Hidangan Khas Kuah Tuhe Hangatkan Peringatan Hari Santri 2024 di Aceh
Selasa, 29 Oktober 2024 | 19:00 WIB
Santriwati Dayah Putri Muslimat Gampong Putoh, Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh sedang memasak kuah tuhe. (Foto: dok. istimewa)
Bireuen, NU Online
Peringatan Hari 2024 di Dayah Putri Muslimat Gampong Putoh, Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh berlangsung khidmat dan meriah pada Selasa pekan lalu. Selain diisi dengan doa dan zikir kebangsaan yang dihadiri 3.000 santri dan 270 guru, momen ini juga diwarnai dengan kenduri besar yang menyajikan bulukat kuah tuhe, makanan khas Aceh yang memiliki nilai historis dan spiritual. Acara memasak bersama ini mencerminkan tradisi gotong royong dan kesabaran, yang telah menjadi bagian dari budaya santri dan kehidupan di dayah.
Abah H. Tu Ahmadallah, pimpinan Dayah Putri Muslimat, menegaskan bahwa bulukat kuah tuhe adalah simbol dari warisan budaya Aceh yang kaya akan nilai kebersamaan dan gotong royong.
"Kuliner endatu seperti kuah tuhe ini mengajarkan kita banyak hal. Dalam setiap prosesnya, ada nilai kesabaran, keikhlasan, dan kerjasama yang selalu diajarkan oleh para leluhur kita. Ini sangat sesuai dengan semangat Hari Santri," ujarnya.
Tokoh agama kota Santri samalanga itu juga menekankan bahwa Hari Santri adalah momen yang tepat untuk mengenang perjuangan santri di masa lalu, sekaligus melestarikan warisan budaya.
"Kita merayakan Hari Santri bukan hanya untuk mengenang perjuangan santri, tetapi juga untuk melanjutkan tradisi kita yang kaya, seperti bulukat kuah tuhe. Santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga melestarikan kearifan lokal yang menjadi identitas kita," tambahnya.
Abah H. Tu Ahmadallah berharap bahwa melalui kegiatan memasak kuah tuhe bersama, para santri bisa memahami pentingnya menjaga tradisi sambil tetap relevan di zaman modern.
"Semoga santri dan masyarakat tidak hanya menikmati lezatnya kuah tuhe, tetapi juga merenungkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Tradisi ini adalah bagian dari identitas kita yang harus terus kita lestarikan," pungkasnya.
Peringatan HSN 2024 di Dayah Putri Muslimat menjadi pengingat bahwa dalam setiap tradisi, terdapat nilai-nilai penting yang harus dijaga. Meskipun ada kontroversi tentang relevansi tradisi di era modern, esensi dari tradisi seperti bulukat kuah tuhe tetap relevan dalam mengajarkan kesabaran, gotong royong, dan kebersamaan di tengah dunia yang terus berubah.
Tradisi Kuliner Kuah Tuhe
Meskipun tampak sederhana, menurut Hj Atikah pengasuh senior dayah Putri Muslimat Samalanga bulukat kuah tuhe memiliki estetika tersendiri yang mengakar pada tradisi Aceh. Hidangan ini terbuat dari santan kental yang dicampur dengan pisang raja atau nangka masak, serta daun pandan wangi.
"Keindahan kuliner ini bukan hanya terletak pada tampilannya, tetapi juga pada proses pembuatan yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Semua dilakukan dengan tangan, mulai dari memarut kelapa hingga mengaduk santan dengan sabar, menciptakan cita rasa yang khas," ujarnya.
Dalam tradisi Aceh, estetika tidak hanya terletak pada hasil akhir, tetapi pada bagaimana sesuatu diciptakan. Proses pembuatan kuah tuhe ini melibatkan semua santriwati dan dewan guru, memperkuat semangat gotong royong dan kebersamaan.
"Setiap langkah dalam pembuatan kuah tuhe mengajarkan kita untuk bekerja bersama, saling mendukung, dan menikmati prosesnya, bukan hanya hasil akhirnya," katanya.
Gotong royong merupakan nilai fundamental yang diajarkan di dayah, dan acara memasak kuah tuhe ini menjadi salah satu momen di mana nilai tersebut dihidupkan kembali. Para santriwati bekerja sama, saling melengkapi dalam proses pembuatan hidangan, dengan dewan guru yang terus memberikan arahan. Ini bukan hanya soal makanan, tetapi juga pelajaran hidup tentang pentingnya kebersamaan.
Hj Atikah, menjelaskan bahwa kebersamaan ini adalah esensi dari tradisi dayah. "Dalam memasak, kami merasakan nikmat kebersamaan yang tak ternilai. Ini adalah waktu bagi kami untuk belajar bekerja sama, saling menguatkan, dan menghargai proses," ungkapnya. Menurutnya, kuah tuhe bukan sekadar makanan, tetapi simbol dari gotong royong yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kesabaran juga menjadi nilai utama dalam pembuatan bulukat kuah tuhe. Prosesnya yang panjang dan memerlukan ketelitian mengajarkan para santriwati bahwa segala sesuatu yang bernilai membutuhkan waktu dan usaha.
"Proses panjang ini mengajarkan kami untuk menghargai setiap bagian dari pekerjaan kami. Tidak ada hasil yang instan, semuanya membutuhkan usaha yang serius," tambah Tgk. Siti Halimah.
Menurut Tgk. Muhammad Aminullah Wakil Ketua PCNU Bireuen menjelaskan nilai-nilai ini tidak hanya berlaku dalam memasak, tetapi menjadi prinsip yang dipegang dalam kehidupan sehari-hari di dayah. Setiap langkah, mulai dari memarut kelapa hingga mengaduk santan, dilakukan dengan penuh perhatian. Proses yang lambat dan manual ini menjadi simbol dari kesabaran yang dipegang teguh oleh santri.
Melestarikan Tradisi
Tgk. Muhammad Aminullah, pakar Alamtologi Dunia yang juga pengasuh Dayah Putri Muslimat, menanggapi apa yang dilakukan santriwati Dayah Putri Muslimat dalam momentum Hari Santri ini dengan bijak.
"Tradisi dan modernitas tidak harus saling bertentangan. Kita bisa menjaga tradisi tanpa harus mengorbankan kemajuan. Yang penting adalah bagaimana kita menanamkan nilai-nilai di balik tradisi itu ke dalam kehidupan modern kita," jelasnya.
Dosen UNISAI Samalanga itu menegaskan bahwa penting bagi kita untuk tidak melupakan esensi dari tradisi, meskipun dunia terus berubah. Lebih lanjut ia menambahkan di tengah semua nilai positif ini, muncul tantangan dan kontroversi. Di era digital yang serba cepat, banyak orang beralih ke cara-cara yang lebih praktis dan efisien, termasuk dalam memasak.
"Tradisi seperti pembuatan kuah tuhe, yang memakan waktu lama, mungkin dianggap kurang relevan oleh sebagian kalangan. Kemajuan teknologi memungkinkan orang untuk menghemat waktu, dan cara-cara tradisional dianggap tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman, namun warisan endatu harus dibumikan dan dilestarikan oleh generasi muda Aceh,'' ucap Aminullah.