Oleh: Dewi Marwanty
Yus,
kamu lihat perempuan berkepala jam
yang duduk di kursi panjang di depan emperan toko dini hari? Dia menunggumu,
Yus. Berwaktu-waktu. Sepanjang wulan Sura, Sapar, Mulud, yang kamu lewati
bersama istri dan anakmu, rupanya belum sekalipun kamu menemuinya. Berkali-kali
lipat dia telah mengganti batreinya yang aus. Dia membawa pengharapan besar.
Barangkali benar kamu akan datang membawa palu, untuk memecah jam yang
membungkus kepalanya.
Susi, Teman baikku....
Pulanglah, Sus. Lupakan anganmu
untuk menari di atas awan bersama Yusril. Benar memang cinta adalah musafir
yang safar dari harapan ke harapan. Dan aku juga sepakat bahwa begitu diri
sudah cinta terhadap sesuatu, maka ia akan sepenuhnya merelakan diri untuk
dikendalikan oleh yang dicintai. Contohnya kamu yang tetap menunggu Yusril di
depan emperan toko dini hari. Tapi kamu juga harus mengerti, bahwa saat kamu
memiliki cinta, maka saat itu pula kamu terancam dengan adanya sebuah kondisi
yang disebut dengan keterpisahan. Kamu tak bisa selamanya memiliki Yusril. Dan
rupanya kamu juga melupakan bahwa karena cinta, Habil dan Qabil berdarah.
Karena cinta pula, Zulaikha mendurhakai suaminya lantas menggoda Yusuf. Sebaiknya
kamu akhiri saja, Sus. Karena Yusril punya istri dan anak. Aku bilang, tolong
pertimbangkan karena kamupun berdosa meski belum bersuami dan beranak. Kamu
punya orang tua, kamu juga berkhianat, kalian impas. Jangan lagi, mengulang
kisah cinta dan pengkhianatan yang sama.
Yus/Yusril, pemuda 25 Tahun. Temanku semasa kuliah. Suka mendawuhi kami dengan khutbah-khutbah singkatnya, satu diantara yang paling nyanthol dalam ingatan, “Sesekali waktu berjalanlah di tepi gedung tinggi, dan setiap langkahnya, ingatlah rambut yang dibelah tujuh.”.
Walah yus, yus! Kamu yang suka mendawuhi
teman-temanmu, lhakok malah kamu sendiri sekarang yang keblinger
sama kenikmatan duniawi. Saru, Yus! Bagiku, tak seharusnya kamu jadi
laki-laki yang memaklumi setiap kunci hotel dan menziarahi setiap kafe-kafe. Kamu
tak mengamini kesakralan perkawinanmu dengan wanita yang terpaksa kamu nikahi
dua tahun lalu lantaran perutnya yang sudah keburu mblendung oleh ulahmu.
Belum cukup itu kamu malah menggaet Susi, teman baikku. Menelanjangi
mimpinya dengan ilusimu, menghapus hasratnya dengan hasratmu, melucuti wanginya
dengan keinginanmu. Dan lantas kamu biarkan dia begitu saja. Hingga sepertinya
tak akan menyesal kamu meninggalkan. Padahal dia datang dengan pengharapan,
seharusnya tak pulang dengan kesia-siaan. Jika dulu kamu pernah mendawuhiku,
“Sesekali waktu berjalanlah di tepi gedung tinggi, dan setiap langkahnya,
ingatlah rambut yang dibelah tujuh.” Maka sekarang kutantang kau, sesekali taruhlah
beling di dalam sepatumu, lalu sambil berjalan ingatlah Shiroth itu.
Sudahlah Sus,
Apa itu air asin yang merembes di
pipimu? Akankah kamu biarkan dirimu terluka terlalu dalam? Sekalipun tiada
engkau sadari, derita yang menyayat luka batinmu adalah buah perbuatanmu, gelap
pandangmu tersebab oleh cahaya penuntun-Nya yang terus engkau padamkan. Sepi
perasaanmu tak lain karena kamu sendiri yang menjauhi risalah-Nya. Kesendirianmu
kini bukan takdirmu tapi buah dari pilihanmu dulu. Seandainya kamu tak
bermain-main dengan lelaki beristri. Ah, kukira penyesalan memang selalu datang
membawa kata seandainya, jika saja, dan andai kata.
Kembalilah. Kembalilah, Sus. Sudahi
penantianmu duduk di kursi panjang depan emperan toko menunggu seseorang yang
tak layak kamu tunggu. Sudahi melankolimu. Pecahkan sendiri jam yang membungkus
kepalamu itu. Bungkuslah kepalamu itu dengan kain syar’i dan kembalilah ke
jalan yang di ridhoi Gusti penguasa alam, yang selalu bersamamu menempati
antara tulang dan nadimu. Ayo, Sus. Bersegeralah! Jangan ditunggu lagi kapan.
Sebelum kau dan aku benar-benar pulang. Karena umur hanyalah cerita singkat
yang akan dipertanggungjawabkan dengan panjang.
Mojokerto, 23 Juni 2017.