Kiai Abun Ruhiat Dorong Alumni Pesantren Cipasung Turut Makmurkan Negara
Selasa, 27 Juli 2021 | 11:30 WIB
Pimpinan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, KH A Bunyamin Ruhiat. (Foto: Tangkapan layar YouTube Pesantren Cipasung)
Jakarta, NU Online
Pimpinan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, KH A Bunyamin Ruhiat, menugaskan kepada para alumninya agar dapat memakmurkan negara. Sebab, salah satu perintah Allah kepada makhluknya adalah membuat bumi ini makmur, aman, sentosa.
“Memakmurkan bumi ini sesuai kemampuan masing-masing, i'malu 'ala makanatikum (bekerjalah sesuai dengan profesi masing-masing),” kata Kiai A Bunyamin pada peringatan haul ke-44 Almaghfurlah KH Ruhiat dan haul ke-14 KH Ilyas Ruhiat di Cipasung, Tasikmalaya, Senin (26/7) malam.
Ia menyampaikan, alumni yang mempunyai ilmu pengetahuan hendaklah mengabdi kepada negara melalui ilmu pengetahuannya, yang mempunyai harta kekayaan berjuang melalui hartanya. Begitu pun dengan yang memiliki kedudukan di masyarakat mulailah berjuang melalui jalan itu.
“Namun perlu diingat, dalam memakmurkan negara, kalian hendaklah meniatkan tiga hal. Meniatkan yang benar, beramar ma'ruf nahi munkar, dan niat menguatkan agama melalui ilmu, harta, dan kedudukan,” terang Kiai Abun, sapaan akrabnya.
Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Tasikmalaya itu pun menerangkan, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa ada empat hal yang dianjurkan untuk menjalankan kewajiban berbuat baik sebagai tanda kebaktian kepada seseorang yang telah meninggal, terlebih pada orang tua.
“Pertama, menshalatkan kedua orang tua di hari wafatnya. Kedua, mendoakannya setiap waktu, mendoakan itu tidak ada batas waktunya. Dan itu sering kita lakukan di hari ke-3, 7, 40, hingga 100 hari. Bahkan setiap tahunnya,” terang putra ke-9 KH Ruhiat ini.
Lanjutkan kiprah perjuangan
Ketiga, lanjut dia, melanjutkan kiprah perjuangan kedua orang tua. Dalam hal ini bagi kalangan pesantren, perjuangan itu ditandai dengan melanjutkan kiprah berdakwah dalam menyebarkan agama Islam rahmatan lil alamin.
“Yang sering disebut dan ditegaskan oleh Abah (KH Ruhiat), ulah aya urut pasantren (jangan ada namanya bekas pesantren), begitu. Terutama kepada alumni yang sudah berhasil mendirikan pesantren, hal-hal seperti itu jangan sampai terulang,” tegasnya.
Karena menurutnya, sekarang ini banyak ditemukan pesantren besar khususnya di Tasikmalaya yang perjuangannya mandeg bahkan terbengkalai akibat tidak ada penerus dari pihak keluarga. Hal itu terbukti dari banyaknya pesantren besar yang kini malah dipimpin dan dikelola oleh orang 'luar' (bukan dzuriyah pesantren).
“Ke mana mereka (pewaris) pesantren itu. Nah ini harus kita pikirkan,” tegas Kiai Abun.
Keempat, yaitu menyambungkan tali silaturahim dengan cara memuliakan kolega, teman dekat, dan orang-orang yang kenal dengan almarhum. Ia menjelaskan, hal itu serupa dengan perintah Allah yang termaktub dalam surat Maryam ayat 13-15.
“Doa bersama (haul) ini insyaallah akan sampai kepada almarhum, dan kita yang membacanya juga insyaallah akan mendapat pahala,” jelas Kiai Abun.
Ia mengungkapkan, alasan mengapa doa bersama peringatan kewafatan dilakukan setahun sekali adalah mengikuti keumuman peringatan hari-hari besar, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Di samping itu, peringatan wafatnya ulama atau pendiri pesantren juga merupakan ajang mempererat silaturahim antar-kalangan di masyarakat mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh Allah swt.
“Seperti doa bersama kali ini, yakni merupakan ajang silaturahim antara keluarga pesantren dengan alumni, dan pesantren dengan masyarakat. Sebagaimana firman Allah pada surat ar-Ra'du ayat 21,” ungkapnya.
Secara khusus, Kiai Abun meminta kepada para alumni santrinya agar menitikberatkan berbagai macam ilmu-ilmu pengetahuan di lingkungan pesantren supaya kelak dari rahim pesantren lahir generasi-generasi emas yang melanjutkan perjuangan dakwah para ulama di negara Indonesia.
“Terutama para santri yang merupakan syubbanul yaum rijalul ghad, sekarang kalian jadi pemuda, besok kalian jadi calon-calon pemimpin,” pinta Kiai Abun.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori