Cerpen Afifatul Karomah
Shofia Humaira yang lebih akrab dipangil Ara, gadis kecil berusia 7 tahun. Ayahnya seorang sopir dan ibunya seorang pelayan toko. Keduanya sangat sibuk. Ayahnya jarang pulang. Paling cepat satu bulan sekali. Sedangkan sang ibu pergi pagi pulang larut malam. Setiap pagi kala Ara membuka mata hanya seorang kakak yang bisa dia lihat.
"Kak, Ibu udah berangkat ya?" tanyanya dengan mata mengerjap.
"Huumm," jawaban singkat sang kakak. Seakan sudah hafal Ara pun tak lagi berkata. Dia langsung pergi ke kamar mandi kemudian bersiap untuk sekolah.
***
Mentari mulai menuju tempat peristirahatan. Senja menyapa memberi kabar malam akan datang. Suara merdu dari bibir kecil yang mulai bersenandung setelah maghrib terlaksana. Kalam penuh arti dari sang pencipta meski masih sedikit kacau. Namun, mampu menyejukkan hati. Berbeda dengan gadis kecil di teras itu sepertinya ada yang mengusik pikirannya.
"Ara kenapa?" tanya pria paruh baya yang lebih sering dipanggil 'Pak Ustadz' itu.
"Ara pengen mondok seperti di film Kun Anta," jawab Ara begitu polos. Sang ustadz tersenyum mendengar ucapan Ara.
"Kenapa Ara pengen mondok?"
"Biar Ara enggak kesepian."
Mendengar jawaban Ara, Pak Uztadz yang masih hitungan saudara dan tahu keseharian gadis kecil itu, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan keinginannya. Pak Ustadz berjanji akan membantu berbicara pada kedua orang tuanya.
Beberapa hari setelah kejadian di teras, tepat di saat ayah dan ibu Ara sedang berada di rumah, Pak ustadz datang untuk menyampaikan keinginan Ara.
"Tidak," jawaban kompak dari kedua orang tua Ara.
"Ara itu masih kecil. Mana mungkin kita membiarkan dia hidup bersama orang yang tidak dia kenal," kata sang ibu.
"Tidakkah kalian sadar selama ini apa yang kalian perbuat hingga Ara kepikiran untuk mondok?" pertanyaan Pak Ustadz dengan nada santai namun menohok habis hati ayah dan ibu Ara. Keduanya menunduk seakan tahu kesalahannya. Namun ia tak mampu menjawab pertanyaan Pak Ustadz.
"Jangan tunda niat baik. Kita coba percaya pada Ara. Nanti setelah satu bulan kita jenguk dia. Kalau dia tidak betah kita bawa pulang lagi," ucap Pak Ustadz yang kemudian disetujui oleh kedua orang tua Ara, meskipun masih ada rasa berat di hati. Apalagi senyum Ara yang begitu berbinar setelah mendengar semuanya. Menambah rasa yakin di hati kedua orang tuanya.
***
Di depan sebuah bangunan yang tampak seperti rumah mewah tanpa identitas mencolok sebagai penanda bahwa bangunan itu adalah pondok pesantren. Langkah demi langkah begitu mantap dia pijak memasuki bangunan yang semakin bernuansa pesantren. Kian dalam semakin terasa pula nuansa sejuk. Lantunan kalam pencipta terlantun begitu merdu. Menghipnotis siapa pun yang mendengarnya.
Senyum pemilik pesantren menyambut kedatangan mereka penuh hangat. Tak ada goresan takut maupun ragu di raut wajah Ara. Yang tampak lebih gelisah ialah orang tua Ara. Namun mereka tidak boleh menghalangi niat Ara. Atau mereka hanya akan menyakiti Ara.
"Adik namanya siapa?" tanya wanita cantik yang lebih sering dipanggil 'Ibu'. Dia adalah wanita cantik, pemilik pondok meski usia tak lagi muda. Namun sinar kecantikanya tak pudar sedikit pun.
"Namaku Shofia Humaira," jawabnya malu- malu.
"Wah, nama yang cantik seperti orangnya," pernyataan Ibu semakin membuat Ara salting.
Semua tersenyum melihat tingkah Ara. Tanpa perpanjang basa basi. Pak Uztadz yang memimpin untuk mengutarakan keinginan Ara mondok. Betapa kagumnya Abah saat mendengar alasan Ara meskipun di awal terdengar lucu. Setelah mengetahui alasan demi alasan mereka mengerti kenapa seorang Ara ingin memilih untuk mondok.
"Ara beneran mau mondok?" tanya Ibu mencoba mencari keraguan di sorot mata Ara. Ternyata nihil, tak ada keraguan sedikit pun di mata Ara.
"Iya. Ara ingin mondok," jawabnya.
Semua tersenyum bangga karena kobar semangat yang ditunjukkan dari nada jawabnya.
"Baiklah mulai hari ini Ara jadi santri Abah dan Ibu. Jadi jangan nakal ya di sini," seru Pak Ustadz pada Ara. Dan semua pamit untuk pulang meninggalkan Ara. Semula ada rasa sesak, tapi Ara menepis jauh-jauh dan berusaha tidak nangis saat kedua orang tua meninggalkannya.
"Ara kan masih kecil, jadi kamu tinggal di disini dulu ya," Ibu menunjuk salah satu kamar yang berjajar. Dan ternyata kamar yang ada di sebelahnya itu kamar putra putri abah dan ibu.
Hari demi hari terlewati dengan riang tak ada masalah besar selama ia di pondok. Ara belajar banyak di sini mulai mencuci pakaian, merapikan pakaian, makan menggunakan sendok dengan benar dan masih banyak lainnya. Hal yang tak pernah ia dapat di rumah ia dapat di sini. Meski kadang mengeluh capek di saat pulang sekolah ia harus buat setoran hafalan. Meski mengeluh, setidaknya di pondok ia dapat bercerita baik dengan mbak pondok atau dengan Ning.
***
3 tahun kemudian....
Waktu bagai air yang tak berhenti mengalir. Bergulir tanpa menunggu. Melaju tanpa ragu.
Tahun ketiga telah berjalan 6 bulan. Ara tak tahu kenapa ayah dan ibunya tak pernah menjenguk. Rindu pastilah menggebu. Namun tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun kecuali pada penciptanya. Di tengah malam dia selalu bangun untuk bersujud dan mencurahkan keluh kesahnya.
"Mbak Sikha...ayo temenin tahajud," rengeknya pada mbak yang ada di sebelahnya, sekaligus orang yang sering ia ajak cerita, karena Ara tak mudah bergaul. Apalagi masa-masa mondok barunya harus tinggal di ndalem. Hari-hari nya di ndalem berjalan begitu baik tak ada kesulitan untuknya. Namun, berbeda di tahun kedua dia harus mulai beradaptasi dengan mbak-mbak santri yang lain .
“Iya, Ara kamu sudah ambil wudhu?”
"Belum,” Ara menjawab dengan cengiran. Suasana dingin tak membuat keduanya gentar untuk melakukan tahajud. Rakaat demi rakaat terlaksana dengan khusyuk.Ara memanjatkan doa penuh linangan air mata karena di saat inilah dia menumpahkan gejolak dalam hatinya.
"Ya Allah, hari ini aku ingin beri tahu Mbak Uti sama Mbak Ria disambang lagi. Aku tidak ingin iri, tapi ada rasa ingin seperti mereka yaitu bertemu orang tua. Ya Allah, apakah orangtuaku baik-baik saja? Semoga iya. Aku tidak ingin berharap tapi aku tidak bisa bohong. Aku rindu mereka," suara tangisan dari bibir kecil itu semakin memilu. Dengan pelan Mbak Sikha mendekat pada Ara dan memberi pelukan.
"Ara anak hebat pasti bisa lewati ini. Doain yang terbaik aja ya buat ayah ibunya!"
Ara hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
***
Mentari pagi melambai dengan sinar terang. Membawa suasana begitu riang. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an terdengar merdu merayap ke hati. Membawa hangat jauh dari rasa sedih.
"Ara, kamu disambang."
Ara yang sedang membantu Mbak Sikha masak tak memedulikan teriakan itu. Dengan terpaksa dia menuju tempat sambangan meskipun ada rasa tidak percaya.tapi Mbak Sikha sudah meyakinkannya.
"Abah, saya ingin meminta izin membawa Ara pulang dan boyong, Bah."
Bagai suara guntur yang menggelegar dan menyambar meluluhlantakkan hati Ara. Tanpa aba -aba air mata Ara mengalir seakan tak ingin berhenti. Tanpa menunggu penjelasan lagi Ara membuka pintu dengan keras.
"Apa maksud Ibu? Ara enggak papa enggak disambang ataupun enggak diajak pulang asal Ara enngak boyong."
"Tapi Ara...."
"Eggak, Bu. Ara betah di pondok. Ara enggak mau dengar alasan Ibu lagi. Kalau Ibu ke sini hanya bertujuan itu. Maaf Ara enggak bisa ikut ibu pulang."
Ara langsung masuk ke dalam lagi. Kakinya melangkah bersama deraian air mata. Saat beberapa langkah dia sadar meskipun dia marah pada ibunya. Tapi tidak dengan ayahnya. Akhirnya dia memutuskan akan kembali. Namun, sebelum dia membuka pintu Ara mendengar suara tangisan ibunya.
"Tapi, Bah meskipun sudah melewati masa kritis, kami masih khawatir. Dan diperkirakan pemulihan butuh waktu lama. Itu artinya kita butuh biaya banyak untuk masa pemulihan. Tabungan pun tidak cukup. Apalagi dengan keadaan ayah Ara yang seperti ini pasti saya tidak bisa bekerja seperti dulu. Harus mengurusnya juga."
"Sudahlah, kamu tidak usah pikirkan biaya Ara. Biaya dia biar jadi urusan saya. Dia anak kecil yang hebat. Di saat seusianya masih bermain, dia sudah melangkah dengan langkah besar dalam meraih mimpi. Kamu harus bersyukur anakmu seperti Ara."
"Bagaimana, Bah sekarang? Ara sepertinya marah pada saya."
"Biarkan dia tenang dulu. Jangan paksakan pulang sekarang, dia masih syok. Kapan-kapan ke sini lagi kalau mau ajak dia menjenguk ayahnya. Jangan bicara soal boyong lagi."
Tangis Ara pecah mendengar percakapan antara abah dengan ibunya. Dia kembali ke pondok. Tanpa mempedulikan atensi yang tertuju padanya. Pasang mata itu banyak bertanya apa yang terjadi pada Ara. Karena melihat Ara menangis adalah sesuatu pemandangan yang langka.
***
Hari telah berganti bulan. Alur demi alur terlalui dengan berbagai story. Berhias dengan mutiara, batu juga pecahan kaca, menjadi karya dalam memori. Meski kadang pecahan kaca menapak sebuah luka, tapi itulah yang nanti terindukan.
Kini hari yang dinanti para santri akan digelar, yaitu Wisuda Akbar Bilghaib, yang akan menjadi momen tak terlupakan. Rangkaian acara terlaksana penuh hikmat hingga penyebutan nama para santri yang diwisuda terkumandang. Satu per satu nama disebut.
"Langkah kecil menapak jalan. Meski belum tahu arti kehidupan. Tak membuatnya goyah untuk kedepan. Tak ada kata ragu. Meski salah satu tongkatnya pernah patah. Namun dengan do’a ia mampu memguatkan tongkatnya. Kini dia berdiri di hadapan kita. Menyandang gelar hafidzah. Di usia masih tergolong belia. Namun nyatanya dia pemenang yang nyata. Kita sambut permata kita Shofia Humaira binti Bapak Muqidi," begitu kalimat yang terlantun dari pembawa acara.
Air mata tamu undangan mengalir penuh haru. Anak usia 12 tahun menyandang gelar begitu mulia. Berdiri di hadapan mereka. Bocah gen Z yang tak kan pernah disangka telah dewasa dibanding bocah seusianya. Dipaksa dewasa oleh keadaan. Diterpa badai namun tak tergoyahkan. Di saat seusianya sibuk dengan gedjet dia sibuk dengan kalam Sang Pencipta.
Afifatul Karomah, Mahasiswi STAI Al-Hidayat, Lasem, Rembang Jawa Tengah.