Cerpen

Teman Lama

Ahad, 25 Juni 2017 | 04:06 WIB

Oleh Zakky Zulhazmi

Sial. Betul-betul sial. Motorku mogok di tengah jalan dalam perjalanan pulang kampung. Jika motor butut itu mogok di jalan ramai tentu aku akan berlaku biasa saja. Masalahnya, aku sekarang berada di jalanan sepi. Kanan kiri hutan. Benar-benar sunyi. Berangkat selepas sahur, aku sengaja memilih jalan kampung. Jalan utama sudah pasti macet menjelang lebaran seperti ini. Tapi rupanya aku sedang tidak dinaungi keberuntungan. Motor tuaku mati tiba-tiba. 

Aku coba mencari sebab kenapa motorku mogok tapi rasanya percuma. Aku tidak mengerti mesin sama sekali. Kuperiksa tangki bensin. Masih penuh, tentu saja. Sebelum berangkat aku mengisinya. Motor tua itu kutatap dengan tatapan nanar. Dalam hati aku mengumpat. Kini tidak ada yang bisa kulakukan selain bengong. Ingin menghubungi teman juga mustahil. Tak ada sinyal di sini. 

Aku beberapa kali lewat jalan ini jika pulang kampung. Kupilih karena memang sepi dan tak banyak yang tahu jalur alternatif ini. Aku tak pernah mengira akan mendapat musibah seperti ini, di tengah hutan sesepi ini. Sudah kuniatkan untuk berpuasa hari ini, tapi saking kesalnya aku ingin membatalkan puasa saja.

Kuedarkan pandang ke sekitar. Berharap bertemu seseorang yang bisa membantuku. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Nihil. Tempat ini seperti tak berpenghuni. Aku duduk di pinggir jalan. Berharap ada yang lewat. Sekian lama kutunggu tak ada yang melintas. Kuputuskan untuk mendorong motorku. Motor kudorong dengan perasaan gentar. Aku tahu jalan di tengah hutan ini panjang sekali. Aku tidak yakin sampai mana aku kuat mendorong. 

Di bawah pohon trembesi besar aku beristirahat. Angin seolah berhenti berhembus. Matahari membakar. Haus menyerang. Aku ingin minum tapi tak membawa bekal, karena memang yakin kuat berpuasa dan menyangka tak akan mendapat bencana seperti ini. Betul-betul apes. Mimpi apa aku semalam?

Aku nyaris tertidur karena lelah ketika kudengar suara derum motor di kejauhan. Harapan yang nyaris padam menyala kembali. Aku segera bangkit dan mencari sumber suara. Akhirnya pertolongan itu datang, batinku. Benar saja, seorang lelaki dengan sepeda motor melintas di depanku. Segera saja aku hentikan ia.

Namun, alangkah terkejutnya aku manakala menatap lelaki itu. Wajahnya mirip sekali dengan teman kuliahku dulu yang telah lama hilang kabar. 

“Jumain?!” Aku terkejut campur senang.

“Bowo?!” Ia tak kalah terkejut.

“Wah, apa kabar? Kok sendirian di tengah hutan?”

“Haha. Harusnya aku yang tanya kabarmu. Lama sekali kamu menghilang. Teman-teman mencarimu.”

“Hehe. Aku tidak menghilang. Aku di sini saja kok.” 

“Eh, motorku mogok nih. Kamu tahu sendiri aku tidak paham soal mesin. Kamu bisa bantu?”

“Gampang, nanti aku bantu. Main ke rumahku dulu yuk. Dekat kok.”

Tanpa berpikir panjang aku iyakan ajakan Jumain. Aku tidak sedang terburu-buru. Ingin kudengar ceritanya. Kemana saja ia selama ini dan apa yang dilakukannya membuatku penasaran. Dalam perjalanan menuju rumah Jumain aku mengenang kisah Jumain ketika masih kuliah di Jakarta dulu.

Dari sekian banyak kisah Jumain, aku paling ingat kisah ketika Jumain melamar kerja. Waktu itu perekonomian keluarga Jumain memang sedang oleng. Jumain mencari pekerjaan paruh waktu. Di sebuah perusahaan ia dipalak lima ratus ribu oleh bagian HRD untuk bisa diterima kerja. Jumain pulang ke kosan dengan wajah kusam dan amarah di dada. Di ruang tengah ia lepas baju dan rebahan. Ia sambungkan ponselnya dengan kabel speaker dan menaruh dua speaker sebesar apel di dekat kuping. Lagu Slank meluncur dengan volume tinggi. Ia pun ikut menyanyi, lebih tepatnya berteriak. 

Jumain mungkin merasa Jakarta begitu kejam dan hanya lagu-lagu Slank yang bisa mengerti dirinya. Tapi rupanya lagu Slank tidak cukup mengobati dukanya. Seperti kesurupan, lelaki ceking itu tiba-tiba bangkit dan mengumpulkan semua baju kotor yang ada di kosan dan mencucinya! Tentu kawan-kawan kosnya takjub sekaligus memanjatkan syukur. Kapan lagi ada tukang cuci baju gratis mendatangi para pemalas dan menyulap semua baju kotor menjadi bersih?

Namun, ternyata mereka terlampau gembira dan tak membayangkan kemungkinan terburuk. Jumain memang mencuci semua baju dengan sungguh-sungguh lalu menjemurnya, tapi siapa sangka jika hujan turun dan membuat baju-baju setengah kering berbau apak itu harus masuk kos dan menggunung di pojokan, menyiksa penghuni kos seharian. Menjadi melapetaka ketika hujan tak berhenti selama berhari-hari dan bau apak betah bertahan di dalam kosan. 

Jumain mulanya tidak satu kos dengan kami. Ia datang ke kosan kami lantaran permainan kartu tak seru jika dimainkan dua tiga orang belaka. Jumain datang ke kosan kami mulanya untuk bermain kartu. Lama-lama ia merasa betah dan bergabung bersama kami. Kami senang-senang saja, karena semakin banyak penghuni kos semakin ringan kami membayar uang sewa. Tapi lama-lama Jumain jadi sering terlambat membayar uang kos. Konon, uang sakunya kerap ludes di rumah bilyar. 

Aku masih ingat, dulu jika ada acara pembacaan puisi di kampus, Jumain pasti tampil. Debut pertamanya baca puisi adalah saat peringatan sepuluh tahun reformasi di kampus kami. Ia baca sajak-sajak Wiji Thukul. Selanjutnya ia adalah “perwakilan kami” dalam acara baca puisi. Termasuk dalam demo-demo bayaran yang sering kami ikuti, Jumain juga akan baca puisi. Kelak, adik-adik tingkat kami akan mengenang dengan bangga sekaligus miris istilah ini: “Panggung Jumain”.

Salah satu “Panggung Jumain” yang paling kuingat adalah saat seorang senior kami di organisasi mahasiswa mengajak kader-kader muda datang ke sebuah seminar di Hotel A. Para kader tentu bersemangat. Terbayang makan enak dan uang saku yang akan didapat. Tapi, sialnya, mereka tertipu. Senior brengsek itu bukan membawa mereka ke acara seminar di hotel, tapi justru turun aksi di depan pengadilan membela salah satu kubu di PSSI yang tengah berkonflik, di tengah guyuran hujan lebat pula. Karena kesal Jumain maju ke depan, baca puisi pakai megaphone dengan lantang dan membara. Seingatku ia lebih banyak mengumpat saat baca puisi kala itu.

Beberapa hari setelah pembacaan puisi yang menyedihkan itu, kawan-kawan selalu memekik “PSSI Harga Mati!” sambil mengepal tangan saban berpapasan dengan Jumain. Semata-mata untuk mengejeknya. Dan Jumain hanya bisa mengumpat dan memaki. Dan teman-temannya itu cekikikan tak mau berhenti.

Jumain lulus semester 14, lalu pulang kampung. Banyak yang bilang ia diminta mengajar di sebuah SMP di kampungnya. Ada yang bilang ia sudah hidup sejahtera dan jadi juragan sapi. Ada juga yang berkabar Jumain jadi dukun kondang di kampungnya. Tak ada yang pasti. Tak satupun nomor ponselnya yang bisa dihubungi. Semua tentang Jumain adalah teka-teki.

*

Dan di sinilah aku sekarang, di rumah Jumain di tengah hutan. Tak ada rumah lain di sini selain rumah Jumain. Sebuah rumah panggung yang tak besar-besar amat. Mulanya aku ragu untuk masuk ke dalam rumah. Aku bertanya-tanya apa yang dilakukan Jumain di tengah hutan seperti ini? Untuk apa ia membangun rumah di tengah hutan? Semua pertanyaan itu kusimpan lebih dulu, karena Jumain datang dengan teko berisi air putih.

“Kamu musafir kan? Boleh tidak puasa kan? Hehe. Aku tahu kamu haus.”

“Aku sebetulnya sudah niat puasa hari ini. Tapi mendorong motor di bawah terik matahari ternyata bikin haus. Hehe.”

Aku minum seperti kesetanan. Antara haus dan kesal akibat motor mogok. Untung ada Jumain, pikirku. Sebuah kebetulan yang berlapis. Kebetulan ada penolong  dan penolong itu adalah seorang teman lama yang sudah sekian tahun tak bertemu. Karena lama tak bersua, cerita-cerita mengalir tak sudah-sudah. Bagaimanapun kami pernah sama-sama merantau ke Jakarta dan hidup bersama. 

Jumain menawariku makan dan istirahat sejenak sebelum aku melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi tawaran itu kuiyakan. Setelah bangun tidur, aku pamit. Hari sudah sore. Jumain mengantarku ke tempat aku memarkir motor. Ia keluarkan peralatan dan mulai memeriksa motorku. Ajaib, tak sampai sepuluh menit motorku sudah kembali normal. Tangan dingin Jumain memang bisa diandalkan. Aku berkali-kali mengucap terima kasih.

Setelah memastikan motorku sudah benar-benar bisa dikendarai, aku langsung tancap gas. Beberapa meter berjalan, aku berhenti. Aku lupa sama sekali belum meminta nomor ponsel Jumain. Namun, ketika menengok ke belakang Jumain sudah tidak tampak. Mungkin tadi ia langsung pulang ke rumah. Aku urung untuk kembali. Toh aku sudah tahu letak rumahnya. Kapan-kapan aku mampir lagi. 

Aku tiba di rumah ketika ketika orang-orang pulang dari masjid selepas salat tarawih. Segera saja aku mandi dan makan malam. Setelah bercakap sekadarnya dengan orang tua, aku duduk-duduk di teras. Cari angin. Mataku nyaris terpejam karena kantuk dan semilir angin ketika ponselku berdering. Kaka menelepon. Ia teman kuliahku dulu. Setelah berbasa-basi, ia lantas menyampaikan sebuah kabar.

“Kamu sudah dengar kabar Jumain? Dia meninggal, seminggu yang lalu.”

“Jumain?! Meninggal?!”

“Iya, Jumain teman kita yang penyair itu, yang sudah lama menghilang dan tidak ada kabar. Menurut saudara jauhnya, Jumain selama ini bekerja sebagai polisi hutan. Ia meninggal diterkam macan ketika sedang bertugas. Kasihan sekali.”

Mendadak aku kehilangan kata-kata. Jika berita itu benar, lalu siapa orang yang kutemui dan menolongku di hutan tadi siang?



 


Terkait