94 tahun berdirinya NU membawa kisah tersendiri, khususnya warga Lasem. Sosok Mbah Ma’shoem begitu erat dengan perjuangannya di NU kala itu. Bahkan, hingga kini perjuangan beliau banyak dirasakan sekaligus diteladani masyarakat setempat.
Hal tersebut dikatakan Wakil Rais Syuriah PCNU Lasem Rembang, KH Ahmad Zaim (Gus Zaim) kepada NU Online, Jumat (31/1). “Jawa Tengah menjadi daerah perjuangan Mbah Ma’shoem dalam menyebarkan paham NU Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jadi, tidak hanya Lasem, daerah tempat tinggal beliau saja,” ujar Gus Zaim.
Bersama ulama Lasem lainnya, KH Baidlowi dan KH Kholil, sebagai pemberi dana dalam pembentukan NU. NU di Lasem, lanjut Gus Zaim, mulai diperjuangkan dan dikokohkan beberapa hari setelah NU didirikan oleh Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari di Surabaya Jawa Timur.
“Mbah Ma’shoem bersama Mbah Baidlowi dan Mbah Kholil berperan dalam membentuk NU di Jawa Tengah. Sebagai penyandang dana, Mbah Kholil sendiri. Pembentukannya hanya beberapa hari setelah NU berdiri,” tutur Gus Zaim.
Gus Zaim menambahkan pendirian NU Lasem segera diinisiasi oleh Mbah Ma’shoem setelah menghadiri peresmian organisasi NU yang dideklarasikan pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M di Surabaya. Mbah Ma’shoem datang bersama KH Kholil Masyhuri sebagai perwakilan Lasem.
Baca juga: Gus Zaim Lasem Ungkap Pentingnya Ijazah Kitab Klasik
NU di Lasem, lanjut cucu Mbah Ma’shoem ini, berdiri sebagai cabang ke 11. Namun, waktu itu belum terdapat istilah cabang. Keberhasilan membentuk NU di Lasem membuat Mbah Ma’shoem memerintahkan pendirian NU di beberapa daerah lainnya seperti di Rembang. Sehingga Mbah Ma’shoem memiliki peran dalam pembentukan cabang-cabang NU di wilayah Jawa Tengah.
“Setelah NU berdiri di Lasem, Mbah Ma’shoem tidak lantas melepas begitu saja. Perjuangan beliau dalam menghidupkan NU terus dilakukan. Terlihat saat Mbah Ma’shoem mendatangi para santrinya yang sudah boyong (lulus) dari pondok sembari memerintahkan untuk mendirikan NU di daerahnya masing-masing. Melalui jaringan alumni pesantren, NU bisa turut hadir di tengah-tengah masyarakat", terang Gus Zaim.
Menurut, Pengasuh Pesantren Kauman Lasem ini, selama hidupnya Mbah Ma’shoem selalu mengabdikan dirinya di NU dengan menghadiri setiap Muktamar NU. Kecuali hanya sekali Muktamar di Cirebon tahun 1931 karena berhalangan.
“Bahkan, Mbah Ma’shoem pernah berpesan ‘Aku ora ridlo yen ono anak putuku sing ora NU’ (Aku tidak rela jika ada anak cucuku yang tidak NU). Harapan besar beliau NU selalu dibawa dan dibesarkan oleh anak, cucu, termasuk para santri beliau,” ungkapnya.
Gus Zaim mengingatkan, perjuangan Mbah Ma’shoem mendirikan dan memperjuangkan NU menjadi semangat tersendiri khususnya bagi keluarga dan masyarakat dalam menyampaikan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah yang diyakini kebenarannya. Torehan sejarah ini dapat dijadikan pembelajaran untuk meniru dan memegang teguh NU.
Dalam buku Manaqib Mbah Ma’shoem Lasem (2013), beliau memberikan nasihat yang banyak diingat oleh warga NU. Yaitu: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab, membenci NU berarti membenci padaku. NU itu saya yang mendirikan bersama ulama yang lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhammadiyah. Jangan pula benci pada PNI dan partai-partai yang lain.”
Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori