Daerah

Haul Pendiri NU Buleleng Digelar sebagai Media Penyambung Generasi

Kamis, 16 Maret 2023 | 13:00 WIB

Haul Pendiri NU Buleleng Digelar sebagai Media Penyambung Generasi

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Buleleng, Bali untuk kali pertama mengadakan Haul Tokoh Pendiri NU Buleleng pada Ahad lalu. (Foto: NU Online/Iboy)

Buleleng, NU Online

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Buleleng, Bali untuk kali pertama mengadakan Haul Tokoh Pendiri NU Buleleng pada Ahad lalu. Kegiatan yang juga bekerja sama dengan Pengurus Takmir Masjid Agung Jami’ Singaraja ini sekaligus memperingati Haul Penulis Mushaf Al-Quran Kuno yang ditulis tangan pada tahun 1820.


Menurut Katib Syuriah PCNU Buleleng, Zainul Arifin mengatakan bahwa Haul ini sengaja diadakan sebagai media penyambung generasi terdahulu dengan yang sekarang. Sebab menurutnya, banyak generasi hari ini, tidak tahu bahkan tidak mau tahu terhadap perjuangan para pendahulu.


“Kita bersyukur beberapa dokumen sejarah sudah mulai ditemukan, termasuk kesaksian para sesepuh semakin memperkuat, momen ini kita jadikan motivasi kita yang hidup hari ini, bisa mengikuti perjuangan ulama pendiri NU Buleleng terdahulu,” terang Zainul.


Pada Haul yang dilaksanakan di Masjid Agung Jami Singaraja ini, selain membaca Surat Yasin dan Tahlil, juga disampaikan sejarah hidup 4 Tokoh Ulama, yakni I Gusti Ketut Ngurah Jelantik Celagi, KH Muhammad Murtadha, KHR Ali Mansur dan KH Mohammad Hasan.


I Gusti Ketut Jelantik Celagi adalah sosok yang diyakini menulis Al-Quran Kuno, yang merupakan keturunan pendiri Kerajaan Buleleng, I Gusti Anglurah Ki Barak Panji Sakti. Menurut berbagai sumber, ia masuk Islam setelah terjadi peperangan internal di kerajaan Buleleng. Saat itu, ia yang masih kecil menyelamatkan diri dan sembunyi di Masjid Keramat Kampung Kajanan.


Kemudian ia diselamatkan dan diangkat anak oleh Syech Muhammad Yusuf, seorang guru agama setempat, yang diketahui berasal dari Makassar. I Gusti Ketut Jelantik Celagi belajar mengaji dan agama langsung dari ayah angkatnya. Konon zaman itu, untuk dinyatakan lulus ngaji, harus menuliskan Al-Quran secara utuh. Mushaf yang ditulis tangan tahun 1820 tersebut kini tersimpat di Masjid Agung Jamik Singaraja.


KH Muhammad Murtadha merupakan Rais Syuriah pertama Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Buleleng pada tahun 1954. Hidupnya diabdikan seluruhnya untuk kepentingan agama, sehingga oleh masyarakat, sosok yang juga dikenal dengan panggilan Guru Muh tersebut, diangkat menjadi Imam Masjid Agung Jamik Singaraja seumur hidup.


Saat itu banyak santri yang belajar langsung kepada Guru Muh baik untuk belajar Al-Quran maupun Kitab Kuning. Santri yang belajar bukan hanya dari Singaraja, tapi juga dari jauh seperti Jembrana dan Lombok.Karena ketokohannya, banyak Ulama yang datang ke kediamannya di Jalan Nangka Kampung Kajanan, salah satunya KH Wahab Chasbullah, Buya Hamka dan memiliki kedekatan dengan Presiden RI Pertama Soekarno. Beliau Wafat pada tahun 1974 dan dimakamkan di komplek pemakaman Kayu Buntil.


KHR. Ali Mansur merupakan Pencipta Shalawat Badar yang sudah sangat popular di masyarakat. Ia pernah menetap di Singaraja tepatnya di Kampung Arab sejak tahun 1954 sampai dengan 1956 bersamaan dengan tugas dari Kemetrian Agama. Di tahun itu juga, ia ditunjuk sebagai Ketua Konsul NU (Sekarang setingkat PWNU) untuk wilayah Bali-Nusa Tenggara.


Selama di Buleleng, Kiai Ali Mansur aktif berkeliling untuk berdakwah, sekaligus memperkenalkan NU kepada masyarakat. Menariknya, ada kesaksian para sesepuh yang dulu pernah mengikuti pengajiannya, Kiai Ali Mansur selalu melantunkan potongan syiir Solawat Badar diakhir ceramahnya. Artinya, besar kemungkinan Sholawat Badar ini ditulis di Bali dan kemudian disempurnakan ketika beliau pindah ke Banyuwangi pada tahun 1960an.


KH Mohammad Hasan atau lebih dikenal dengan Guru Hasan adalah sosok ulama asli Kampung Kajanan yang mengajarkan Al-Quran dan Kitab Kuning. Pada saat pendirian NU, Guru Hasan ditunjuk sebagai Khatib Syuriah pertama PCNU Buleleng tahun 1954.


Setelah meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963, Guru Hasan bersama puluhan KK di singaraja mengikuti program transmigrasi ke Sumbawa. Disana selain berkebun, beliau tetap mengajar ngaji kepada penduduk setempat.


Guru Hasan wafat sekitar tahun 1970, dan menurut informasi, makamnya yang ada di daerah Plampang Sumbawa ini, oleh masyarakat sekitar dianggap makam keramat sebagai bentuk penghormatan karena dakwah yang pernah dilakukannya. 


Kontributor: Abdul Karim Abraham

Editor: Fathoni Ahmad


Terkait