Dijuluki Kampung Toleran, Masjid dan Gereja di Desa Ngrimbi Berdiri Berdampingan
Selasa, 12 November 2024 | 12:00 WIB
Masjid Al Hidayah dan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mutersari berdampingan di Dusun Mutersari, Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. (Foto: NU Online/Rifatuz Zuhro)
Seperti tak akan habis mengulik keberagaman di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Salah satunya adalah ketika hendak melakukan perjalanan wisata ke Wonosalam, kita akan melewati suatu dusun yang dijuluki Kampung Toleran. Dusun tersebut adalah Dusun Mutersari, Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang.
Sinar matahari yang cukup terik menyambut mobil dan sepeda yang lalu lalang dengan suara bisingnya. Seperti itulah suasana yang tergambar saat penulis berhenti di depan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mutersari yang berdampingan dengan Masjid Al Hidayah. Penulis bertemu seorang tetangga gereja yang akrab disapa Pak De Nyat. Sambutannya yang ramah membuat percakapan mencair. Ia juga tak segan mengantarkan ke Pendeta GKJW Mutersari yang kediamannya terletak di belakang GKJW Mutersari.
Pendeta muda itu ialah Pendeta Anggrani Mahardini. Ia bertugas sejak tahun 2021 di GKJW Mutersari, Desa Ngrimbi hingga sekarang. Gereja yang telah ada sebelum Indonesia merdeka tersebut diperkirakan dibangun sekitar tahun 1914. Sedangkan Masjid Al Hidayah yang berada persis di samping halaman gereja dibangun sekitar 1967.
Menurut perempuan berambut pendek yang ditugaskan di GKJW Mutersari pada tahun 2021 ini menuturkan salah satu yang menjadi kekuatan adanya rasa toleransi beragama yang tinggi adalah karena masyarakat di sekitar Masjid Al Hidayah dan Gereja Mutersari selain mereka beragama, mereka juga berbudaya.
"Artinya selain mereka beragama yang melaksanakan agamanya baik itu Kristen maupun muslim tapi yang lebih juga saya rasakan adalah mereka berbudaya Jawa," jelas Anggraini ditemui Sabtu (9/11/24).
Menurutnya, budaya orang Jawa sangat mengedepankan harmoni, sangat mengedepankan kehidupan yang selaras dan seimbang. Sehingga apapun baju agamanya dapat hidup berdampingan dengan rukun dan baik-baik saja. Karena filosofi hidup orang Jawa adalah nrimo ing pandum yang artinya tulus menerima segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa, termasuk dengan segala perbedaannya.
Pdt Anggrani menyebut bahwa persoalan cara beragama masyarakat di desa tersebut dapat beragama secara dewasa. Meski masyarakat Kristen lebih dulu bermukim dan mendirikan Gereja, namun mereka tetap terbuka dengan keyakinan agama yang lainnya untuk hidup berdampingan di Dusun Mutersari.
"Beragama ya beragama, tapi kalau ketika bertetangga bermasyarakat kita melebur saja. Dalam acara apapun. Misalnya ada acara resmi di desa kami selalu diundang, kami tidak pernah ditinggal. Apapun itu kami selalu dilibatkan. Apapun itu kami selalu dirangkul," terangnya.
Bahwa selain nilai-nilai agama, juga nilai-nilai budaya itu sangat mewarnai dan sangat menghidupi relasi masyarakat. Maka menjadi hal yang biasa dan lumrah ketika Gereja dan Masjid berada di satu pagar. Pada kegiatan-kegiatan keagamaan juga tidak jarang mereka saling membantu menyukseskan maupun sekadar memeriahkan.
Misalnya pada perayaan Hari Raya Idul Fitri, pemuda gereja akan membantu menjaga parkir. Selain itu, saat bagi-bagi takjil, buka bersama saat Puasa Ramadhan, saudara Muslim juga mengundang pihak GKJW Mutersari. Menurutnya, budaya orang Jawa yang selalu mengundang tetangganya ketika ada hajatan adalah salah satu "unggah-ungguh" yang melekat sebagai karakter masyarakat Jawa.
Begitu juga ketika Perayaan Natal, pihak Gereja juga mengundang saudara-saudara Muslim dan mau datang. "Ada kegiatan bagi-bagi door prize yang dapat itu kadang-kadang teman kita yang Muslim," ujar perempuan yang sebelumnya berkhidmat di GKJW Krembung, Sidoarjo.
Tahun ini, pihak Gereja, lanjutnya, mengadakan Hari Raya Unduh-Unduh. Hari Raya Unduh-Unduh atau hari raya persembahan, mengunduh hasil bumi apapun bentuknya sebagai wujud syukur kepada Tuhan yang telah menyuburkan bumi dengan segala kasih-Nya kepada manusia. Begitupun juga tiga tahun yang lalu, GKJW Mutersari mengadakan Pagelaran Wayang dengan tema "Gereja Berbudaya". Menurutnya, saudara-saudara muslim juga ikut dilibatkan dan membantu persiapan acara.
Ketika ia masih di GKJW Krembung Sidoarjo, ia juga menemui hal yang sama. Jika di Dusun Mutersari Desa Ngrimbi terdapat Masjid dan Gereja yang berdampingan, jika di GKJW Krembung Sidoarjo juga berhadapan dengan masjid.
Pdt Anggrani yang juga mengagumi sosok Gus Dur ini menyebut bahwa semangat Gus Dur lah yang menjadi pelecut. "Seperti semangatnya Gus Dur sih ya, yang paling tinggi di atas semuanya adalah kemanusiaan. Ya itu yang dihidupi betul. Pakaian semua orang bisa macam-macam, latar belakang, budaya, suku tapi sama saja manusia. Itu yang harus dihidupi," tegas perempuan berambut pendek ini.
Pada tahun 2022, Gereja tersebut juga pernah dikunjungi oleh Nyai Hj Sinta Nuriyah, istri Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang hadir di GKJW Mutersari pada acara buka puasa bersama lintas agama.
Dihubungi terpisah, Rini Fareza Sari yang juga warga Desa Ngrimbi, mengatakan bahwa masyarakat desa tersebut sudah sejak lama hidup berdampingan. Hal tersebut juga nampak dibuktikan dengan adanya gapura masuk dusun Mutersari yang tertera tulisan "Kampung Toleran".
"Ini di gerbang masuk dusun Mutersari terdapat gapura Toleransi yang terdapat simbol kubah masjid dan simbol salib," jelas guru mapel Agama Islam SMPN 2 Mojowarno ini.
Menurutnya, Gapura Toleransi, rumah ibadah yang berdekatan adalah bentuk kedekatan fisik. Namun, kedekatan yang sebenarnya adalah kedekatan rasa kemanusiaan yang telah diwariskan lama oleh nenek moyang mereka.
"Di tetangga desa juga terdapat Candi Rimbi, yang menjadi simbol adanya agama Hindu di kawasan Kaki Gunung Anjasmoro. Meski terletak di Desa Pulosari, namun nama candi tersebut menunjukkan kedekatan dengan masyarakat Desa Ngrimbi yang memakai nama Candi Rimbi yang diambil dari nama Dewi Arimbi," pungkasnya.
Karakteristik masyarakat Jawa yang masih lekat dengan warisan budaya inilah yang kemudian masih memberikan kesinambungan meskipun pada realitasnya masyarakat Jawa tidak hanya memeluk satu keyakinan. Hidup berdampingan seperti itu terlihat biasa-biasa saja, namun kedamaian yang dihasilkan tentu tidak terjadi begitu saja. Butuh pemeliharaan dari semua pihak untuk terus menjaga kerukunan antar umat beragama.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI