Ketua Pengurus Cabang (demisioner) ISNU Jember, Ustadz H Hobri (pakai songkok hijau) Ali Wafa berpose bersama usai usai menjadi khotib dalam shalat Idul Adha di masjid Raudlatut Thalibin
Jember, NU Online
Kebiasaan berkurban perlu terus didorong, khususnya bagi kalangan berpunya. Sebab, tradisi berkurban selain mampu menciptakan keguyuban di tengah-tengah masyarakat, juga bisa mereduksi ‘kecurigaan’ antara yang miskin dan yang kaya (yang berkurban). Sehingga dari situ harmonisasi kehidupan bisa tercipta.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Pengurus Cabang (demisioner) ISNU Jember, Ustadz H Hobri Ali Wafa saat menjadi khotib dalam shalat Idul Adha di masjid Raudlatut Thalibin Universitas Islam Jember, Jawa Timur, Ahad (11/8).
Menurutnya, tradisi berkurban diperlukan bukan untuk sekadar untuk berbagi daging sapi atau kambing tapi dalam jangka panjang dapat memupuk kerukunan dan keguyuban antar anggota masyarakat.
“Itu meneguhkan solidaritas sesama muslim, sebangsa, dan setanah air serta dapat meningkatkan sifat filantropi atau kedermawanan umat Islam,” tukasnya.
Koordinator Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Jember itu memaparkan profil Nabi Ibrahim sebagai sosok yang patut diteladani oleh umat manusia. Katanya, ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah ditempatkan di atas segala-galanya. Tidak ada yang melebihi kecintaan dan ketaannya kepada Allah. Hal ini bisa dilihat dari kerelaannya untuk menyembelih puteranya, Nabi Ismail, semata-mata karena tunduk kepada perintah Allah.
“Anak adalah belahan jiwa. Apalagi bagi Nabi Ibrahim yang sudah begitu lama mendambakan anak, namun setelah besar ternyata diminta oleh Allah untuk dikurbankan. Ini luar biasa,” urainya.
Begitu juga Nabi Ismail, kecintaannya kepada Allah dan menuruti perintahnya adalah puncak dari segala kebahagiannya. Dikatakan Ustadz H Hobri, Nabi Ismail bukan tidak punya pilihan saat Allah memerintahkan ayahnya, Nabi Ibrahim untuk menyembelihnya. Sebab saat itu, Nabi Ibrahim masih bertanya terkait kesiapan puteranya itu untuk menerima perintah Allah atau tidak. Ternyata jawaban Nabi Ismail adalah setuju dengan perintah Allah itu.
“Jadi Nabi Ismail bukan tidak puya pilihan. Kalau dia mau ‘kan bisa menolak, karena ayahnya meminta pendapat (setuju atau tidak) Nabi Ismail terkait perntah itu, setuju atau tidak,” jelasnya.
Pewarta : Aryudi AR