Daerah

NU Jogja Apresiasi Tarian Emprak

Jumat, 7 September 2012 | 08:25 WIB

Jogjakarta, NU Online
Salah satu kesenian klasik, Emprak, yang sudah hidup sejak jaman Demak dan berkembang pada masa Sultan Agung, telah menyemarakkan acara Syawalan PWNU Daerah Istimewa Yogyakatya (DIY), Ahad 2 September.
<>
Wakil Ketua PWNU DIY M. Jadul Maula mengatakan komitmen warga NU untuk menguatkan kembali tradisi para leluhur yang agung maknanya. "Kesenian ini merupakan warisan leluhur dalam mendakwahkan ajaran kebajikan kepada masyarakat. Dengan strategi kesenian inilah, ajaran kebajikan yang ada dalam agama bisa diterima dengan baik oleh masyarakat, sehingga terjadi hubungan yang harmonis dan sinergis antara semangat beragama dan semangat berbudaya," jelas Jadul, seperti yang dilaporkan Taufiq.

“Kesenian tradisional Emprak merupakan perpaduan antara seni musik, vokal, tari dan sastra. Kesenian ini merupakan perkembangan dari tradisi lisan, yang sudah turun temurun," lanjutnya.

Ada dugaan, kata Jadul, embrio kesenian ini muncul sejak zaman Demak dan berkembang zaman Sultan Agung. Saat ini, naskah tertulis shalawat ini merujuk pada kitab Telodho yang ditulis atas inisiatif kanjeng Gusti Yudhonegoro. Berisi sejarah kisah perjuangan Nabi Muhammad dan unsur nilai-nilai agama islam,maupun nilai moral etika Jawa. 

"Dalam rangkaian pertunjukan kesenian ini  pembacaan rawen atau riwayat tentang sejarah Nabi Muhammad dilakukan oleh dalang. Dalang berperan sebagai pemegang alur pertunjukan, dalang juga berhak melakukan pengembangan cerita namun harus sesuai dengan pokok isi cerita.” 

Bagi Jadul, meskipun kesenian ini temanya shalawat namun kesenian ini kental akan unsur budaya Jawa, tercermin dari syair dan tembangnya hampir secara keseluruhan berbahasa Jawa dan irama yang digunakan pun merupakan irama pakem tembang Jawa seperti kinanthi, sinom, dan mijil.

“Model penggarapan pertunjukan kesenian shalawatan Emprak dekat dengan model penggarapan kesenian wayang. Sebab peran dalang sebagai juru cerita dan peran penari yang disebut dengan wayang. Alat musik atau instrumen yang digunakan adalah kendang, kempul, kentang, kentheng, dan gong." lanjutnya.

"Semangat menghidupkan warisan leluhur ini, menjadi tugas bersama anak bangsa. Setiap generasi mesti tetap menjaga warisan leluhur, sehingga identitas budaya bangsa tetap terjaga di tengah gempuran budaya modern yang pragmatis," pungkasnya. 



Redaktur : Hamzah Sahal
Sumber   : PWNU DIY


Terkait