Cerpen

Tangga ke Langit

Ahad, 22 September 2024 | 21:30 WIB

Tangga ke Langit

Ilustrasi (Freepik)

Suatu pagi ia mendapati seekor ayamnya telah bertelur lagi di petarangan pojok kandang belakang rumah. Dengan nada gembira ia memberitahu ibunya yang sedang menanak nasi di dapur, bahwa jumlah telur ayamnya kini dua. Setelah menanggapi dengan mengatakan bahwa ayamnya mungkin bakal bertelur tiap pagi hingga beberapa hari lagi dan karena sekarang ibunya sedang tidak ada uang, si ibu menyuruhnya untuk mengambil satu telur yang bakal digoreng ceplok sebagai lauk sarapannya. Akan tetapi, ia merasa sayang, karena ia berharap semua telur ayamnya kelak menetas menjadi anak ayam yang kemudian ia pelihara hingga ayam-ayam itu dewasa. Kemudian, setelah mengutarakan harapannya tersebut, kepada ibunya ia menyatakan bahwa ia bersedia makan hanya dengan lauk parutan kelapa dicampur garam atau hanya dengan jelantah—minyak sisa menggoreng—sebagaimana biasa saat tidak ada lauk di rumah mereka. Si ibu terharu mendengarnya. Menurutnya, dalam kondisi ekonomi yang kadang kekurangan, anaknya itu jarang merepotkannya. Kendati demikian, sebagai orang tua ia merasa iba apabila tidak bisa mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Maka, demi memantapkan, sekali lagi ia bertanya pada si bocah soal kesediaannya sarapan pagi hanya dengan urap kelapa. Tidak ia nyana, anaknya kali ini mengajukan satu syarat yang gesa-gesa ia tanggapi dengan bertanya:

 

"Syarat apa, Nak?"


"Disuapin tanganmu, Bu!"

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Si ibu tersenyum geli-geli bahagia, menanggapi anaknya yang mulai besar itu bertingkah manja. Sementara bocah itu tidak kalah bahagia, mendapati ibunya menganggukkan kepala, karena menurutnya apa pun makanannya apabila di-dulang alias lewat suapan tangan ibunya maka jadilah makanan paling enak sedunia!


Sesaat kemudian, adiknya yang baru bangun tampak berjalan sembari mengucek-ucek mata menghampiri ibunya. Baru saja ia mimpi sarapan pagi dengan lahapnya—dengan lauk telur ceplok, maka dengan nada setengah merengek ia minta ibunya untuk membuatkannya.

***


Alhamdulillah, demikian benaknya sembari melaju pelan mengendarai motor menuju rumah. Setelah beberapa kali rugi, pagi menjelang siang ini ia mendapat untung dari menjual beberapa ekor ayam yang jumlahnya hampir sepertiga modal membeli. Memang, sebagai pedagang baru, ia rasa masih banyak yang perlu dipelajari, baik soal ayam maupun cara bertransaksi. Ia jadi teringat kali pertama berdagang: pagi itu begitu mendapati seseorang berdiri di pinggir jalan—menunggu pedagang ayam lewat—dengan menyangking seekor ayam, ia senang tidak keruan. Kesenangannya bertambah-tambah saat orang tersebut menawarkan ayamnya dengan harga yang, menurutnya, amat murah. Karenanya, kemudian ia menambahi di atas harga yang ditawarkan, yang barang tentu menjadikan orang tersebut senang.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Sesampainya di pasar, saat ia menawarkan ayam tersebut kepada sesama pedagang ayam, ia baru tahu bahwa ayam tersebut sakit. Kendati saat mengalaminya terasa rada menjengkelkan, demikian lanjutnya sembari tersenyum, setelah direnungkan ia merasa senang, karena agaknya Gusti Allah Ta’ala yang Mahabijaksana mengajarinya lewat pengalaman yang ia jadi tahu ciri-ciri atau perilaku ayam yang sedang sakit. Akan tetapi, sekonyong-konyong senyumnya ambrol, begitu mendapati seorang lelaki beberapa jarak di depannya itu menghentikan sepedanya secara mendadak. Karena laju motornya tidak begitu kencang, ia dapat menghentikannya—kendatipun diiringi deg-degan detak jantungnya. Hanya, ia tidak dapat menghentikan kata-kata yang rada kasar yang kadung keluar dari mulutnya yang bisa jadi terdengar oleh lelaki yang kini tampak jongkok di depannya.

***


Beberapa saat sebelumnya: sementara benak sebatang pohon kembang ungu yang tumbuh subur di pinggir jalan itu ditimpuk bingung memikirkan bagaimana cara menyelamatkan seekor ikan sepat yang tampak berenang berputar-putar di lubang jalan aspal yang masih menyisakan genangan air hujan semalam, benak ikan itu malah dilanda kekaguman kepada Gusti Allah Ta’ala yang menciptakan daratan sedemikian rupa dengan berbagai ragam makhluk ciptaan-Nya yang hidup di permukaannya.


Pohon itu tadi telah berusaha membujuk seekor burung peking jali yang sering menclok di dahannya untuk memindahkan si ikan ke blumbang—saluran irigasi—di pinggir jalan raya itu, akan tetapi burung bertubuh kecil itu menanggapinya dengan mengatakan bahwa ia tak kuat melakukannya, karena tubuhnya dengan tubuh ikan tersebut besarnya hampir sama. Malahan, demikian ia menambahkan, tampaknya lebih besar si ikan. Kemudian, setelah mengatakan bahwa ia akan memanggil burung blekok yang barangkali bersedia menolongnya, si burung peking langsung terbang meninggalkan si pohon yang sekonyong-konyong ditodong cemas: bagaimana nanti kalau si burung blekok malah memakan si ikan?
Sementara itu, benak si ikan sepat sebetulnya pun rada cemas seiring air di lubang itu kian berkurang. Hanya, rasa tersebut tergeser kebahagiaan atas apa yang telah ia saksikan, yakni beragam dan banyaknya tumbuhan yang ada di daratan juga binatang yang beterbangan di udara. Apabila ia tidak dapat keluar dari lubang itu hingga airnya habis yang mungkin jadi lantaran kematiannya, ia tidak menyesal karena telah menyaksikan bukti kemahakuasaan Gusti Allah Ta'ala yang kuasa mencipta, mengatur dan memelihara berbagai makhluk, baik yang hidup di dalam air seperti dirinya maupun yang hidup di daratan.

***


Sembari sesekali memasukkan suluh—kayu bakar—atau tepes—serabut kelapa—untuk menjaga nyala api yang digunakan ibunya untuk memasak, ia mendekatkan beberapa anak ayam yang mulai besar itu ke depan pawon alias tungku demi menghangatkan mereka. Sudah beberapa hari mereka sakit dengan gejala tubuh menggigil seperti kedinginan. Ibunya pun telah berusaha menyembuhkan mereka dengan cara memberi makan tumbukan jahe atau obat—vitamin ayam.


Suatu pagi mendapati seekor anak ayamnya mati, ia menangis, tidak peduli seorang bocah perempuan yang waktu itu sedang dolan di rumahnya bersama neneknya madani—mengolok-oloknya: bocah lelaki kok cengeng, menangisi kematian ayamnya.

***

 

Bermula dari kebiasaannya suka keluyuran. Keluyuran yang tidak sekadar keluyuran, melainkan ia niatkan mencari ridha Gusti Allah Ta’ala dengan cara: sembari mencari makanan, ia mengamati betapa banyak dan beragam makhluk ciptaan-Nya serta keluasan tempat hidup mereka. Ini menjadikannya bersyukur dan tunduk kagum kepada-Nya sembari mulutnya acap menyenandungkan pujian: Subhanallahil adzim subhanallahi wa bihamdihi.


Sore itu, beberapa saat setelah melewati sekumpulan anak ikan betik tampak riang berkejaran, rada terperanjat ia mendapati seekor ikan yang belum pernah ia lihat sama sekali. Apabila dibanding dengan tubuhnya, tubuh ikan itu jauh lebih besar; sementara tubuhnya memipih dari atas ke bawah, tubuh ikan itu memipih menyamping kiri-kanan sedemikan lebar menjadikannya tampak begitu menawan saat berenang ke sana ke mari beberapa jarak di depan bawahnya itu. Kemudian, pada saat benaknya memuji Tuhan—yang mencipta, membentuk dan memberi rezeki ikan itu—tidak ia sangka, ikan itu sekonyong-konyong mendekat ke arahnya sembari mengucap salam yang, ia jawab pula dengan salam.


Kemudian, ia memperkenalkan diri sebagai ikan sepat, disambut oleh ikan itu menyatakan diri sebagai ikan peh.

 

Setelah menanyakannya bakal pergi ke mana yang ia jawab dengan menceritakan kebiasaannya tersebut, ikan peh menyarankannya agar kembali karena beberapa jarak di depan adalah laut.

 

Penasaran ia bertanya, "Laut? Laut itu apa?"

 

Ketika ikan peh menjawab dengan mula-mula menyatakan bahwa sebagaimana sungai—tempat mereka kini berada—laut adalah perairan yang amat-sangat luas dengan begitu banyak—baik jumlah, ragam bentuk maupun warna—ikan dan tumbuhan yang hidup di dalamnya, antusias sekali ia mendengarkannya dan buru-buru menimpali, "Sungguh saya jadi ingin ke sana!"


Namun kemudian, antusiasnya rada melempem saat ikan peh memberitahu bahwa ia tidak mungkin bisa ke sana.


"Memangnya kenapa?"


Ikan peh menjawab dengan menyatakan bahwa sebagaimana penduduk laut tidak bisa hidup di sungai, sebaliknya penduduk sungai tidak bisa hidup di laut. Kendatipun laut dan sungai sama-sama air, akan tetapi karakter mereka berbeda. Gusti Allah Ta’ala mengatur ragam kehidupan makhluk ciptaan-Nya sedemikian rupa—ada yang di sungai, di laut, di darat, bahkan di udara—yang semua itu membuktikan kemahakuasaan-Nya.

 

Tampak manggut-manggut si ikan sepat menyimak penjelasan tersebut, kemudian bertanya, "Soal kehidupan di laut, kalau boleh tanya: sampean tahu dari mana?"

 

"Saya lihat dan mengalami sendiri, karena saya berasal dari sana."

 

"Oh, ya?"

 

"Ya."

 

"Tapi, tadi sampean bilang, ikan yang hidup di sini tidak bisa hidup di sana, dan sebaliknya…"

 

Cara si ikan sepat mengungkapkan rasa ingin tahunya menjadikan ikan peh mengembangkan sebaris senyum, kemudian berkata, "Sampean punya teman seekor kodok?"

 

"Ya, beberapa…"

 

"Sampean tahu apa kelebihan yang diberikan oleh Gusti Allah Ta’ala kepada mereka yang tidak diberikan kepada sampean?"

 

Untuk beberapa saat ikan sepat itu tampak tertegun, kemudian menjawab, "Saya hanya bisa hidup di air, sedangkan mereka bisa hidup di air dan di darat."

 

"Betul. Demikan pula dengan diri saya…"

 

Rada heran si ikan sepat cepat-cepat menanggapi, "Wah, berarti sampean bisa hidup di air dan di darat?"

 

"Bukan, bukan itu, maksudnya sebagaimana kodok yang diberi anugerah bisa menjalani hidup di dua tempat, demikian pula saya: bisa hidup di laut dan di sungai…."

 

"Wah, senang dong."

 

"Alhamdu…"


"Lillah."

***

 

Alhamdulillah, demikian benaknya seiring kata-kata rada kasar keluar dari mulutnya. Ia bersyukur kepada Gusti Allah Ta’ala bukan karena ia telah berkata kasar, melainkan karena sontak timbul penyesalan dalam benaknya telah mengatakannya. Ia pun menyesal karena boleh jadi ia yang bersalah: kurang kosentrasi saat berkendara. Maka, setelah ia meminggirkan motornya, ia berjalan menghampiri lelaki itu untuk meminta maaf dan mencari tahu kenapa lelaki itu berhenti mendadak.
Setelah dekat, begitu melihat lubang jalan yang menampung genangan air hujan di depan lelaki itu mula-mula ia menduga bahwa lelaki itu berhenti karena lubang itu. Namun setelah lelaki itu mencelupkan tangannya ke dalam lubang, ia jadi bertanya-tanya dalam benaknya, apa yang sedang dilakukannya.


Kemudian, ia menyatakan bahwa ia meminta maaf apabila kata-kata tadi kurang berkenan di hati lelaki itu. Tidak ia duga, sembari menatap wajahnya dengan pandangan menyiratkan rasa bersalah lelaki itu malah berkata, "Harusnya saya yang meminta maaf pada sampean, karena ujuk-ujuk mengerem sepeda yang mungkin mengagetkan hingga bahkan mencelakakan sampean."


"Sudahlah, saya tidak apa-apa." Ia mengulurkan tangan, dan setelah mereka bersalaman ia menambahkan, "Ngomong-ngomong, apa yang sedang sampean lakukan?"


"Sampean lihat," kata lelaki itu sembari menunjuk lubang.

 

"Ya, sepertinya itu seekor ikan sepat…"

 

"Saya jatuh iba. Tadinya saya ingin memindahkannya ke saluran irigasi…"

 

Seiring dugaan lelaki itu mengurungkan niatnya tadi, si pedagang ayam buru-buru menanggapi, "Lantas sekarang tidak jadi?" 


"Bukan. Maksud saya, tadi saya berniat memindahkannya sendiri. Akan tetapi, karena sekarang ada sampean, bagaimana kalau kita pindahkan bersama?"


Mendapati si pedagang ayam langsung mengangguk, lelaki itu menambahkan, “Dan semoga Gusti Allah Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang menerima sebagai amal baik kita bersama…”

 

"Amin."

 

Setelah mengucap bismillah, lelaki itu menangkap si ikan untuk kemudian mengalihkannya ke tangan si pedagang ayam yang juga kemudian sembari mencemplungkannya ke dalam saluran irigasi itu mengucap bismillah. Sementara itu, tanpa terdengar oleh dua orang tersebut, serentak si ikan sepat dan pohon kembang ungu itu sama-sama mengucap alhamdulillahi rabbil ‘alamin—segala puji hanya milik Gusti Allah Ta’ala, Tuhan Pencipta, Pemelihara seluruh alam.


Demi menyaksikan kejadian itu, dua ekor burung yang tampak terbang beriringan di angkasa cukup cepat ke arah situ sekonyong-konyong memelankan laju terbang mereka. Kemudian, si burung blekok menyatakan bahwa ia akan kembali ke sawah meneruskan mencari nafkah. Sebelum mereka berpisah, si burung peking jali hanya bisa mengucapkan terima kasih atas kesediaan si burung blekok membantunya menolong ikan tersebut—kendati tidak jadi setidaknya mereka telah berniat dan berusaha melakukannya. Juga atas janji si burung blekok bahwa ia tidak akan memakan ikan yang akan ditolongnya. Karena, demikian benak si burung jali, hal itu tidak mudah dilakukan oleh si burung blekok yang suka memakan ikan. Bahkan, beberapa saat sebelumnya, saat mereka masih berada di sawah, begitu si burung jali selesai mengutarakan maksud kedatangannya, si burung blekok mula-mula dengan tegas menyatakan ketidaksediaannya—karena takut tergoda memakannya. Namun, karena si burung peking jali terus meminta, sebagai sesama burung akhirnya burung blekok itu berjanji dan menurutinya.

***


Malam sebelumnya: dari balik kamar si bocah yang sedang asyik membaca buku Kisah Para Nabi dan Rasul mendengar adiknya di ruang tamu meminta pada ayahnya untuk mengantarkannya besok melihat pertunjukan ikan lumba-lumba yang dalam sepekan ini diadakan di kota kabupaten. Sebagian teman-teman sepermainannya telah melihat pertunjukan tersebut dan menceritakan padanya kelucuan dan kelihaian atraksi ikan lumba-lumba yang menjadikannya tambah ingin menyaksikan. Akan tetapi, si ayah enggan menurutinya, dan sebagai gantinya ia akan membelikan mainan yang diinginkannya. Si adik tetap bersikukuh dengan keinginannnya dan mendesaknya dengan rengekan, sementara si ayah tetap berusaha mengalihkan permintaannya. Kemudian, dengan menyaking perasaan kesal sembari terisak-isak si adik menghambur pada ibunya yang berada di ruang tengah. Itu bersamaan dengan si bocah keluar kamar dengan membawa kaleng tabungannya, kemudian membuntuti ayahnya yang tampak keluar menuju teras rumah.

 

Dengan dugaan kenapa si ayah tidak mau menuruti keinginan adiknya karena ayahnya sedang tidak ada uang, ia menyatakan pada ayahnya untuk menggunakan uang tabungannya untuk adiknya. Mendengar hal tersebut sembari mengelus-elus kepala anaknya ia terharu; betapa anaknya itu sangat sayang pada adiknya. Ia jadi teringat dulu istrinya bercerita bahwa anaknya itu juga merelakan satu telur ayamnya untuk sarapan adiknya. Pada titik ini, benaknya bersyukur kepada Gusti Allah Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang memberinya karunia keluarga yang saling menyayangi.


Akan tetapi, demikian ayahnya memberitahunya, bukan karena ia sedang tak ada uang sehingga ia tidak menuruti keinginan si adik. Melainkan karena ia kasihan pada ikan-ikan tersebut yang dipindahkan dari kota ke kota untuk pertunjukan, sementara habitat mereka adalah di laut.

***

 

Kendati rasa penasaran menyaksikan keunikan penduduk laut—yang menurut ikan peh amat-sangat banyak ragam dan jumlahnya yang tidak ada yang sanggup menghitungnya kecuali oleh yang menciptakan mereka, yakni Gusti Allah Ta’ala—tidak kesampaian, ia semakin suka mengamati sesama makhluk di sekitarnya yang tidak kalah uniknya, semisal kepiting yang, selain dapat hidup di air dan di darat, jalannya unik: menyamping. Kali pertama menyaksikan itu ia mengira bahwa si kepiting sedang sakit, karena sepengetahuannya semua makhluk berjalan mengarah ke depan, maka dengan nada iba gesa-gesa ia menanyakan pada si kepiting: sakit karena apa yang menjadikannya berjalan menyamping. Tidak ia nyana, mendengar hal tersebut si kepiting malah tertawa. Ini barang tentu menjadikan ikan sepat itu kian penasaran, yang beberapa saat kemudian, terpungkasi oleh jawaban si kepiting yang menyatakan bahwa kenapa ia berjalan seperti itu karena Gusti Allah Ta’ala mendesain ruas kaki-kakinya sedemikian unik, yakni menyamping kanan-kiri—berbeda dengan kebanyakan ruas kaki makhluk lainnya yang didesain oleh Gusti Allah Ta’ala mengarah ke depan. Kemudian, saat benak si ikan sepat kian terkagum-kagum atas kemahakuasaan Gusti Allah Ta’ala yang kuasa mencipta ragam gerak-jalan makhluk-Nya—ada yang ke depan dan ada yang menyamping, kekagumannya kepada Gusti Allah Ta’ala kian bertambah-tambah saat si kepiting memberitahunya bahwa di darat malah ada makhluk yang berjalannya tidak kalah unik dengannya, yakni tembukur alias undur-undur yang cara berjalannya mundur. Subhanallahil adzim subhanallahi wa bihamdihi!


Di samping itu, si ikan sepat pun suka mengamati tetumbuhan—mula-mula yang tumbuh di sekitar sungai seperti rerumputan, lalu pepohonan di darat pinggir sungai tempat tinggalnya.


Seiring kian jauh area keluyurannya dan kian sering mengamati, ia mulai tahu kebermanfaatan pepohonan bagi makhluk lainnya: ada beberapa binatang yang memakan kembangnya; ada yang memakan dedaunannya, dan ada yang memakan buahnya. Ada pula binatang yang berteduh dari sengatan matahari di bawah naungannya, hingga bahkan ada yang bersarang di sela rimbun dedaunannya. Di samping itu, antara sesama satu jenis pohon yang tampak tumbuh berdekatan pun rupanya tidak ada yang sama—baik besar kecilnya maupun bentuk lekukan batangnya sebagaimana rupa sesama ikan sepat—yang sejenis dengannya—kendati sekilas tampak mirip akan tetapi masing-masing mereka punya ciri khas yang membedakan rupa satu ikan dengan ikan lainnya.

 

Atas apa yang ia saksikan itu, kekagumannya kepada Gusti Allah Ta’ala yang Maha Kuasa mencipta, memelihara dan mengatur semua itu kian menjadi-jadi. Apalagi setelah ia menyadari bahwa apa yang ia saksikan yang berlatar cakrawala sedemikian luas terbentang tanpa tiang itu dapat tertangkap oleh matanya yang sedemikian mungil; La ilaha illallah, tiada tuhan selain Gusti Allah Ta’ala; hanya Gusti Allah Ta’ala satu-satunya Tuhan, tidak ada selain-Nya yang kuasa mencipta, membentuk dan memelihara semua itu.

 

Maka, suatu malam saat hujan cukup deras yang menjadikannya juga beberapa ikan lainnya hanyut mengikuti arus air menuju entah ke mana, ia tambah kerap menyenandungkan pujian kepada Gusti Allah Ta’ala, karena seiring harapan kian jauh ia hanyut kian banyak ragam makhluk ciptaan-Nya yang akan ia saksikan.

 

Demikianlah, hingga selepas Subuh tadi, seiring aliran air yang menggenangi badan jalan itu mulai surut, sudah sedemikian banyak makhluk daratan yang ia saksikan. Mulai dari burung-burung, kupu-kupu, capung, kumbang, tawon dan berbagai serangga yang tak terhitung jumlahnya yang tampak berseliweran dengan luwesnya di angkasa—mereka tampak baginya seperti ikan berenang di dalam air. Tidak berapa lama kemudian, seekor temannya tampak mendekatinya, mengingatkannya untuk cepat-cepat pindah berenang ke saluran irigasi yang berada di antara jalan dan persawahan, karena seiring hujan mulai reda aliran air di badan jalan semakin berkurang. Sementara ia mengiyakan, temannya itu tampak buru-buru berbelok menuju saluran irigasi. Kemudian, karena beberapa jarak di depannya sebatang pohon besar tampak begitu indah dengan kembang-kembang warna ungu yang bermekaran di antara rimbun dedaunannya yang menghijau, benak si ikan memutuskan bakal menyusul temannya seusai melewati pohon itu.


***

Hari Ahad, karena libur sekolah, bocah itu coba menghibur adiknya yang masih ngambek karena keinginannya tidak dipenuhi oleh si ayah—dengan cara mengajaknya menerbangkan layang-layang di halaman rumah mereka. Sementara beberapa jarak dari mereka, sembari terus mengikuti arus air irigasi yang memisahkan halaman rumah itu dengan jalan, si ikan sepat sekonyong-konyong teringat si ikan peh begitu melihat layang-layang itu terbang di angkasa. Kemudian, seiring kian dekat jarak si ikan sepat dengan dua bocah itu, sekonyong-konyong ia mencolot dari dalam air demi meyakinkan diri apakah yang dilihatnya itu adalah temannya, ikan peh. Si adik yang sedari tadi lebih suka memandangi arus air—karena terdorong keinginannya tersebut—sekonyong-konyong kegirangan demi menyaksikan ikan sepat beberapa saat mengangkasa. Kesenangannya bertambah-tambah saat beberapa ikan lele seukuran lengan orang dewasa yang berenang mengikuti arus di belakang si ikan sepat, secara satu-satu maupun berduaan tampak secara bergantian mencolot beberapa saat meliuk-liukan tubuh mereka di udara dengan begitu luwesnya dengan begitu indahnya mengikuti atraksi si ikan sepat tadi—kendatipun mereka tidak tahu kenapa si ikan sepat melakukan itu. Si adik dengan nada setengah berteriak gesa-gesa memberitahu kakaknya, "Lihat, Kak, banyak anak lumba-lumba berlompatan di blumbang rumah kita!”

 

O, betapa senang dua bocah itu!

 

Kesenangan mereka masih tersisa beberapa saat kemudian saat si pedagang ayam melewati mereka: sembari si kakak memegangi tali layang-layang, si adik tampak berjingkrak-jingkrak atas apa yang baru ia saksikan yang nantinya ia ceritakan pada teman-temannya dan karenanya ia tak lagi meminta ayahnya mengantarkannya melihat atraksi lumba-lumba. Dan, kesenangan ini menular pada si pedagang ayam yang sekonyong-konyong teringat masa kecilnya. Juga kesenangannya lantaran sore kemarin ia mendatangi rumah itu dan membeli beberapa ekor ayam pada ibu mereka yang beberapa saat tadi ia jual di pasar dengan cukup banyak keuntungan; ayam-ayam yang dipelihara oleh seorang di antara dua bocah itu yang hasil penjualannya ia tabung untuk persiapan apabila kelak ia melanjutkan sekolah; ayam-ayam keturunan seekor induk ayam yang beberapa kali pernah asyik mandi debu di halaman seseorang yang sedang mengayuh sepeda beberapa jarak di belakang pedagang ayam itu. Kendatipun pada awalnya orang itu rada kesal atas kelakuan si ayam mengorek-orek tanah pekarangan hingga debu mengotori teras rumahnya, namun alhamdulillah, Gusti Allah Ta’ala mengilhaminya rasa iba padanya hingga membiarkan si  ayam melakukan kesenangannya.

 

Sementara itu, beberapa jarak dari mereka, dari arah yang dituju oleh si pedagang ayam, seseorang mengontel sepeda sembari matanya memandangi keindahan cakrawala yang diciptakan oleh Gusti Allah Ta’ala dengan gradasi aneka warna sedemikian lembut juga sedemikan luas terbentang tanpa tiang dan tanpa setitik pun yang retak. Segala puji hanya milik Gusti Allah Ta’ala yang menciptakan alam semesta serta seluruh isinya, demikian benaknya. Kemudian, ia mendapati beberapa awan putih dengan bentuk dan ukuran hampir sama serupa persegi panjang tampak anggun tersusun berundak-undak.


Kesugihan, 15:30, 1 Januari 2023.