Cerita Pendek Pensil Kajoe
Matahari siang itu tidak terlalu garang, bahkan tampak enggan menampakkan diri. Angin bercampur uap air meniupkan hawa dingin. Aku berjalan di pedestrian menyaksikan lalu-lalang kendaraan menebarkan polusi udara.
Sebuah baliho besar berdiri kokoh di pinggir trotoar. Baliho iklan sabun dengan menampilkan gambar seorang perempuan cantik berkulit putih mulus. Lama kupandangi wajah perempuan itu. Seolah tahu sedang diperhatikan, ia mengedipkan matanya dan bibirnya dimonyongkan seperti orang akan mencium. Tanpa dikomando, aku memanjat besi-besi penyangga baliho tempat perempuan cantik dengan hanya mengenakan kain tipis di dalam bath ub, sebagian tubuhnya tertutup busa sabun. Dia mengulurkan tangannya ke arahku, aku mendekat ikut masuk ke dalam bathub.
Suatu keanehan terjadi tiba-tiba, dari ujung kepala hingga kakiku berdesir, entah rasa apa yang sedang kualami. Kudengar suara tawa manja perempuan itu menggelitik telingaku, "Terima kasih, Sayang. Besok kau boleh tuntaskan hasratmu di sini, bersamaku." Aku mengangguk pelan, kukecup keningnya sebelum turun dari baliho.
Pengalaman pertama ini membuatku semakin berani dan ketagihan untuk mengulanginya pada baliho-baliho lain yang di sana ada foto perempuan cantik.
“Mas, dari mana kok jam segini baru pulang?"
Belum sempat kakiku melangkah ke dalam rumah, istriku menyambut dengan pertanyaan yang enggan kujawab. Sebab ujungnya bakal menimbulkan adu mulut.
"Cari udara segar di luar. Aku suntuk kalau harus menganggur dan berdiam terus di dalam rumah." Maklum sebagai pekerja dengan sistem outsourcing, jika masa kontraknya habis maka harus rela menganggur atau mencari pekerjaan di tempat lain.
Baca Juga
Peci Hitam Kiai
Mendengar jawaban sekenanya dariku, Wina menunjukkan muka masamnya.
"Tiap kali aku tanya, kenapa tidak pernah ada jawaban yang mengenakan, Mas? Apa kau pikir hidup ini cukup hanya bermodal cinta? Bullshit. Kita ini sudah berkeluarga, Mas. Kau suamiku dan aku istrimu. Jadi sudah sewajarnya jika kau memberikan nafkah, bukan hanya batin, tapi lahir. Perutku ini juga minta diisi, bukan sekadar kata-kata sayangmu."
Telingaku seakan hendak meledak, suara istriku lebih berisik dari pada suara knalpot motor sember yang ngebut di jalanan. Di saat itulah, rasa kangenku pada perempuan-perempuan baliho semakin besar. Mereka lebih bisa mengerti dengan apa yang sedang kurasakan, tidak pernah banyak bicara bahkan bau mulutnya lebih wangi.
Aku menunggu hingga istriku tertidur, baru aku menyelinap ke luar rumah, menemui perempuan-perempuan baliho yang setia menantikan kehadiranku. Tiap kali datang, aku tidak pernah ditolaknya, bahkan mereka membiarkanku meluapkan hasratku.
"Laki-laki sinting! Apa yang sedang kau lakukan malam-malam begini di atas sana, hah!” suara laki-laki dengan gerobak dorongnya tetiba menghardikku. Laki-laki itu adalah seorang penjual nasi goreng dan biasa mangkal di bawah baliho perempuan iklan pembalut wanita. Kutarik penutup kepala di jaketku agar orang tersebut tidak mengenali siapa aku, kalau sampai dia tahu aku salah satu pelanggannya bisa-bisa dia akan menceritakan perbuatanku pada Wina.
Aku pura-pura tidak mendengar teriakannya, sambil merapikan resleting celana yang sempat kubuka dengan sangat hati-hati kumenuruni tiang penyangga baliho yang malam itu cukup licin karena diguyur gerimis.
"Loh kok?!” Laki-laki penjual nasi goreng itu terkaget saat melihat wajahku. Aku berusaha untuk tenang agar tak mengundang kecurigaannya.
“Eng.. Mang, pesan nasi gorengnya dua bungkus ya,” ucapku mengalihkan perhatian agar dia tak bertanya tentang apa yang baru saja dilihatnya.
"Pedas?”
"Sedang saja, Mang.”
Aku tahu dari sorot matanya, laki-laki penjual nasi goreng masih penasaran tetapi takut bertanya atau mungkin bingung.
Dua bungkus nasi goreng hangat kubawa pulang. Semoga saja amarah Wina bisa sedikit reda dengan sebungkus nasi goreng yang kubawakan untuknya.
***
"Mas, kalau Kau belum dapat pekerjaan baru, bagaimana kalau Aku saja yang kerja? Setuju tidak setuju aku akan tetap berangkat.”
“Maksudmu?”
“Ya, biar aku yang kerja. Mau menunggu sampai kapan?”
Lidahku kelu, tidak bisa berkata-kata. Di hadapan istriku aku kehilangan daya.
“Memangnya Kau mau kerja apa?”
“Kemarin ada seorang teman menawariku untuk berangkat ke Jakarta, di sana ada pekerjaan yang cocok untukku,” ucap Wina tanpa melihatku. Matanya tetap asyik menatap layar hpnya.
“Apa Kau tahu kerja macam apa yang temanmu tawarkan itu? Jangan-jangan…"
“Sudahlah, Mas tak perlu berburuk sangka seperti itu. Justru seharusnya bersyukur, kalau memang kau tak mengizinkan aku untuk bekerja, carilah kerjaan baru!" meski suara Wina pelan tapi cukup menusuk telingaku.
Tidak ada pilihan lain selain membolehkan Wina untuk pergi ke Jakarta.
“Baiklah, kalau memang itu keinginanmu, Aku tak bisa melarangnya. Aku sebenarnya malu, sebagai kepala rumah tangga harusnya Aku yang bekerja, bukan sebaliknya.”
“Sudah, sudah. Jangan jadi laki-laki melankolis. Besok pagi Aku akan berangkat.”
***
Sejak Wina berada di Jakarta, aku merasa menjadi laki-laki merdeka. Tidak ada lagi yang berani mengatur, apalagi mengkritik apa yang aku lakukan. Aku bebas melakukan apa pun yang kumau termasuk memburu perempuan-perempuan dalam baliho, mereka sudah kuanggap seperti kekasih bahkan istri-istriku sendiri. Perempuan-perempuan anggun, tidak kalah cantiknya dengan istriku. Justru mereka lebih sabar dan lembut. Aku merasa seperti seorang raja dengan didamping istri-istri jelita.
Aku tidak berkedip menatapnya saat aku asyik menikmatinya. Tetiba datang angin puting beliung bertiup kencang, menerbangkan atap-atap gedung, ada beberapa pohon yang tumbang dan baliho berwajah perempuan itu ikut roboh. Menimpa lapak kecil pedagang kopi. Terdapat robekan kecil di bajunya yang berwarna merah, dadanya, berlubang. Hingga aku bisa merogohnya dengan lenganku. "Ah tak ada apa pun di sini selain besi-besi berkarat," gumamku.
Aku kecewa dengannya. Lalu kubiarkan tubuh perempuan itu tergeletak di pinggir jalan, basah oleh hujan yang mulai turun.
Satu tahun sudah Wina berada di Jakarta, meskipun cerewet dan tukang kritik, tetapi bagaimanapun juga dia istriku; perempuan nyata yang kunikahi. Rasa kangen tidak dapat kusembunyikan, mustahil jika aku memintanya untuk pulang sekadar untuk menuntaskan kerinduanku padanya. Bisa jadi aku akan dicecar oleh omelannya yang sering kali memekakkan telinga.
"Halo, Win?" baru saja aku menyapa lewat telepon nada bicara istriku sudah meninggi.
“Maaf, Mas. Aku hari ini sibuk. Kalau ada yang mau dibicarakan, nanti aku telepon balik.”
Wina telah berubah. Saat baru beberapa hari berada di ibu kota dia masih mau mengangkat teleponku, bahkan terkadang dia meneleponku terlebih dahulu. Bercerita tentang pekerjaannya yang sangat mengasyikan.
Tetiba mataku melihat sebuah baliho besar berdiri di dekat pintu gerbang masuk pasar. Ada gambar perempuan cantik, sayang wajahnya tidak terlihat jelas karena terhalang oleh spanduk iklan layanan masyarakat yang menempel di baliho itu. Kaki dan lengannya yang mulus masih bisa kulihat. Keinginan untuk memanjat baliho tersebut kembali muncul. Tetapi tidak mungkin kulakukan saat itu juga, sebab suasana masih cukup ramai oleh lalu lalang orang-orang yang keluar masuk pasar. Belum lagi di tempat itu ada petugas penjaga pintu.
Aku mengemudikan motorku sambil mengatur strategi bagaimana caranya malam nanti aku bisa memanjat baliho itu tanpa diketahui oleh orang lain.
Pokoknya aku harus bisa menemui perempuan cantik itu malam ini, harus. Batinku memantapkan diri.
Dengan sangat hati-hati kunaiki besi-besi penyangga baliho agar tidak menimbulkan suara berisik.
“Yes. Aku datang, Sayangku. Malam ini izinkan aku mengajakmu bersenang-senang," bisikku saat hampir sampai di depan wajah perempuan baliho. Beruntung, tubuhku terhalang oleh spanduk dan rimbunnya daun pohon yang tumbuh di depan baliho.
Aku mendekati perempuan itu. Dan saat akan kukecup bibir perempuan itu aku tersentak kaget; hampir saja aku terpelanting ke bawah.
“Wina?! Kau…” tenggorokanku tercekat. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Ternyata perempuan baliho yang kutemui malam ini adalah istriku sendiri.
Kali ini aku justru benar-benar bergidik ketika melihat dengan mata kepalaku sendiri, ada banyak bekas gigitan di dada dan leher gambar wajah istriku. Entah siapa pelakunya, yang jelas bukan aku karena aku pun baru pertama kali menemuinya di baliho di depan pintu gerbang pasar, malam ini.
Tumiyang, 16082021
Pensil Kajoe, penulis asal Banyumas. Menulis beberapa antologi tunggal dan bersama. Saat ini menjadi kolumnis di Majalah Digital Basa Jawa, Belik, Yogyakarta.