Oleh Su’udin Aziz
Lampu neon 15 watt menebar cahaya ke berbagai sudut gubuk yang tidak luas dan sederhana, tapi punya nilai klasik yang sulit diukur. Tidak ada balutan semen atau batu bata pada dinding maupun lantainya. Semua dari 'belabak' yang kayunya juga hasil sumbangan dari masyarakat sekitar. Warga mengenalnya dengan nama gubuk Kiai Kholil, lantaran dulu dialah yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Malam semakin larut. Jarum jam menunjukkan angka 22.30. Tapi Gus Dakhlan belum juga menapakkan kaki di gubuk. Gus Dakhlan dan wan Hasyim 'nyantri' di gubuk itu sejak tahun lalu di bawah asuhan Kiai Hamdi. Ia pribadi santun nan bersahaja yang tak kenal kata menyerah dalam 'nasyru-l ilmi ' meski muridnya baru dua orang.
"Wan..., kamu baca buku apa malam ini?" suara Gus Dakhlan mengagetkan Wan Hasyim yang dari pukul 21.00 tadi khusyuk membaca buku karya salah satu ulama ternama Mesir, Dr. Yusuf Qardhawi.
"Ini Gus, buku apik tentang Imam al-Ghazali (antara pemuja dan pengritik beliau).”
Selain Minggu malam dan Rabo malam, gubuk tersebut memang tidak ramai, hanya Gus Dakhlan dan Wan Hasyim yang nyantri dan tinggal di sana. Orang-orang kampung sebenarnya mendorong Kiai Hamdi untuk menjadikan gubuk sebagai pesantren atau pondok pesantren, tapi Kiai Hamdi menolak.
"Membangun dan mangku pondok pesantren itu tak semudah membangun rumah, kiai-kiai dahulu santri-santrinya hebat karena pesantrennya dipangku seorang kiai yang ahli tirakat dan wira'i. Sementara saya belum kuat pada level itu," terang Kiai Hamdi suatu ketika menjawab usulan masyarakat sekitar.
"Buat kopi Gus, mumpung malam ini kita tidak ada ngaji sama Kiai Hamdi karena beliau sedang 'ngruwat' di tetangga, kita diskusikan saja buku apik ini dan kita korelasikan dengan realitas dewasa ini," pinta Wan Hasyim kepada Gus Dakhlan.
Dua murid ini saling menghormati. Gus Dakhlan adalah putra seorang kiai thoriqoh, sedangkan Wan Hasyim masih keturunan Nabi Muhammad dari jalur Imam Husein dan bermarga Basyaiban.
"Baik Wan, saya rebus air dulu." Gus Dakhlan bergegas ke dapur gubuk. Beberapa menit kemudian kembali ke depan Wan Hasyim dengan segelas kopi panas.
"Mari Wan kita diskusi. Bagaimana Wan?"
Imam Ghazali, di balik nama besarnya dengan gelar prestisius "hujjatul Islam " adalah sosok ulama yang tidak sepi dari kritik. Al-Qardhowi menuliskannya dalam sebuah karya apik ini.
Wan Hasyim memulai diskusinya dan Gus Dakhlan terpukau dengan penjelasan Wan Hasyim.
"Terus kaitannya dengan realitas dewasa ini bagaimana, Wan? Sekarang ini banyak tokoh Indonesia baik dari kalangan 'habaib' dan kiai yang dicela, bahkan dilecehkan ya Wan?"
“Nah, itulah Gus yang ingin saya perbincangkan malam ini. Mari diminum dulu kopinya Gus.”
“Oh iya, Wan, Kiai Hamdi juga pernah sedikit menjelaskan isi muqaddimah pada buku itu, ‘dawuh’ beliau selevel al-Ghazali saja ada yang menyukai sampai pada tingkatan kultus, ada pula yang mencerca sampai pada pembunuhan karakter bahkan menganggap bahwa al-Ghazalilah yang bertanggung jawab atas kemunduran orang Islam dan seterusnya.”
Tak terasa kopi buatan Gus Dakhlan telah mereka minum separuh gelas. Lokasi gubuk yang terletak di atas tanah bekas kebun yang menjadikan suasana diskusi dibarengi ‘ngopi’ mereka lebih ‘gayeng’. Gubuk Kiai Kholil memang didirikan salah satu cucu beliau, Kiai Hamdi, di sebelah rumah yang masih dikelilingi pepohonan hijau. Saat sore Gus Dakhlan dan Wan Hasyim sering ‘lalaran ’ Al-Qur’an di belakang gubuk sambil memandangi penghijauan sekitar gubuk.
“Dewasa ini kita kudu mengedepankan etika dalam menyikapi realitas yang ada. Misal kasus akhir-akhir ini, ada seorang habib yang meski sudah pada level profesor di bidang tafsir dan sudah banyak berkontribusi kepada masyarakat diklaim berfaham sesat oleh beberapa kalangan. Bahkan yang mengagetkan tak jarang klaim tersebut dari kalangan pesantren. Ada juga habib yang dakwahnya keras sehingga tak sedikit yang tidak suka dengan model dakwah beliau kemudian mengecam. Ada lagi gus, seorang kiai besar negeri ini dilontari kata yang berkonotasi sangat merendahkan ‘ndasmu’. Saya jadi teringat ungkapan orang tua dahulu. Begini: "Di belahan dunia manapun, kamu akan menemukan dua jenis orang, yang suka kepadamu dan yang tidak suka kepadamu”."
“Jadi wajar kan Wan jika ada yang suka dan tidak suka?!” potong Gus Dakhlan.
“Saya kemarin juga sempat mendengarkan nasehat Kiai Hamdi waktu menasehati tamu Wan, “ulama itu (baik dari golongan habaib atau bukan) adalah pewaris para Nabi, yang mereka warisi bukan hanya akhlak mulia beliau tapi juga umpatan-umpatan bahkan gangguan dari lawan-lawan beliau.Jadi jangan heran jika ada kiai atau habaib yang dicela-cela sama umat, karena memang itu juga merupakan warisan dari Nabi,” begitu kata Kiai Hamdi kepada tamu diiringi tawa-tawa kecil.
Lantas, kita kudu bagaimana, Wan?" tanya Gus Dakhlan.
“Kita harus 'adil' dan 'sak madya mawon' artinya tidak suka pada hal yang berbeda adalah hal biasa, jangan kemudian menutup mata atas kebaikan pada hal yang tidak kita sukai tadi”.
"Silakan kopinya, Wan," Gus Dakhlan menyela dengan mempersilakan Wan Hasyim.
"Kopinya mantab Gus, pinter ngracik Gus, sampean," balas Wan Hasyim.
Gus Dakhlan semakin tertarik dengan penjelasan Wan Hasyim.
“Di Indonesia ini jam’iyyah yang kita ikuti kan NU, Wan, karena memang Kiai Hamdi adalah pengurus NU di tingkat pimpinan cabang dan ajaran-ajaran kiai juga orang tua kita berhaluan Ahlussunnah wal-Jamaah an-Nahdliyyah . Nah, yang ingin saya tanyakan: terhadap dua habib di atas kan banyak kalangan pimpinan NU yang pro-kontra terhadap pemikiran dan metode dakwah, kita harus ikut yang mana wan?”
“Begini Gus, pertama, kita tahu sebagaimana al-Ghazali dalam buku ini, selalu saja ada pihak yang mendukung dan mengritik pemikiran dan cara dakwah habaib yang berbeda-beda. Itu maklum, tapi jangan sampai kita lupa bahwa keturunan Nabi secara nasab tetaplah unggul karena di dalam dirinya mengalir darah Rasulullah, urusan amal dan tindakannya ya urusan lain. Artinya jika kita tidak setuju dengan pemikiran atau cara dakwah yang menurut kita tidak sesuai dengan ajaran hadlratusy syaikh Hasyim ya silakan saja kita tolak dengan tidak menutup mata bahwa pasti ada sisi positif dari pikiran atau model dakwah tersebut.”
“Yang kedua Gus, eh sebentar 'nyeruput' kopi dulu Gus. Kedua, kondisi saat ini adalah kondisi rawan 'gasakan' Gus, umat sangat mudah diadu dengan informasi-informasi yang belum jelas, NU yang yang usianya genap 91 tahun selain banyak yang suka tak sedikit pula yang tidak suka. Yang tidak suka selalu mengembuskan aroma kebencian bahkan seakan-akan berstatemen: musuhi NU, atau kalian saya musuhi.”
“Kita kudu dewasa, ketika NKRI ini sudah disepakati oleh para pendiri jam’iyyah NU kita kudu merawatnya, jika ada yang merongrong keutuhannya ya harus kita tentang, jika misalnya, sekali lagi misalnya, yang merongrong dari kalangan habaib dengan dakwah dengan model anarkis ya penolakan kita tidak dengan merendahkan beliau-beliau itu, tetep saja beliau-beliau wajib kita hormati, ya semoga saja para habib dan kiai-kiai tidak demikian.”
Wah Hasyim terus melanjutkan.Tapi di tengah diskusi itu, Kiai Hamdi muncul dan tiba-tiba memotong percakapan mereka.“Kalian jangan lupa shalat malam, taubat kepada Tuhan," suara Kiai Hamdi.
Tak terasa hari sudah menjelang pagi.
"Saya tadi bermimpi, Gus Dakhlan jadi ketua tanfidziyah NU wilayah, sementara Wan Hasyim jadi pengurus ranting NU desa ini. Dalam mimpi tersebut saya juga ditemui Gus Dur. Beliau menyampaikan bahwa dulu kakek beliau jauh sebelum Indonesia ini merdeka yakni pada tahun 1914 sudah mempunyai visi misi untuk menyatukan Islam dan nasionalisme karena untuk menyatukan umat tidak hanya cukup dengan Islam, melainkan juga kudu disertai jiwa nasionalisme. Oleh karena itu pada 20 Oktober 1945 Mbah Hasyim Asyari melalui Resolusi JIHAD menyatakan bahwa membela tanah air hukumnya fardlu ain. Sama dengan wajibnya shalat, tanpa pandang bulu. Nanti usai subuh kita baca tahlil untuk para pendiri NU juga Gus Dur.Sekalian jamaah ngaji taqrib dan kitab riyadush sholihin kalian hubungi semua, besok kita syukuran harlah NU ke-91,” ujar Kiai Hamdi.
Kedua santrinya kemudian menyalami beliau dengan tawadlu .
Penulis adalah Asisten Direktur Aswaja NU Center PCNU Bojonegoro