Jombang, NU Online
Pemimpin Pondok Pesantren Dar At-Tauhid Arjawinangun Cirebon, Jawa Barat KH Husein Muhammad menyebutkan ada sejumlah problem besar yang masih menghinggapi kaum Muslimin khususnya Indonesia hingga hari ini.
Hal ini disampaikan dalam seminar nasional bertema "Tren Riset dalam Memperkuat Eksistensi Pendidikan Islam dan Hukum Keluarga" di lantai 3 gedung KH Yusuf Hasyim Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Ahad (9/2).
Ia mengawali forum dengan pertanyaan apa yang sudah disumbangkan oleh institusi pendidikan tinggi Islam bagi kemajuan dunia? Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada institusi pendidikan Islam di Indonesia, melainkan juga di dunia.
Masalah utama yaitu sumber-sumber pengetahuan keagamaan kaum Muslim secara mainstream sampai hari ini masih merupakan produk pemikiran atau ijtihad kaum Muslim abad pertengahan dalam nuansa Arabiai berikut budaya patriarkhismenya.
"Ini adalah sebuah sistem sosial yang memberikan otoritas kepada laki-laki untuk mengatur kehidupan bersama," katanya.
Lanjutnya, konservatisme dan pengulang-ulangan suatu pemikiran atau pemahaman keagamaan dilakukan dalam waktu yang panjang dan tanpa kritik serta ditransfer melalui metode doktrinal.
Pada gilirannya akan melahirkan atau membuahkan keyakinan banyak orang bahwa produk pikiran yang diwariskan itu adalah kebenaran agama atau keyakinan itu sendiri beserta seluruh makna sakralitas dan universalitasnya.
Maka yang terjadi adalah universalisasi atas norma partikular dan kontekstual di satu sisi dan partikularisasi norma universal di sisi yang lain. Keadaan ini sesungguhnya berpotensi menimbulkan problem serius dalam dinamika kebudayaan dan peradaban.
"Cara pandang konservatisme yang berlarut-larut ini berpotensi berkembang menjadi radikalisme dan ekstrimisme kekerasan," jelas tokoh asal Cirebon ini.
Ia juga melihat rasionalitas tidak berkembang progresif atau mengalami Stagnasi (mandeg). Aktivitas intelektual atau penggunaan akal tersebut bahkan acap distigma sebagai cara berpikir kaum liberal, sebuah istilah yang mengandung makna peyoratif.
Terlampau sering dikutip sebagian orang pernyataan bahwa "orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan akalnya adalah kesesatan yang akan mengantarkannya ke neraka".
"Riset atas realitas kehidupan yang terus berubah dan berganti, mandeg dan tidak berkembang. Peradaban teks "Hadharah al-Nash” masih begitu kokoh," ujarnya.
Akibat dari permasalahan ini, Buya Husein menyebutkan salah satu efeknya yaitu masifnya ideologi patriakhisme di Indonesia dan di pesantren khususnya.
Peran perempuan dibatasi dalam gerak dan suaranya. Kesetaraan dalam pendidikan dan hukum tinggal wacana saja yang terus diulang-ulang setiap tahunnya. Rujukan kitab atau buku referensi dalam belajar juga didominasi dari pengarang lelaki. Sehingga sudut pandangnya kadang menyudutkan perempuan.
"Kekerasan terhadap perempuan dalam segala bentuknya masih terus berlangsung di negeri Muslim terbesar di dunia ini dalam skala yang terus meningkat. Sistem dan ideologi patriarkhisme juga masih kokoh," ungkapnya.
Solusi yang ditawarkan Kiai Husen untuk mengatasi masalah ini adalah mendorong kaum akademisi untuk melakukan riset mendalam tentang masalah kehidupan perempuan lalu membukukannya. Agar bukunya bagus, maka penulis harus banyak diskusi dan membaca berbagai referensi.
"Banyak rujukan kitab kita yang materinya tidak bisa diterapkan saat ini. Perlu ada karya ilmiah baru," tandas alumni Pesantren Lirboyo ini.
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin