Aang Fatihul Islam dengan salah satu buku yang berhasil ditulis semasa pandemi. (Foto: NU Online/Syamsul A)
Jombang, NU Online
Seseorang dikatakan berhasil berdamai dengan Covid-19 apabila tidak sekadar mematuhi protokol kesehatan sebagaimana imbauan pemerintah. Lebih dari itu juga perlu menjadikan musibah tersebut sebagai ajang meningkatkan kreativitas. Di samping upaya lebih mendekatkan diri kepada Allah menjadi hal utama dalam mengambil hikmah atas peristiwa luar biasa ini.
Seperti tidak terlalu ambil pusing tentang Corona dan segala hal yang meliputinya, pemuda di Kabupaten Jombang, Jawa Timur ini memilih fokus berkarya. Hari-harinya seolah hanya dihabiskan menyusun kata per kata dan kalimat per kalimat dalam sebuah imajinasi yang kemudian dituangkan dalam wujud tulisan. Sehingga semenjak Corona menjadi topik hangat dibicarakan banyak kalangan, pemuda ini justru berhasil merampungkan lima karya tulisannya.
Adalah Aang Fatihul Islam, pemuda yang perawakannya biasa-biasa saja namun memiliki beragam karya tulis. Jika dihitung dari semenjak ia menulis, sudah puluhan buku yang berhasil dirampungkan. Baik itu buku ilmiah ataupun buku berisikan fiksi.
"Semasa pandemi alhamdulillah saya bisa merampungkan lima buku," katanya kepada NU Online melalui pesan singkat lewat aplikasi WhatsApp, Rabu (1/7).
Lima judul buku yang sudah diselesaikan selama pandemi yaitu Perempuan-perempuan Kencana: Serpihan Puisi Tentang Perempuan Istimewa, Menyimak Kritis dengan Bahan Ajar e-pub Responsif Budaya Lokal, Menulis Narasi Kreatif dengan Bahan Ajar e-pub Responsif Budaya Lokal, Dzikir Corona, dan Sengketa Semesta. Dua judul terakhir merupakan karya terbarunya.
"Satu buku puisi ditulis dalam antologi bersama penulis tiga negara, dua buku penelitian sudah masuk cetak, dan dua buku kumpulan puisi karya terbaru sudah terbit murni hasil tulisan saya," ucapnya.
Ia mengaku, dari sekian banyak tulisannya ia seringkali menyelipkan sisi-sisi dakwah, mengajak para pembaca untuk meningkatkan aspek-aspek spiritual. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas kesehariannya yang tidak bisa lepas dari dakwah, lantaran dirinya juga masih tercatat sebagai Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jombang.
Yang paling kentara dakwahnya ada pada dua karya terakhirnya, yakni Dzikir Corona dan Sengketa Semesta. Dua buku itu terdapat beberapa hal penting yang menjadi intisari. Di antaranya pembaca akan diajak berselancar menyaksikan realita, sekaligus menyeret pembaca untuk ikut terlibat menyelesaikannya. Kemudian buku tersebut memberikan terapi kepanikan dan ketakutan yang berlebihan.
"Juga sebagai supan cakrawala pemikiran tentang Corona dan bagaimana manusia memposisikan diri, mengaplikasikan trinitas, yaitu hubungan dengan Allah, dengan manusia serta hubungan dengan alam," imbuhnya.
Berdakwah baginya tidak selalu melalui pertemuan atau forum tatap muka antara dai dan jamaahnya. Jika dakwah hanya dimaknai demikian, maka sudah terjadi penyempitan arti dakwah itu sendiri. Dakwah adalah perantara saja, sementara alatnya cukup beragam.
"Menulis juga merupakan salah satu bentuk dakwah, yakni dakwah bil qalam atau bil kitabah," jelasnya.
Di saat pandemi, di mana seseorang diimbau untuk lebih banyak di rumah justru memberikan kesempatan baginya untuk lebih leluasa berkarya.
"Sebagai penulis tentu selain sebagai terapi dan refreshing selama aktivitas di rumah dan dari rumah di masa pandemi juga menjadi skenario dakwah yang didesain khusus bagi para pembaca baik yang awam maupun yang paham agama," ucapnya.
Ia berharap seseorang tidak banyak mengeluh atas realitas Covid-19. Apalagi virus tersebut menyebar ke sejumlah penjuru dunia. Sikap yang paling bijak menurutnya adalah mengambil hikmah atas peristiwa tersebut dan melakukan langkah yang bernilai manfaat untuk banyak orang.
Pewarta: Syamsul Arifin
Editor: Ibnu Nawawi