“Dan dia tak kunjung kembali. Padahal dia sudah berjanji akan membawakanku potret senja dari atas ketinggian yang paling cantik. Karena ia tahu aku akan sangat menyukainya. Tapi sayangnya dia ingkar. Kau tahu berita pendaki yang meninggal di gunung Salak beberapa bulan lalu?” Aku mengangguk pelan.“Nah itu kekasihku. Tubuhnya memang sudah pergi tapi tidak dengan ruhnya, dan aku meyakini dia akan kembali. Jiwanya adalah senja. Dari senja aku kembali meyakini jika yang hilang suatu saat akan terulang hidup. Mungkin sudah di dalam tubuh yang berbeda. Makanya aku datang ke sini memastikan jika ia sedang mengirim dirinya untuk menepati janji.Esok hari, jika dia tidak datang juga, maka aku yang akan menemuinya.”
“Ke mana kau akan menemuinya?” Sahutku.
Ia mengangkat pundak, “Ke mana saja.”
Kereta arah Bekasi tiba,
“Kau ikut naik?” tawarku.
“Tidak, terima kasih. Silakan naik.”
Aku hanya tersenyum ketir dan naik. Jalanku agak sedikit enggan karena ingin mendengar ceritanya lebih banyak lagi tentang ia dan senja dalam kereta. Ia masih mematung menatapku yang berdiri di dekat pintu.
“Besok, jika aku datang terlambat, aku titip senja padamu.”
Tanpa mendengar jawaban dariku ia langsung berjalan ke arah pintu keluar tanpa menoleh lagi. Dadaku bergemuruh. Aku sedikit membetulkan jilbabku yang terkena embusan kipas angin yang ada di dalam kereta.
Hingga keesokan harinya terdengar kabar perempuan yang mati terlindas kereta.
Penulis adalah mahasiswi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta