Barongsai di Aceh, Tak Hanya Milik Warga Tionghoa, Anggota Berisi Remaja Lintas Agama
Rabu, 6 November 2024 | 19:45 WIB
Penampilan tim penabuh alat musik pengiring Barongsai di Peunayong, Banda Aceh pada perayaan Imlek, Ahad 22 Januari 2023 lalu. (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)
Siapa sangka, tarian barongsai yang identik dengan perayaan Imlek dan budaya Tiongkok, kini menjadi salah satu simbol keberagaman dan toleransi di Aceh, sebuah provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Berawal dari inisiatif sebuah LSM pada tahun 2011, barongsai telah berkembang pesat dan melibatkan berbagai kalangan, termasuk pemuda Muslim Aceh.
Sejumlah tropi dan medali tertata rapi disudut ruangan persegi gedung Yayasan HAKKA Aceh yang terletak di Peunayong, Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh, beberapa medali juga digantung pada leher tropi berbentuk singa. Semua itu milik grup Barongsai Aceh, sudah banyak prestasi yang berhasil dicapai.
Di balik gemilang prestasi, pelatih Barongsai Aceh A Chong Lee menceritakan awal mula perjalanan barongsai di Aceh. Ia menyebutkan kehadiran Barongsai di Aceh tidak langsung diterima masyarakat Aceh sebab masih dianggap sebagai budaya baru.
"Ini mungkin karena mereka belum kenal kami dan pada saat itu memang baru sekali di Aceh," kata A Chong ditemui di kantor Yayasan HAKKA Aceh, Selasa (5/11/2024).
Meski diawal, kata A Chong, jika ada pertunjukan Barongsai dalam setiap event pasti dikaitkan dengan penampilan budaya China namun tak berlaku lagi untuk saat ini, masyarakat Banda Aceh sudah legowo.
"Pada awalnya, kami hanya beberapa orang yang berlatih. Namun, seiring berjalannya waktu, minat masyarakat semakin besar. Bahkan, banyak pemuda Muslim yang tertarik untuk bergabung," tambahnya.
Salah satu hal yang paling menarik dari barongsai di Aceh adalah keberagaman anggotanya. Tidak hanya etnis Tionghoa, tetapi juga suku Aceh, serta pemeluk agama Kristen, Katolik, dan Islam bergabung dalam satu tim. Bahkan, saat ini, sekitar 65% anggota tim barongsai Aceh adalah Muslim, mereka memiliki peran yang berbeda-beda dalam pertunjukan Barongsai mulai dari pemain naga, musik dan lainnya.
Uniknya, di Aceh, barongsai tidak hanya dipandang sebagai pertunjukan budaya, tetapi juga sebagai olahraga. Hal ini terlihat dari terbentuknya Federasi Barongsai Indonesia di Aceh pada tahun 2013.
"Kami ingin menghilangkan stigma bahwa barongsai hanya milik etnis Tionghoa. Kami ingin membuktikan bahwa barongsai bisa menjadi olahraga yang dinikmati oleh semua orang, tanpa memandang suku atau agama," tegas A Chong Lee.
"Untuk bergabung dengan tim Barongsai kami tidak memandang suku, agama atau apapun yang penting dia mau belajar dan disiplin," terang A Chong.
Seperti kisah Ratih, A Chong Lee menceritakan perjalanan panjang seorang atlet Barongsai Muslim yang berhasil tampil dalam pertandingan Barongsai di Tiongkok pada 2019 lalu. Ia mengungkapkan pada saat pertandingan berlangsung, Ratih tidak diperbolehkan menghilangkan jati dirinya sebagai Muslim bahwa sebagai Muslim dia tidak boleh melepaskan hijab dan tetap harus menutup auratnya meski saat itu dia berada di daerah yang mayoritas Tionghoa.
"Sepanjang pertandingan Ratih tetap mengenakan hijabnya saya pun tidak memperbolehkan dia melepasnya bahkan dan kami sangat bangga dengan dirinya," cerita A Chong Lee
Dalam pertandingan tersebut, kata A Chong lee bukan hanya membawa peserta Muslim ikut ditampilkan dalam pertandingan itu, namun juga memperkenalkan budaya Aceh melalui pakaian yang digunakan peserta dan modifikasi tarian seperti memasukkan tarian Seudati dalam pertunjukan Barongsai tersebut.
Meskipun telah banyak pencapaian yang diraih, masih ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh para pecinta barongsai di Aceh. Salah satunya adalah kurangnya kesadaran masyarakat di beberapa daerah tentang barongsai. Selain itu, mendapatkan izin dari keluarga untuk berlatih barongsai juga masih menjadi kendala bagi beberapa orang.
Namun, A Chong Lee tetap optimis. "Saya yakin bahwa dengan terus melakukan sosialisasi dan pembinaan, barongsai akan semakin diterima oleh masyarakat Aceh. Kami ingin menjadikan barongsai sebagai salah satu ikon toleransi di Indonesia," ujarnya.
Di sisi lain salah seorang masyarakat Banda Aceh, Fitri menyebutkan setuju jika tarian Barongsai sebagai lambang toleransi dan keberagaman di Aceh. Sebab dalam tarian Barongsai ini adalah menampilkan kebudayaan meski bahkan tidak ada ritual keagamaan di dalamnya meski diawal itu milik warga Tionghoa.
"Ia memang ada toleransi disana dan juga keberagaman, pemainnya saja bukan hanya orang China saja tidak ada perbedaan suku dan agama disana. Saya melihat mereka pure pertunjukan budaya," ungkap Fitri.
Kata Fitri, saat ini jika imlek tiba beberapa masyarakat Banda Aceh juga menanti pertunjukan Barongsai. Biasanya beberapa sudut Peunayong sudah disesaki masyarakat yang ingin menyaksikan penampilan Barongsai dalam kemeriahan Imlek di Aceh.
"Kalau Imlek yang ditunggu itu pertunjukan Barongsai, itu penontonnya mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Juga kami biasanya sering berswafoto dengan naga dan pemain Barongsai lainnya," tutup Fitri.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI