Semarang, NU Online
Masjid yang ada dalam instansi pemerintah kerap ramai dalam laman pemberitaan berbagai media massa berbasis online maupun yang viral di media sosial. Hal tersebut lantaran menjadi tempat penyebaran paham Islam radikal.
Penegasan disampaikan Sekretaris Pengurus Wilayah (PW) Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Tengah, Multazam Ahmad. Dan dirinya berharap hal itu semestinya tak boleh terjadi.
"Mestinya masjid menjadi tempat ibadah dan membina masyarakat." kata Multazam kala disinggung pertanyaan awak media terkait hal itu, Ahad (16/2).
Kata Multazam, memang dari pengurus pusat sudah menyampaikan hal itu (penyebaran radikalisme di masjid pemerintah). Karenanya, dirinya menginginkan ada formulasi dari remaja masjid dan takmir dalam penyelenggaraan kegiatan yang berakar di masjid.
Pihaknya menyambut positif langkah Perhimpunan Remaja Islam Dewan Masjid Indonesia (Prima DMI) di Jateng yang menggelar 'Kopdar (Kopi Darat) Kebangsaan di aula Balai Kota Semarang dengan tema Remaja Masjid Melawan Gerakan Radikalisme, Komunisme, Separatisme dan Komunisme Demi Keutuhan NKRI' beberapa waktu berselang.
Selain di dalam instansi pemerintah, masjid di dalam perguruan tinggi juga rawan menjadi sarang penyebar paham intoleran dan radikal. Oleh sebab itu ia berharap Prima DMI Jateng bisa memperluas gerakan dengan bergerak secara langsung ke masjid-masjid, utamanya yang ada di kampus.
"Saya sudah sering dengar itu." akunya.
Lebih lanjut ia mengakui Kopdar terlaksana dalam momen tepat karena masjid sering disebut sebagai sumber masalah intoleransi, dan terorisme.
"Itu sering dimunculkan (media). Masalah kemasjidan disinyalir sering menjadi sumber penyebaran radikalisme,” bebernya.
Sementara Perwira Seksi Intel (Pasi Intel) Kodim 0733 Semarang Kapten Sujono mengingatkan pentingnya wawasan kebangsaan bagi masyarakat, utamanya kalangan pemuda.
"Bagaimana kita bisa cinta tanah air, cinta kepada sesama yang ada, cinta pada aturan-aturan dan pemeritahan yang ada?," katanya.
Untuk memberikan pemahaman gerakan berbasis agama yang merongrong NKRI, Sujono menjelaskan bahwa radikalisme muncul lantaran cara memahami dalil secara tekstual saja.
"Pemahaman agama yang literal dan sepotong-potong. Ilmunya belum seberapa, tapi sudah berani memberikan ceramah." ucapnya.
Secara politik, radikalisme berbasis agama kerap mengadili pemerintah dengan hukum Tuhan sehingga menganggap bughat pemerintahan yang sah karena menggunakan sistem kafir. Ironisnya, merekea berkeyakinan dirinyalah yang paling benar dalam memaknai teks suci agama dan itu sifatnya mutlak.
"Sensitifitas inilah yang sering digunakan oleh pihak-pihak tersebut (Islam garis keras),” ungkapnya.
Namun demikian ia menyayangkan adanya sesuatu yang identik dengan radikalisme agama sampai ada yang mengelompokkan berdasarkan penampilan.
"Tampilan boleh, sembarang, tapi tindakan dan ucapan itu harus beda,” pesannya.
Pihaknya juga mengakui adanya masjid di lingkungan pendidikan maupun masyarakat yang memasukkan paham radikal untuk mempengaruhi jamaah.
"Karena doktrin tidak bisa dimasukkan secara langsung, tapi pelan-pelan, sedikit demi sedikit,” sebutnya.
Hal senada dinyatakan Rektor UIN Walisongo Semarang, H Imam Taufiq yang menegaskan perlunya inovasi dalam herakan berbasis masjid.
"Masjid harus berpikir ulang dalam penyelenggaraan kegiatan. Jangan hanya shalat jamaah,” harapnya.
Ia juga berpesan, jangan memahami agama literal teks tanpa mengerti sastra dan alasan munculnya hukum agama.
"Bahasa Arab itu memiliki karakteristik dan tradisi tersendiri dalam membuat ungkapan,” tuturnya.
Karena itu ia mengingatkan makna melaksanakan ajaran agama menyeluruh. Menurutnya, esensi agama yang tak semuanya didapat secara instan berdasarkan narasi terjemahan. Apalagi mengambil ajaran agama secara parsial.
"Jangan ambil tampilannya saja, tapi bagaimana akhlak sebagai inti dari ajaran Islam," pungkasnya.
Kontributor: A Rifqi Hidayat
Editor: Ibnu Nawawi