Jombang, NU Online
Keputusan pemerintah terkait lockdown yang disebabkan merebaknya penyebaran Covid-19 menarik perhatian tokoh pesantren di Jombang, Jawa Timur. Hal ini karena keputusasaan tersebut dalam praktiknya seakan masih belum seragam antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
Pengasuh Pesantren Queen Al-Azhar Darul Ulum Rejoso, Jombang HM Zahrul Azhar Hans mengatakan, penyebab ketidaksamaan ini karena belum adanya prespsi yang sama lantaran kondisi yang memang berbeda-beda di lapangan.
"Boleh saja pemimpin sebuah wilayah segera melakukan langkah lockdown wilayahnya. Karena dia hanya pemimpin sebuah kota yang luasnya tidak seberapa dengan tingkat resiko yang tinggi. Namun apakah kebijakan ini harus segera dikeluarkan juga oleh pemimpin yang cakupannya jauh lebih luas yang tidak semua wilayahnya berpotensi terdampak Corona," katanya, Rabu (18/3).
Lanjutnya, memang dalam tindakan tidak harus sama antara pemimpin pusat dengan pemimpin daerah. Karena kondisi sosial dan geografis memang berbeda-beda. Indonesia tidaklah sama dengan Italia yang luas wilayahnya hanya setara satu pulau di Indonesia. Sehingga keputusan dalam menyikapinya pun tidak harus sama.
"Pemerintah kini menghadapi dua masalah yang seakan dibenturkan antara opini yang terbangun atau ada yang sengaja membangun di ranah publik dan rasionalitas empirik," tambah pria yang biasa disapa Gus Hans ini.
Dalam hitungan Gus Hans, tidak ada satu pemimpin pun di Indonesia yang mau mengorbankan jiwa rakyatnya dalam hal apapun. Sebagai pemegang amanah dari rakyat, pemimpin diharuskan menggunakan helycopter view sebelum membuat kebijakan.
Masalah ini akan menjadi rumit ketika masyarakatnya memiliki disparitas yang tinggi pada tingkat pendidikan dan strata sosial. Boleh saja seorang pejabat publik beropini agar tidak ke mana dan bisa melakukan apapun di rumah. Karena dia berlatar belakang pendidikan tinggi yang sangat melek teknologi. Selain itu mereka juga pengguna aktif dari kecanggihan teknologi.
"Pemimpin bisa mengambil kebijakan lockdown. Namun bagaimana dengan pedagang pasar yang setiap hari dia harus bergelut dengan kerepotan untuk menyambung hidupnya. Gajinya mereka setiap hari. Kalau tidak kerja tidak dapat uang," ujarnya.
Dengan kondisi geografis dan kultur sepeti di Indoneisa ini tidak seharusnya masyarakat Indonesia larut dalam dalam kepanikan masalah yang berpotensi pada terjadinya rush dan berujung pada shutdown-nya sebuah bangsa.
Sebagai perbandingan, Gus Hans menyebutkan jumlah kematian yang ditimbulkannya pengguna narkoba lenih besar. Rata-rata 50 jiwa setiap harinya.
"Jangan sampai ada yang memancing di air keruh di balik merebaknya wabah Corona ini. Sehingga menciptakan kesan negeri kita gagal dalam menentukan target-target untuk menyejahterakan rakyatnya," tegasnya
Gus Hans mengajak semua masyarakat khususnya kaum Nahdliyin menghadapi Covid-19 ini dengan tetap waspada tanpa harus menimbulkan kepanikan. Percayakan kepada pemimpin pusat dan daerah untuk menyelesaikan permasalahan.
"Semoga presiden bisa menjadi pemimpin andal yang bisa mengarahkan mana yang dibunyikan mana yang harus diamkan. Serta bisa mengatur ritme sesuai dengan langgam yang bisa kita nikmati bersama," tandas Gus Hans.
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin