Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah ini pernah menekuni belajar di Pesantren Al-Manshur Popongan Klaten, kemudian menuruskan kuliah di Yogyakarta mengambil Jurusan Sastra Arab pada Fakultas Adab sambil nyantri di Pesantren Wahid Hasyim juga di Yogyakarta.
Selama kuliah di Yogya, Muhtarom muda menekuni berbagai macam usaha, termasuk jualan beras di pasar Bringharjo di sela-sela kuliahnya, serta berbagai usaha lainnya sekedar untuk menambah uang jajan.
Di Yogyakarta pula Muhtarom berkenalan seorang gadis asal Kota Pekalongan yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi farmasi juga memanfaatkan waktunya untuk berjualan batik. Dari situlah Muhtarom mengenal berbagai jenis batik serta motif yang aneka macam ragamnya.
Begitu asiknya menekuni aneka batik sambil membantu menjualkan batik, dirinya lupa akan cita-cita semula yang ingin menjadi seorang dosen yang gagah sambil membawa tas menuju ke kampus idaman setiap harinya.
Meski peluang jadi dosen akhirnya lenyap, tetapi keberuntungan yang lebih besar dirainya, yakni dengan meminta sekaligus melamar gadis yang kuliah di farmasi asal Pekalongan dijadikan pendamping hidupnya. Dari sinilah usaha baru dan mengembangkan bakat terpendamnya sebagai pengusaha mulai dibangkitkan kembali.
Hijrah ke Pekalongan
Darah aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) begitu membekas pada dirinya. Meski tidak lagi menyandang mahasiswa, ketika mulai masuk Kota Pekalongan diminta oleh PCNU Kota Pekalongan bergabung masuk ke jajaran pengurus harian. Hingga pada Oktober 2017 menduduki posisi Ketua PCNU Kota Pekalongan.
Di tengah kesibukannya aktif di PCNU, Muhtarom bersama istri dan mertuanya mencoba mengembangkan usaha batik dengan motif-motif kekinian sesuai perkembangan zaman. Sehingga hasil kreativitasnya laku keras meski bisnis batik pernah dilanda kelesuan terutama ketika Pasar Tanah Abang Jakarta terjadi kebakaran pada tahun 2003.
Tidak seperti pada umumnya pengusaha batik di Pekalongan yang melempar produknya batiknya ke Pasar Tanah Abang, Muhtarom dengan brand produknya 'Batik Faaro' justru memilih Yogyakarta dan Bali untuk tempat pemasaran batik karyanya, sehingga usahanya terus maju dan berkembang.
Pada Muktamar ke-32 di Kota Makassar Sulawesi Selatan tahun 2010, PCNU Kota Pekalongan mencoba merintis batik seragam NU dengan corak yang berbeda pada umumnya untuk ditawarkan kepada para muktamirin.
Dan untuk pengerjaannya diserahkan kepada Muhtarom dan batik yang didesainnya laku keras di arena muktamar. Selain batik seragam NU, dirinya juga membuat sarung aswaja dengan logo NU pada bagian belakangnya serta aneka batik NU dan badan otonomnya yang saat ini mewarnai pasar batik di Indonesia.
Kepada NU Online dirinya mengaku, meski pasar batik terbuka lebar, akan tetapi yang diperlukan saat ini kreativitas, karena pasar terus berkembang pembeli baru terus berdatangan. Maka motif-motif baru harus diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
"Termasuk batik NU, maka meski saya pernah mondok yang berkutat dengan aneka kitab, mestinya usai mondok kitab-kitab yang pernah dipelajari diajarkan kepada masyarakat di lingkungannya. Akan tetapi ketika sudah masuk Pekalongan, kitab nya berubah menjadi batik, gak sempat ngaji, karena sibuk bisnis batik," pungkas ayah berputra 3 ini.
Saat ini Batik Faaro yang menjadi brandnya memproduksi aneka jenis pakaian batik pria, wanita, dewasa, anak dan remaja termasuk sarung dengan jenis batik cap, tulis maupun printing. Kapasitas hatian sekitar 250-300 pcs, jumlah omset hingga ratusan juta rupiah per bulan dengan area pemasaran di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Yogyakarta dan Bali.
Penulis : Abdul Muiz