Daerah

Gusdurian Lampung: Energi Anak Bangsa Habis untuk Membenci

Rabu, 20 Mei 2015 | 15:15 WIB

Waykanan, NU Online
Kebangkitan Nasional hanya akan menjadi retorika ketika anak-anak bangsa sibuk mendidik dirinya untuk anti atau bahkan membenci sesama anak-anak bangsa lainnya dalam berbagai hal. Salah satu yang sering mengemuka ialah kebencian karena perbedaan keyakinan.
<>
Pegiat Gusdurian Lampung, Gatot Arifianto di Blambangan Umpu, Waykanan, Lampung, Rabu (20/5) mengatakan, banyak energi anak bangsa yang habis hanya untuk mengusik hal-hal yang telah disepakati dalam konstitusi bernegara, misalnya perbedaan keyakinan yang semestinya tidak perlu diperdebatkan, dipermasalahkan.

“Padahal perbedaan adalah rahmat dari sang maha pencipta," kata pemilik gelar adat Lampung Ratu Ulangan itu lagi.

Masa penjajahan yang berlangsung sejak zaman Belanda (350 tahun) dan zaman Jepang (3,5 tahun) telah membuka mata seluruh masyarakat dan pemimpin bangsa Indonesia agar mampu menata kehidupan bangsa yang merdeka dan berdaulat serta sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang beradab.

Kebangkitan Nasional yang biasa diperingati setiap 20 Mei adalah masa dimana bangkitnya rasa dan semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan Belanda dan Jepang. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).

"Yang ditegaskan satu dalam Sumpah Pemuda ialah tanah air, bangsa dan bahasa, yakni Indonesia, bukan agama. Para pendiri bangsa menyakini Indonesia kelak akan menjadi negara yang berdiri di atas kontruksi keberagaman suku, agama, ras, dan golongan. Tidak boleh ada penghapusan pelaksanaan dan penerimaan Bhineka Tunggal Ika dalam hidup berbangsa dan bernegara," ujar dia lagi.

Jaminan persamaan hidup warga negara di dalam konstitusi negara, menurutnya pula, dapat disebutkan antara lain di pembukaan UUD 45. Termasuk Pancasila, yang jika diucapkan di depan warga Nahdlatul Ulama (NU) akan disambut dengan pekik: "Jaya!"

Di dalam agama Islam, hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi,Nasa'i dan Ahmad jelas menegaskan: "Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang shalih yang mendo'akannya".

"Tidak perlu ditambah dengan melarang pendirian atau bahkan membakar rumah ibadah agama lain atau non muslim, bukan? Sekiranya saya Islam yang tinggal di daerah dengan mayoritas penduduk memeluk agama non Islam dan rumah ibadah saya dilarang dibangun atau bahkan dibakar, saya akan tetap tersenyum sebab rumah ibadah (masjid) di dalam hati saya senantiasa berdiri dan ada, serta tidak akan mengabu dibakar. Sekiranya saya bukan Islam di daerah dengan mayoritas penduduk memeluk Islam dan rumah ibadah saya dilarang dibangun atau bahkan dibakar, saya tidak akan pernah mencari Islam rahmatan lil 'alamin di kantor aparat penegak hukum," katanya lagi.

Terkait masih adanya penolakan pembangunan rumah ibadah non Islam di beberapa daerah di Lampung, ia mengingatkan Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 dan Nomor: 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat sudah jelas. Dan seyogyanya bisa dipatuhi, tidak perlu dipersoalkan jika ketentuan berlaku sudah dipenuhi.

Kebangkitan Nasional, katanya pula, akan terwujud ketika anak-anak bangsa sibuk mendidik dirinya untuk berani memiliki keyakinan jika Indonesia ialah bangsa yang memiliki diversitas keberagaman. Kebangkitan Nasional akan terwujud jika setiap anak bangsa Indonesia mendidik dirinya untuk membangkitkan bangsa.

"Potensi keberagaman budaya, karakter, jati diri bangsa, keyakinan, pulau hingga sumber daya  alam di Indonesia semestinya yang harus sibuk diolah, dirangkum oleh anak-anak bangsa untuk Indonesia Digdaya. Bangkit menjadi bangsa bermartabat adalah pilihan daripada cakar-cakaran dan membuat gejolak negatif. Keragaman, kata Gus Dur, adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas ciptaan-Nya," kata Gatot mengingatkan lagi. (red: Abdullah Alawi)



Terkait