Cerpen

Tak Ada yang Bicara Cinta Malam Ini

Sabtu, 9 Juni 2012 | 03:06 WIB

Oleh A. Zakky Zulhazmi

Saat kulirik jam tangan, ternyata waktu baru menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Bus yang kutumpangi sudah memasuki daerah Ampel, Boyolali. Ini terlalu cepat, pikirku. Biasanya bus baru memasuki kota Solo sekitar pukul lima. Tapi kali ini bisa dua jam lebih cepat. Sepanjang perjalanan aku memang tertidur pulas. Jadi tidak tahu apakah tadi jalanan macet atau lancar. Awalnya kuduga jalanan macet, sebab aku berangkat Jumat sore. Ternyata jalanan lancar, sehingga bus bisa sampai Solo lebih cepat dari biasanya.
<>
Hampir masuk Solo, teringat aku akan pesan kawanku: sebaiknya aku minta diturunkan di pertigaan Ngasem, sebelum Kartosuro, biar mudah jemputnya. Aku mafhum. Kukirim pesan kepada kawan yang akan menjemput jika aku saat ini sudah di pertigaan Ngasem. Dia bilang, tunggu sebentar, ban motor bocor. Mencari tukang tambal ban pagi buta begini bukan pekerjaan mudah. Kukira akau akan menunggu dalam waktu lama. 

Menunggu kawan sambil bengong jelas bukan pilihan bijak. Di seberang jalan kulihat ada angkringan yang masih buka. Aku menuju ke sana. Kupesan coffeemix. Bapak tukang angkringan dengan segera membuatnya. Manakala gelas disodorkan mendadak ingatanku disentak. Inilah ciri khas Solo, gumamku. Coffeemix selalu dibikin di gelas besar. Karena sudah pasti bakal kurang manis, ditambahkanlah beberapa sendok gula. Senyumku mengembang. Aku rindu penyajian kopi seperti ini. Di Jakarta, di warkop, kopi pasti disajikan di gelas atau cangkir kecil. 

Di depanku ada beberapa sate tersaji. Dalam keremangan aku tak bisa memastikan sate apa itu. Kutanya bapak tukang angkringan. Ujarnya, yang tersisa itu adalah sate keong dan sate kikil. Aku manggut-manggut. Kucomot dua sate keong dan satu sate kikil. Bapak tukang angkringan sudah paham. Ia segera membakar sate itu di atas bara api, di mana ceret berisi air biasa dijerang di atasnya. Aku minta diberi sedikit kecap. Saat kugigit sate untuk kali pertama, aku segera tahu bahwa ada rindu yang terobati. Aku jadi merasa seperti telah begitu lama meninggalkan Solo, meninggalkan angkringan. Ah, kenangan.Kawanku datang tepat ketika sate dan coffeemix-ku sudah tandas. Kujabat tangannya erat. Ia memperkenalkan diri. Namanya Riwus. Rambutnya gondrong berombak. Pipinya penuh bekas jerawat. 

Motor kami segera melaju menyusuri jalanan sunyi pinggiran kota Solo.

“Memang di mana markas kawan-kawan?” tanyaku.

“Di Bolon, Bung.”

Kulihat sawah menghampar di kanan kiriku. Ada angin basah menyelinap ke sela-sela jaketku. Sekejap aku menggigil.

Kami memasuki sebuah komplek perumahan sederhana. Tidak seperti komplek perumahan di Jakarta pada umumnya. Komplek perumahan ini tidak luas. Rumah-rumahnya juga biasa, tidak ada yang mentereng. Markas kawan-kawan ada di pojok komplek. Tepat bersebelahan dengan sawah. Ketika aku memasuki rumah, lima orang lelaki yang hampir semua berambut gondrong menyambutku hangat. Kulihat ada gelas-gelas kopi yang tinggal terisi separuh dan  kulit kacang yang berserakan di sekitar asbak. 

“Waduh, tamu dari jauh sudah datang. Mari masuk. Oya, kenalkan, bung, ini namanya Lesus, ini Kribo, ini Adit, ini Konyil, saya sendiri Rokim.”

Aku tersenyum dan menyalami mereka satu-satu. Kami lantas ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal. Tapi pada akhirnya mengerucut ke rencana demonstrasi yang akan digelar kawan-kawan tiga hari lagi. Melihatku yang tampak masih capai, mereka mempersilakanku untuk tidur. Mereka juga hendak berangkat tidur. Kecuali Kribo, yang harus ke Sragen untuk menemui beberapa kawan di sana. Waktu itu jam dinding menunjuk pukul empat lebih dua puluh menit. Adzan subuh terdengar sayup-sayup.

Pukul enam aku bangun. Aku merasa tidurku sudah cukup. Kawan-kawan masih tidur. Kudengar lamat suara dengkuran. Tapi di luar ada juga cericit burung yang berisik. Pintu depan kubuka. Hawa dingin bergegas masuk. Aku berjalan menuju sawah berkabut. Wangi padi-padi basah yang diterpa kabut mengingatkanku pada suatu masa yang entah. Suatu masa di mana aku begitu dekat dengan bapak, ibu dan adik-adikku. Aku lalu bertanya, sudah begitu berjarakkah aku dengan mereka kini? Aku tak tahu.

Saat aku membalikkan badan, aku melihat gunung di kejauhan. Di sekitarnya ada saputan mega-mega, oranye warnanya. Alangkah mahal pemandangan ini. Tentu saja di Jakarta tak mungkin bisa kulihat gunung pagi-pagi begini. Kuputuskan untuk berjalan-jalan keliling komplek. Beberapa warga yang sedang menyapu halaman menyapaku ramah. Ada yang berdesir di dada, mengingat acuh dan cueknya orang-orang ibu kota. Terlintas pikiran, sepertinya menarik tinggal di Solo? Tapi itu keputusan yang belum tentu tepat. Ada perjuangan yang belum selesai, yang harus kubereskan di Jakarta.

Aku kembali ke rumah setelah puas berjalan-jalan. Ternyata Rokim dan Adit sudah bangun. Rokim sibuk memasak nasi. Sementara Adit pergi ke pasar. Ketika pulang dari pasar ia membawa beberapa potong terong. Aduh, terong! Bakal tidak sarapan ini, pikirku. Aku tidak suka terong. Adit segera memotong terong kecil-kecil ukuran dadu. Sedang Rokim membuat bumbu. Aku tak mau diam. Kubikin kopi buat teman-teman. 

“Tidak perlu repot-repot, bung. Biar kami saja,” kata Rokim.

“Jangan begitu. Kalian kerja, aku cuma diam tentu tidak sopan,” sergahku.

Barangkali karena menghirup wangi masakan Rokim dan kopi bikinanku, Lesus, Riwus dan Konyil bangun. Mereka ‘mengumpulkan nyawa’ sambil bersandar di dinding. 

“Hei, kalian baru tidur pukul empat, tapi sekarang sudah bangun. Sudah cukup istirahatmu?”

“Kami sedang membiasakan untuk tidak tidur lama-lama. Sebab, jangan-jangan saat kami tidur, revolusi sedang terjadi dan kami melewatkannya. Hahaha,” Konyil menjelaskan lalu tertawa berderai. Aku tersenyum saja mendengar penjelasannya.

Di hadapan kami saat ini telah terhidang oseng-oseng terong, tempe goreng, sambal terasi olahan Rokim serta kopi bikinanku. Dari aromanya aku bisa menduga rasanya. Jadi, meskipun mereka ini aktivis, tampangnya sangar, tapi ternyata bisa diandalkan juga kemampuan memasaknya. 

Awalnya aku ragu-ragu untuk menuangkan terong di piringku. Semakin ragu saat akan menyantapnya sebagai suapan pertama. Dan ternyata selama ini aku keliru besar. Terong itu enak. Apalagi saat beradu dengan sambal terasi. Tampaknya nanti aku akan berterima kasih kepada Rokim yang telah membuatku doyan terong. Tak lama kemudian, piring-piring di depan kami sudah dibereskan. Tinggal cangkir-cangkir kopi yang masih bertahan.

Maka dimulailah obrolan ringan soal demonstrasi besar-besaran itu. Sementara Rokim bicara aku mengamati rumah sekaligus markas kawan-kawan pergerakan di Solo ini. Rumah ini kecil saja. Hanya ada dua kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, dapur dan kamar mandi. Di ruang depan ada poster besar Tan Malaka dan Iwan Fals. Peletakan barang di sini memang agak kacau. Itu biasa. Satu rumah dihuni banyak orang dan semuanya cowok.

Lamunanku mendadak buyar ketika datang beberapa kawan dari kampus lain. Suasana makin riuh. Cangkir-cangkir kopi satu persatu keluar. Rokim membuka forum. Ia mengambil spidol. Mencoret-coret papan tulis. Pemetaan. Teklap. Suasana mendadak memanas saat diskusi mengarah pada perdebatan apakah demontrasi akan disetting chaos atau tidak. 

Sebagian kawan meminta demonstrasi dibikin chaos karena polisi sudah tidak bersahabat lagi. Mereka menangkapi kawan-kawan yang ikut demonstrasi menolak RUU PT dua hari lalu. Tapi sebagian lain lebih memilih jalur diplomasi. Setting chaos terlalu riskan.

Debat berlangsung sengit. Saya memilih diam. Biarakan yang muda saja yang menentukan. Dan keputusan akhirnya adalah demontarasi harus damai. Tak ada chaos. Tak boleh ada darah tertumpah. Aku manggut-manggut.


**

Pagi itu matahari seperti berjalan lambat. Aku bangun tidur dengan perasaan gamang.  Kulihat panji-panji organisasi sudah diikatkan ke bilah-bilah bambu. Kertas-kertas bertuliskan tuntutan telah siap. Kami masih sempat minum kopi dan sarapan beberapa suap nasi lauk sambel teri sebelum akhirnya berangkat bersama-sama ke balaikota. 

Di bundaran sebelum balaikota kami menunggu kawan-kawan yang pelan tapi pasti mulai menyemut. Setelah memarkir kendaraan, yang terdiri dari bus kota dan motor, kami berjalan berarak menuju depan gerbang balaikota. Yel-yel terus didengungkan sepanjang jalan. Puluhan polisi sudah bersiap. Di barisan depan ada mobil pick up yang berisi sound system yang sekaligus jadi panggung para orator. 

Satu per satu orator maju menyampaikan gagasan dan tuntutan. Tiba gilirannya aku harus maju menyampaikan orasi. Matahari memanggang kami. Peluhku bercucuran. Sementara air mineral sedari tadi belum dibagikan kepada para demontran. Kupikir orasiku tak terlalu berapi-api. Tapi yel-yel terus diteriakkan. Lebih kencang. Massa merangsek maju. Dorong-dorangan dengan polisi tak terhindarkan. Rokim dan Riwus di baris depan. Tiba-tiba kulihat Riwus dipukul polisi. Pelipisnya berdarah. 

Kawan-kawan bereaksi. Ada lemparan batu dari arah belakang. Dan semua di luar rencana. Chaos! Aku melompat turun panggung. Rokim dan Adit merangkulku. Mendadak ada pukulan mengarah ke tengkukku. Aku ambruk. Masih sempat kurasakan seseorang menyeretku.

 

**

Saat aku terbangun seorang perempuan duduk di sampingku. Mataku yang berat terbuka mencoba mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Ini seperti kamar kos, batinku. Tapi 
siapa perempuan di sampingku ini?

“Namaku Wulan. Aku perawat di sebuah puskemas. Saat demo berubah rusuh kau terjatuh. Sebuah pukulan mengantam kepalamu. Segera kuseret kamu ke semak taman depan balaikota. Kutahu polisi sedang mencarimu. Kau sekarang aman di sini.”

Aku diam saja. Kuhembuskan nafas dengan dada yang terasa sesak. Kepalaku juga masih sakit. Ah, ini pasti kerjaan intel, pikirku. Sehingga demo bisa jadi rusuh begitu. 

Memang settingan awal tidak chaos tak menjamin bahwa demo akan berlangsung benar-benar tanpa chaos.

Kebiasaan Wulan adalah menyediakan bubur dan teh hangat untukku yang masih terbaring lemas. Dan aku suka senyum Wulan. Menurutku, senyum putri Solo ini membuat siapapun merasa terayomi. Kebiasaan lain Wulan adalah memutar lagu-lagu Letto. Itu cukup menenangkanku yang hingga kini masih memikirkan nasib kawan-kawan. Bagaimana kabar Rokim, Riwus dan kawan-kawan lain? Satu lagu Letto yang kusukai adalah No One Talks About Love Tonight. Ya, tak ada yang bicara cinta malam ini. Yang ada hanya sunyi. Aku berada dengan orang yang tak pernah kukenal sebelumnya, buron polisi, dan terpisah dari kawan-kawan. 

Sakit di kepalaku berlahan reda. Wulan merawatku dengan telaten. Ia membawa kain dan sebaskom air hangat untukku membasuh badan. Ia juga banyak bercerita tentang keluarganya, tentang kotanya, juga tentang cita-citanya. Di mataku, gadis hitam manis ini kian istimewa di mataku.

Sudah dua hari aku di kamar Wulan. Perlahan aku mulai tak percaya bahwa tak ada yang bicara cinta mala mini. Buktinya, mataku dan mata Wulan sedang bercakap dengan hangat hingga bibirku nyari bertemu bibirnya. Namun Wulan buru-buru menghindar dan keluar kamar. Katanya mau beli wedang secang di angkringan depan kosan.

Aku menunggu lama tapi Wulan tak kunjung muncul. Malah kudengar derap kaki sepatu lars. Insting curigaku bekerja. Apakah ada polisi yang datang? Aku mengintip dari lubang pintu. Benar! Ada empat polisi dengan senjata siap todong menuju kamar ini. Dengan badan yang belum pulih betul aku menuju jendela. Ternyata aku harus melompat dari ketinggian hingga kaki kiriku tergores paku. Kudengar suara pintu didobrak. Itu artinya aku harus berlari, berlari. Gang-gang sempit kususuri. Sayup-sayup seperti 
kudengar lagu-lagu Letto yang biasa diputar Wulan. Terdengar paling nyaring lagu No One Talks About Love Tonight.   

Malam makin kelam. Aku terdampar di belakang gudang tua. Jam tanganku menunjuk angka satu. Lolongan anjing terdengar menyayat. Darah masih mengucur dari kaki kiriku. Saat kurogoh saku celana, kudapati sebuah surat. Ada nama Wulan. Sebuah surat yang diawali permohonan maaf. Aku segera tahu, tak ada yang bicara cinta malam ini. Tak seorang pun. 


Solo-Ciputat, April-Juni 2012

 
A. ZAKKY ZULHAZMI lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Mahasiswa UIN Jakarta dan BSI Ciputat. Aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Komunitas Ketik. Menulis cerpen, puisi dan esai. Karyanya dimuat di Suara Tangsel, Republika, Jurnal Nasional, Solopos, Joglosemar Surabaya Post, Majalah Sastra Horison, Buletin Sastra Teh Hangat, Buletin Pawon dan sejumlah antologi bersama. Buku kumpulan cerpen pertamanya: Kabar dari Kesunyian.


Terkait