Oleh Muyassarotul Hafidzoh
--Anak berusia 12 tahun itu merasa genggaman tangan ibunya sedikit menyakiti tangannya. Namun, ia hanya diam dan larut dalam lalu-lalang ratusan peziarah. Ia tahu, ibunya bukan berniat menyakiti tangannya, tetapi menjaganya supaya tetap bersamanya.<>
“kalian tidak apa-apa?” tanya ayah. Ibu dan anak itu menganggukkan kepala.
“Ini hari Jum’at, jadi banyak peziarah yang datang. Sebaiknya kita mencari tempat, oh di sana ada yang kosong,” kata ayah menunjuk sebuah sudut. Ibu dan anak itu mengikuti langkah ayah dan duduk bersebelahan.
Lantunan ayat suci al-Qur’an, bacaan tauhid, tasbih, takbir, tahmid hingga sholawat terdengar bagaikan gemuruh ombak di lautan. Anak itu merasakan getaran cukup kuat, bahkan untuk kesekian kalinya dia berziarah, hanya hari ini dia merasa hatinya tertarik magnet yang entah dari mana asalnya. Mata kecilnya berputar putar melihat sekeliling, perlahan dia merasakan suara peziarah menghilang, bahkan mereka semua menghilang dari tatapannya. Bangunan megah dan kokoh pun lenyap, berubah menjadi tempat asing baginya.
Tangannya mulai gemetar, ketika sosok sepuh muncul dari arah makam, sosok itu mendekatinya bersamaan dengan menghilangnya makam-makam yang baru saja dia tatap.
“Ibu, ibu,… itu siapa? Ibu, Tsaqib takut.” Dia berusaha memanggil ibunya, tetapi dia tidak menemukan siapapun di sampingnya.
Anak itu mulai mengatur nafasnya, hatinya berbisik sholawat tak henti-henti. Berharap semua kembali normal. Kini, harapannya mulai surut, langkah sosok sepuh itu sudah lima puluh meter di depannya. Mata takut dan tegang mulai heran, bahkan dia mengurungkan kelopaknya untuk berkedip. Dia tahu betul siapa yang mendekatinya. Sosok yang selalu diceritaka ibu dan ayahnya.
“Mbah…..,” panggilnya lirih. Sosok sepuh itu pun tersenyum, seolah merasa lega, anak itu mengenalinya.
“Ayo lhe, ikut mbah,” Anak itu meraih tangannya dan mengikuti langkahnya.
“Mbah Hasyim, sebenarnya ini di mana? Kenapa bangunan pesantren sudah tidak ada? Kita mau ke mana?” tanya anak itu.
Mereka berjalan ke arah timur sekitar 200 meter dari tempat semula. Anak itu membaca papan yang berada di depan bangunan tua, seperti pabrik tua. “Oh, bukankah ini Pabrik Gula Cukir? Mbah, apakah kita sekarang berada di tahun silam?” anak itu kembali bertanya, namun Mbah Hasyim tetap diam. Dia melihat para tentara Belanda berbincang-bincang dalam bahasa mereka yang tidak dipahaminya. Namun, sesekali mereka menyebut Tebuireng dan Hasyim Asy’ari. Kemudian beberapa orang dengan tatapan yang menyeramkan mengambil beberapa batu besar, sebuah kayu dan beberapa pisau. Mereka berjalan ke arah barat. Anak itu mengikutinya, sambil dihantui rasa penasaran dengan apa yang akan preman-preman itu lakukan.
Sekitar jarak delapan meter dari bangunan yang terbuat dari anyaman bambu atau yang dikenal dengan tratak berukuran 6x8 meter, preman itu melemparkan batu. Disusul lemparan lainnya, kayu dan pisau. Sesekali suara santri dalam tratak tersebut berteriak.
“Mbah, apa yang mereka lakukan? Mbah, kenapa diam saja? Kasian kang santri nanti bisa terluka. Mbah.. lihat, preman-preman itu mulai mendekati pesantren, lihat Mbah, mereka menyerang para santri.” Teriaknya melihat kejadian yang mengerikan terjadi di depan matanya.
Mbah Hasyim memegang lembut tangan anak itu, dan sesuatu kembali terjadi. Apa yang ia lihat sedikit demi sedikit berubah, dan ada pula yang menghilang dari tatapannya.
Kini dia melihat sosok yang mirip sekali dengan Mbah Hasyim, namun jauh lebih muda dari sosok yang menggandeng tangannya. Sosok muda itu memberitahu kepada santri-santri bahwa Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Sansuri Wanantara dan Kiai Abdul Jamil Buntet yang akan melatih pencak silat dan kanuragan kepada para santri, supaya jika ada bahaya yang mengancam mereka bisa membela dirinya.
Anak itu mengingat sebuah cerita yang disampaikan ibunya tentang Mbah Hasyim Asy’ari, tentang perjuangan membangun pesantren Tebuireng yang letaknya persis berhadap-hadapan dengan pabrik gula Cukir milik Belanda. Tanpa takut sedikitpun, Mbah Hasyim menyebarkan kebaikan dan mengajak masyarakat Desa Cukir, Diwek, Jombang untuk belajar ilmu agama dan akhlak. Bahkan dengan para preman yang tadi dia lihat, Mbah Hasyim sama sekali tidak memusuhi mereka. Karena mereka adalah rakyat pribumi yang bukan untuk dimusnahkan namun untuk diajak kepada kebaikan.
Kembali tangan Mbah Hasyim menggenggam tangan anak itu, dan kembali dia melihat perubahan dalam rekaman tatapan matanya. Anak itu mendengar kerumunan orang membicarakan Mbah Hasyim, mereka bilang Mbah Hasyim sudah menggerakkan massa untuk melakukan kerusuhan dan pembunuhan. Sebagian kecil mereka percaya, namun sebagian besar tidak percaya.
“Mbah, bukankah itu fitnah yang dibuat oleh Belanda, agar Mbah dan para santri ditangkap dan dimusnakan dari bumi ini, mereka takut mbah, para penjajah itu takut. Semangat Mbah dan para santri bisa menghancurkan mereka, seperti semangat Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa sepanjang 1825-1830. Kata ibuku, perang itu memaksa Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) ,merogoh dana perang hingga 20 juta gulden. Mereka takut, hal ini terulang Mbah…,” kata anak itu dengan penuh semangat, namun Mbah Hasyim tetap diam.
Halaman di depan tratak terlihat luas, angin mulai berhembus dan mendingin. Malam mulai menyelimuti pesantren ini. Anak itu sedikit menggigil karena takut. Perasaannya mulai memburuk, dia ingin segera kembali menemui ayah ibunya, kembali ke zaman di mana dia hidup. Di sisi lain, dia merasa teduh bersanding dalam genggaman Mbah Hasyim dan ingin melihat apa yang akan terjadi di malam ini.
Tiba-tiba, dari balik semak-semak muncul tiga orang bertopengkan kain, berjalan mengendap-endap. Para santri yang baru saja dilihatnya entah lenyap di mana. “Mbah.. Tsaqib takut, itu siapa Mbah? Mau ngapain mereka?”
Sesaat kemudian, santri memergoki tiga penyusup itu, teriakannya membangunkan santri yang sedang terlelap. Hentakkan kaki ramai mengganggu heningnya malam ini. Kemudian telapak tangan Mbah Hasyim menutup kedua mata anak itu. Dia tak bergerak maupun mengelak. Dia tahu apa yang akan terjadi. Suara teriakan, hantaman pukulan dan tendangan beberapa kali terdengar, hingga terdengar kalimat “innalillahi wa inna ilaihi rajiun…”
Anak itu mencoba tetap tenang, dalam benaknya penuh dengan pertanyaan. Siapa yang meninggal, mungkinkah para santri atau para pencoleng tersebut. Ketika matanya kembali terbuka, malam sudah berubah menjadi siang yang terik. “Apalagi yang akan terjadi Mbah?” tanyanya yang dia sudah tahu, Mbah Hasyim tidak akan menjawabnya.
Seratus meter dari tempatnya berdiri, dia melihat debu-debu berhamburan. Langkah kaki para penjajah itu membuat pemandangannya kabur. Beberapa santripun sudah siap di depan tratak, dengan menggunakan senjata seadanya.
“Culik Hasyim Asy’ari dan bunuh dia…!!” teriakan penjajah itu membuat hatinya bergetar geram. Kepalanya mulai menoleh kepenjuru arah. Ketakutan anak itu lenyap bersama munculnya kekuatan dalam hatinya. Kaki kanannya yang siap untuk mengawali langkah, tiba-tiba terhenti oleh sentuhan tangan di bahunya.
Ia hanya bisa menyaksikan bentrokan antara pasukan Belanda dan para santri. Dia pun melihat bangunan tratak dihancurkan, kitab-kitab dihambur-hamburkan. Beberapa pasukan Belanda membawa kitab-kitab besar miliki Mbah Hasyim, dan sebagian kitab yang lain dimusnahkan. Api menyala di depan matanya yang kini beruraikan air. Anak itu mencoba lari menyelamatkan kitab-kitab yang terbakar bersama bangunan pesantren. Tangan Mbah Hasyim tidak sempat mencegahnya, dia pun berlari dan menarik salah satu kitab yang terbakar hingga membakar kulit tangan mungilnya. Saat itu pula tangan Mbah Hasyim meraihnya dan memeluk anak itu sembari mengucapkan sesuatu. “Jangan berhenti mencari ilmu, dan jangan berhenti menjaga Indonesia.”
Anak itu mencoba melepaskan pelukan Mbah Hasyim sambil berteriak, “Selamatkan kitab-kitab itu Mbah…. Hey.. hentikan!Jangan bakar kitab-kitab itu! Mbah Hasyim! Mbah Hasyim….!”
“Nak…. Nak… Tsaqib… Tsaqib… bangun nak… ada apa? Kenapa kamu teriak-teriak.”
Anak itu membuka matanya, dan menemukan dirinya kembali. “Ibu, oh ibu… aku melihat Mbah Hasyim bu, aku melihat Belanda itu membakar Tebuireng bu, aku melihat kitab-kitab berharga dibawa mereka bahkan ikut terbakar,” Ibu merasa heran dengan Tsaqib, yang sejak dari pertama sampai di makam, dia malah tertidur lelap. Tapi, sekarang malah mengigau.
“Percayalah bu, lihat tangan Tsaqib terluka, lihat bu, tadi Tsaqib sempat mengambil satu kitab.” Ibu memperhatikan tangan kanannya, betapa terkejut ibu melihat luka bakar cukup serius mengenai ketiga jari anaknya. Ia mengingat apakah sebelum ke sini anaknya terluka? Ah tidak, dia sebelumnya baik-baik saja. Ibu memandang Ayah, yang sedari tadi ikut mendengarkan anaknya.
Beberapa peziarah pun memandangi tangan anak itu, sebagian dari mereka terkejut, banyak pula yang merasa takut.
“Nak, kamu lihat nama kitab yang kamu selamatkan?” tanya ayah.
“Iya, Tsaqib ingat yah, itu kitab Shohih Bukhori.” Ayah dan Ibu saling bertatapan.
“Nak, sungguh Ayah tidak mengerti dengan apa yang terjadi padamu. Tetapi kamu baru saja bermimpi, dan dalam mimpimu itu, kamu bertemu Mbah Hasyim. Memang pesantren ini pernah dimusnahkan oleh Belanda pada tahun 1913. Saat itu Mbah Hasyim mendapatkan fitnah yang kejam, dan….”
“Ya, aku tahu ayah, aku tahu betul itu. Bahkan aku melihat para pelancong yang dikirim Belanda, sebelum peristiwa itu,” kata anak itu memutus penjelasan dari ayahnya. Ayahnya heran, sudah sejauh inikah cerita yang dibacakan ibunya? Atau Tsaqib sudah membaca semua sejarah Tebuireng. Kapan? Ibu pun merasa heran, dia sama sekali belum sempat menceritakan tragedi pembakaran itu kepada anaknya.
Anak itu kembali melihat tangannya. Dan menatap makam yang berada di depannya. “Mbah, tenang aja Mbah. Aku akan mencari ilmu tanpa lelah untuk selalu menjaga Indonesia.”
Ibu dan Ayah kembali saling bertatapan setelah mendengar perkataan anaknya yang masih berusia 12 tahun itu.
Muyassarotul Hafidzoh, alumni Pondok Pesantren Krapyak Ali Maksum Yogyakarta dan Guru TPA Masjid Zahrotun Wonocatur.
Ilustrasi: Gambar salah satu adegan dalam film "Sang Kiai"