Fatayat NU dan IPNU-IPPNU DIY Gelar Diskusi Bahas Tata Kelola Sampah dan Perubahan Iklim
Senin, 28 Oktober 2024 | 15:00 WIB
Fatayat NU berkolaborasi dengan IPNU-IPPNU DIY menggelar peringatan Hari Santri dengan diskusi tentang lingkungan membahas tata kelola sampah hingga perubahan iklim, pada Ahad (27/10/2024). (Foto: dok. panitia)
Yogyakarta, NU Online
Pimpinan Wilayah (PW) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) berkolaborasi dengan PW Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) menggelar diskusi lingkungan bertema Peran Ormas Keagamaan dalam Memperjuangkan Kelestarian Lingkungan.
Acara yang digelar dalam rangka memperingati Hari Santri 2024 ini dilaksanakan di Kampung Mataraman, Yogyakarta, pada Ahad (27/10/2024).
Kepala Desa Panggungharjo, Bantul, Wahyudi Anggoro Jati menyampaikan tentang tata kelola sampah yang baik. Menurutnya, harus dilakukan dengan tiga cara yakni penanganan di hulu, tengah, dan hilir.
"Mendesain ulang tata kelola sampah, sistem yang baik, peningkatan kesadaran akan pentingnya mengelola sampah yang baik," kata Wahyudi, melalui rilis yang diterima NU Online, Senin (28/10/2024).
Menurutnya, persoalan sampah tidak bisa diserahkan hanya kepada pihak swasta, masyarakat, atau pihak pemerintah saja tetapi harus ada kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
"Perubahan iklim dan lingkungan ini seharusnya mendorong momentum untuk perubahan perilaku hidup masyarakat yang lebih bersih, disiplin dan tertib. Kita membutuhkan perbaikan infrastruktur politik, ekonomi, sosial, dan teknologi," kata Wahyudi.
Tantangan atas pengelolaan sampah ini, lanjutnya, sangat tidak mudah dan membutuhkan kerja keras dari berbagai pihak dengan fasilitasi insentif dan disinsentif.
"Sekarang krisis sampah, lima tahun lagi krisis air, sepuluh tahun lagi krisis pangan. Kita harus menyiapkan itu sejak sekarang dengan basis komunitas pangan yang sehat. Pendekatan UHC seolah-olah negara baik hati tetapi itu tidak lepas dari industri kesehatan. Basis strategi pangan yang sehat dan kuat, basisnya dari sampah," katanya.
Sementara itu, Tim Penulis Buku Fiqih Energi Terbarukan Ahmad Rahma Wardhana menyampaikan tentang dampak perubahan iklim yang dirasakan setiap orang akan berbeda-beda, tetapi 5-10 tahun lagi akan semakin terasa.
Saat ini, katanya, banyak antibiotik yang tidak manjur karena mikroba sudah beradaptasi dampak perubahan iklim, padahal mengembangkan antibiotik butuh belasan tahun, sementara bakteri dan virusnya sudah memakan korban ribuan manusia.
"Menurut riset yang dilakukan oleh para ahli lingkungan di dunia dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang tertulis dalam 3000 halaman mengatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi karena ulah manusia bukan alami karena bumi yang sudah tua," kata Rahma Wardhana.
Senada, Staf Pengajar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kudus Zaimatus Sa'diyah menyampaikan penyebab bumi yang kian hari makin rusak.
"Karena merasa bahwa agama itu semakin jauh dari hidup kita. Kita sering menganggap bahwa ibadah kita tidak ada urusannya dengan urusan lingkungan kita," ucap sosok yang mendalami ilmu Religion and Ecology.
Ia lalu mengutip pernyataan dari Syekh Ali Jum'ah tentang relasi lingkungan dan manusia. Pertama, relasi dasar (kesetaraan) yaitu manusia dengan alam adalah sama-sama makhluk Tuhan yang dituntut untuk tunduk dan menyembah-Nya, meskipun manusia terkadang sering membangkang dengan aturan tersebut karena kezalimannya.
Kedua, relasi medium yaitu menganggap bahwa bumi adalah media bagi manusia untuk bertafakur atas kegungan dan kemahabesaran Allah.
Ketiga, relasi tertinggi yaitu manusia menganggap bahwa mencintai bumi ini berarti juga mencintai Allah.
"Ringkasnya, dalam konsepsi beliau (Syekh Ali Jum'ah) antara manusia dan alam (lingkungan) adalah bersifat simbioisis-mutualisme. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain, sehingga tidak dibenarkan ketika manusia mengeksploitasi seenaknya demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan dalih memakmurkan alam atau lingkungan," kata Zaimatus Sa'diyah.
Kemudian, Staf Pengajar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Yuyun Sriwahyuni menyoroti soal perempuan merupakan entitas yang paling dekat dengan dampak kerusakan lingkungan.
"Ada pembagian kerja ranah publik dan domestik. Kerja domestik lebih banyak dilakukan perempuan. Perempuan lebih banyak membutuhkan air bersih. Di rumah yang paling berdekatan dengan sampah adalah perempuan," kata Yuyun, sosok yang juga mendalami Global Gender Studies itu.