Cerpen

Tarian di Atas Nisan

Ahad, 30 Januari 2022 | 20:00 WIB

Tarian di Atas Nisan

Ilustrasi

Cerita Pendek Hamidin Krazan
Kabar kematian selalu menguras perhatian. Seperti pagi tersilam, ketika seseorang kirim SMS. "Lik, si Reny biduan asal Desa Dukuh Wetan dikabarkan meninggal. Kamu percaya?"

 
Agak siang Pak RT juga SMS. "Jika kabar kematian Reny benar, sangat disayangkan ya?"

 
Selain pesan empatik, ada juga pesan bernada keterlaluan. "Hi, kamu pasti udah tahu kan? Pesaingku dah tewas. Smoga aja bener …. Nexs, kamu kudu bantu promosiin aku ya. Okay?"

 

"Bedebah! Dasar otak benalu." Aku geram terpancing SMS sadis itu. Ada juga SMS konfirmasi. Mereka menanyakan apakah aku masih jadi tangan kanan Reny? Hadeeeh! Pasti semua itu terkait dengan rumor bahwa sosok fenomenal itu dianggap kandidat terberat sebagai bakal calon kepala desa. Bobot badan sih iya. Aku sangat tahu. Ia pedangdut ber-body semok. Wartawan tabloid pun menjuluki 'Reny Sintal'. 


Nada dering SMS masuk semakin berisik. Ditambah laporan Pak RT, para tetangga pun heboh menanggapi kabar burung itu. Sebagian masyarakat awam apalagi. Terkadang mereka serupa ikan gabus. Begitu gampangnya menelan mentah-mentah kabar kabur. Mirip ikan predator bermulut lebar. Asal caplok. Tak cermat bedakan antara plankton alam murni karunia Tuhan atau hanya umpan jebakan. 


***

 

Aku tetap di Ibu Kota. Peluru fiktif telah dilepas. Akankah menuai hasil sesuai target? Doaku, semoga Reny baik-baik saja. Meminjam ilmu tafsir mimpi: Kematian itu kode takdir sebaliknya. Aku tak bisa membayangkan berbagai ekspresi wajah pelayat lugu para korban isyu. Untuk mengkroscek, aku SMS ke Pak RT. 


"Memang ada ambulans membawa jenazahnya?"

 
Jawaban Pak RT mengambang. "Belum jelas kabarnya, Mas. Kalaupun iya, biasanya jenazahnya tak boleh dibawa mudik. Pastinya dikubur di negeri sebrang?"  Pak RT di desaku biasa memanggilku 'Mas'. Sebab namaku Nimas Samara. 

 

Tak dipungkiri. Buah keberhasilan atas perjuangan tak selalu langsung dinikmati penggagasnya. Ini risiko dari sebuah pilihan. Aku ibarat mempelai ditinggal calon suami  yang belum sempat pacaran. Faktanya, aku dan Reny teman akrab. Pernah menjalin hubungan profesional. Dia biduan lokal sedangkan aku manajernya. Dia punya suara merdu, aku mempunyai pengalaman cara bagaimana mengatur waktu jadwal tampilnya. Aku punya cara mendatangkan para penikmat suara merdunya. Aku banyak kiat memformat acara. Selalu bisa membuka lahan job sehingga alunan suara merdunya jadi sumur duit, bahkan multi  keuntungan yang tak terduga selanjutnya.


Kala itu zaman handphone masih dua warna. Kedudukan penyanyi lokal pun tergolong langka di setiap wilayah jobnya. Dampak baik ketenaran Reny, kerap ditawari kursi bergengsi, sebab ia berkapasitas. Sebelum hubungan profesional itu berakhir, Reny menulis kata maaf di buku harianku. 
 

Alfian datang dengan segala pesonanya. Ia teman SMA-ku. Alfian berikan Reny pekerjaan. Reny terima job itu sebab sesuai targetnya. Reny rela menanggalkan baju artisnya. Otomatis aku yang kena getahnya. Aku pensiun sebagai manajernya. Rencananya, aku dijanjikan diberi sumber penghasilan lain, di luar jam kerja tetapku. Aku pernah bekerja sebagai jurnalis. Kini tambah PHK kedua, tidak lagi menjadi manajer pedangdut lokal. Keduanya masalah, tetapi lebih bermasalah lagi, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan Alfian!  

 

Kalau saja sebelumnya aku dapat memprediksi akan datang tragedi pribadi, selekasnya aku batalkan perjanjian kerja dengan Alfian. Biar aku duduk saja secara tenang di bilik kosong. Berdiam di ruangan tanpa cahaya. Ruang kedap udara. Agar aku leluasa melanglang ke masa lalu yang belum terlalu kadaluwarsa. Sebelum aku akhirnya tahu, Alfian diam-diam campakkan aku ke jurang hampa. Huu-uuh …! 

 

Kini aku terlanjur jauh berselancar di atas amparan lumpur hidup. Semakin banyak gerak, bila banyak tingkah, niscaya kian susah payah berdiri tegak. Konsentrasi semakin rumit. Pikiran, hati dan gerak sulit menyatu. Ingin pejamkan mata namun katup kelopak rasanya terganjal luka. 

 

Seperti luka sengaja akibat kekuatan hipnotis? Apakah kekuatan uang dapat menukar rasa cinta terpendam? Tiba-tiba kesadaranku liar. Tangan meraih sebilah benda runcing terdekat. Serupa ujung pena tinta isi ulang. Setelah cairan mangsi hitam dari ujung mata pena itu kupuncratkan ke wajah, namun apes. Runcingnya mencolok katup bola mata. 

 

"Aduuuh ...!" Meski hanya satu mata terluka, namun keduanya sakit semua, bahkan mata hati pedih rasanya. Usai tak sadar melukai diri, aku berjalan merambat pada tembok di sebuah bangunan tua. Tiba-tiba aku masuk di bangunan SMA di ruang UKS, tempat dimana aku pertama kali dipeluk cowok bermata coklat bernama Alfian. Ketika itu ia pingsan akibat tongkat bola kasti yang aku lempar tak sengaja mengenai keningnya. Sebelum petugas UKS datang, beberapa saat aku menungguinya. Ternyata Alfian hanya pura-pura pingsan. Selekasnya ia menarik tanganku hingga kami sama-sama pingsan dari norma dan etika. 

 

Kini aku merayapi dinding rapuh yang kujadikan rambatan penunjuk jalan. Bermodal ingatan, aku berusaha temukan hape lalu telepon Dokter Restanti pemilik tempat kos. Ia dokter umum yang praktik di rumah setiap sore. Alamatnya agak jauh dari gedung tua tempat kosku.

 

"Bu Dokter, tolongin aku, mataku terluka. Perih ...," pintaku.

 

Dokter Restanti tak kunjung hadir. Aku merayap ke arah kulkas. Sebongkah es kutempel di sekitar kelopak mata. Nyes...! Dingin menjalar di sekitar luka. Dokter Restanti tak datang. Ia mengutus perawat. 

 

"Aduuuh, pelan-pelan." Sergahku. Tangan perawat terasa halus tapi kekar, sedangkan lukaku lebih sensitif. Dari bulu-bulu di tangan, aku yakin dia cowok. Aku dipapah ke kursi panjang. Tubuhku menggeliat gaduh. 

 

"Lukamu aneh," perawat itu bersuara wibawa meski pelan. "Mengapa darahmu bercampur tinta?" lanjutnya.      

 

"Tanya dong sebabnya." Aku mencoba mengusap lukaku tetapi tangan perawat cowok itu sigap menepisnya. 

 

"Saya sudah tahu," jawabnya kalem. Aku terperanyak. Ser ...! Bukan plester perban koyo di sekitar mataku, tetapi jemarinya menekan sekitar kulit luka, terasa hangat.  

 

"Dampak luka akibat di-PHK," ucapnya pas.

 

Aku terperanjat. "Bagaimana Anda tahu?" 

 

Sepi tak ada jawaban. Aku kerjapkan bola mata. Sungguh aku ingin melihat wajah perawat ini? Aku ingin melihat gerak bibirnya saat mengatakan kalimat itu tadi. Sayang, mataku terbalut rapat. Lengkap gelapku kini. Nafas tak teratur. Akibat paparan non-medis perawat misterius. Dari mana ia punya informasi lengkap tentang nasibku?

 

"Kabar terakhir dari pasien yang baru pulang mudik. Katanya, artis yang pernah kamu manejeri itu kini berhenti total manggung, karena bekerja di luar negeri. Konon, kelak akan dipersunting seseorang. Nasibnya akan semakin bersinar. Ia tak sekadar memperoleh calon suami ganteng dan kaya, tetapi sekaligus akan mengawal setia untuk meraih impiannya." 

 

Deg! Mendengar kata impian itu, luka yang semula hanya di mata, kini perihnya menjalar liar ke seluruh nadi hingga berpusara di tengah dada dan kini sakitnya menggila. Sangat perih menghunjam di ulu hati. Aku merasa sesak ketika menghela nafas secara perlahan. Namun berusaha tetap tahan perasaan. Agar informasinya lebih banyak kuserap.

 

"Sebagai artis juga kedudukan yang langka? Prestis juga dong," rajukku.

 

"Iya sih, tetapi lebih keren kedudukan politis kan?" ia membandingkan.

 

"Maksud Anda?"

 

"Kelak, selain calon suaminya berharta, sebagai aktivis, kini  tengah giat menghimpun simpatik warga. Bermacam kegiatan sosial dan keagamaan ia gelontori derma."

 

"Kegiatan sosial-keagamaan?"

 

"Maksud saya, kegiatan sosial yang dikait-ikatkan dengan event agama. Sekaligus diikrar dengan janji dan keinginan pribadinya...."

 

"Apa sih keinginan pemuda kaya raya itu?" selidikku.

 

"Tak dikatakan, hanya dituliskan... dalam visi dan missi ...." jawabnya cerdas.

 

Aku dan perawat sama-sama tertawa. Bedanya, ia tertawa lepas karena nyinyiran khas, sedangkan aku tertawa akibat lupa menahan sakit. Lupa ancaman nasib cintaku di ambang lenyap ditelan impian kawan. Begitu terbayang lagi calon suami Reny yang kaya raya itu, tertawaku berbalik jerit teramat sakit. Galau terkacau dan asa yang terancam binasa. 

 

"Pernyataan siap menjadi pejabat amanah jika warga kampung memilihnya di musim politik mendatang. Sambil melipatgandakan modal, sang calon suami mengirimkan calon istrinya jadi buruh migran.” 

 

Aku tak sependapat. "Salah! Kekayaan calon suami sangat lebih buat  modal membeli kursi dewan, apalagi kepala desa?" selaku. 

 

"Faktanya begitu, tetapi seni politiknya dibuat kebalikan dari itu. Meski modal berlipat, pengiriman calon istri ke luar negeri hanya rangkaian pola menjahit motif opini saja. Tujuannya untuk mendidik motivasi masyarakat pemilih. Jika diketahui modal Si calon melimpah ruah, bisa dimanfaatkan para ‘bagong’ yang kerjanya cuma jegang hasilnya entah. Sebaliknya jika modal diperoleh dengan cara heroik, kerja keras penuh susah payah, rela jadi budak di negeri tetangga, efeknya lebih dramatis! Simpatiknya lebih nampol," urai perawat.  

 

"Oh... Wow...," aku merasa berguru padanya. Juga curiga. Ia perawat atau peramal? Bu Tanti sengaja mengirim cowok cerdas ini?

 

"Penyanyi kampung ingin jadi kepala desa dan calon suaminya berambisi meraih kursi jabatan dewan. Langkahnya, Reny lepas baju keartisan, jadi BM, mengetes rindu sebelum tampil di panggung lebih besar," penjelasannya senada narasumber talkshow politik di radio.  

 

"Satu hal yang ingin saya tanyakan," sergahnya lagi. "Menjelang dua tahun menjadi buruh migran, tiba-tiba diberitakan meninggal. Apa itu olahanmu?"

 

Aku kaget. Mulut ternganga. Tak berucap sesuku kata pun.

 

"Bisa saja idemu berhasil. Masalahnya, jika Reny sukses jadi kepala desa, apa kamu siap menderita? Jelang pelantikan kelak, apakah hatimu perkasa? Jika di depan mata tangan temanmu  digandeng kekasih SMA dulu? Lelaki yang tidak pernah menyatakan cinta namun kerap erat memelukmu?"

 

"Diam! Anda tak perlu mengungkit masalah pribadiku." Aku membenak dan geram. Perawat itu malah terbahak. Suara tawa mengawang, bahkan menggema seperti teriakan di sebuah terowongan.

 

"Banyak orang berjuang demi cinta, tetapi sedikit perjuangan yang disertai  pengorbanan cinta. Kecuali kamu," serunya bernada menyindir. 

 

"Buka perban penutup matamu cewek pejuang," suaranya menjauh sepertinya sudah di ambang pintu. 

 

Aku tersadar. 
 

Desaku digemparkan berita spektakuler. Warga kompak menyatakan pencabutan ungkapan bela sungkawa, menggantinya dengan pernyataan dukungan setia. Ternyata Reny pulang dari luar negeri. Ungkapan lugas bela sungkawa berubah menjadi yel-yel kampanye sebelum masanya. Hidup Reny Sintal..., Hidup Reny..., Hidup Sintaaal! Panggung pun bergetar lagi.

 

Getar vibrator berakibat hape jadul pemberian pacar SMA bergerak-gerak di meja. SMS masuk. "Idemu ampuh. Kelak setelah Reny jadi kades, tugasmu nambah ya. Selain atur jadwal manggung di luar jam dinas, juga promosikan aku raih kursi dewan dengan caramu. Setuju?"
 

 

Tanganku membanting benda sebesar penghapus papan tulis. Benda yang semula kugenggam sedianya untuk menjawab tawaran job? Tiba-tiba meluncur kilat hingga kandas di lantai keramik. Aku membanting handphone jadul itu. Suara benturan sangat jelas. Brak! Cashing hape lepas meluncur. Bagian lainnya terlepas dan  hancur berantakan di lantai berwarna putih.

 

Pletak! Giliran mata pena menancap tepat di bola mata coklat sebelah kiri pada foto 10 R dengan tatapan tak berkedip itu. Tinta hitam muncrat akibat silinder batang pena itu patah. Bercakan tinta isi ulang mirip lukisan abstrak di atas meja kerjaku.

 

Pekuncen, April 2020.

Hamidin Krazan kini tinggal di desa Pekuncen, Banyumas. Selain menulis cerpen, puisi dan cerita anak, juga aktif di grup kepenulisan Kelompok Alinea Baru Jakarta, Penulis Haiku (haijin) tergabung dalam Kelompok HaikuKu Indonesia sejak tahun 2014. Bagian dari anggota grup Sastra Pinggiran dan Komunitas Orang Pinggiran Indonesia (KOPI) Ajibarang.