Semarang, NU Online
Imbas pandemi Corona menyentuh seluruh kehidupan masyarakat. Berbagai kalangan harus melakukan adaptasi saat diberlakukannya pembatasan kerumunan, termasuk di pesantren.
Bahkan dalam pandangan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendis Kementerian Agama RI, H Waryono bahwa pihak yang paling terdampak saat pandemi adalah pesantren. Karena harus menyesuaikan perubahan budaya terkait protokol kesehatan terutama menerapkan physical distancing.
Penegasan diungkapkannya pada webinar nasional bertema ‘Optimalisasi Penyelenggaraan Pendidikan Islam Formal dan non-Formal pada Era New Normal: Upaya Mencari Solusi Kini dan ke Depan', Jumat (20/11).
Kegiatan ini diselenggarakan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Semarang.
“Protokol kesehatan mengharuskan adanya physical distancing, padahal di pesantren satu kamar saja bisa diisi oleh beberapa orang, saya dulu mondok sekamar isinya 20 orang,” katanya. Selain itu di pesantren beberapa kegiatan dilakukan berkelompok, seperti istighotsah, mengaji bandongan, makan bersama, dan lain sebagainya.
Tantangan lain adalah infrastruktur pesantren seperti sanitasi, fasilitas mandi cuci, kakus atau MCK dan dapur yang dimiliki kadang terbatas. Dan celakanya, hal tersebut tidak sesuai dengan rasio jumlah santri.
Menurutnya, dalam surat keputusan bersama 4 menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran pada masa pandemi Covid-19, pesantren memang dikecualikan. Karena tidak seperti sekolah dan madrasah yang memungkinkan lockdown dan belajar dari rumah.
“Pembelajaran daring dilakukan pada sekitar 14 ribu pesantren, padahal ada 31.000 pesantren. Jadi, separuhnya tatap muka,” tegasnya.
Namun dirinya bersyukur berdasarkan survei Kemenkes, kini hampir 90 persen pesantren telah memiliki gugus tugas. Artinya pendidikan formal dan non formal pesantren tetap berjalan dengan mengikuti protokol kesehatan yang dikawal gugus tugas pesantren ini.
Plt Kapusdatin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hasan Habibie mengkhawatirkan beberapa hal akibat pandemi pada pendidikan, terutama pada siswa dan orang tua.
“Para siswa akan ketinggalan pelajaran,” katanya. Juga meningkatnya kemungkinan putus sekolah, anak terancam stres, menurunnya produktivitas ekonomi orang tua karena dampak harus bekerja sambil mengasuh anak di rumah, lanjutnya.
Karenanya, perlu adanya solusi terkait kekhawatiran tersebut. Misalnya pemanfaatan internet untuk metode pembelajaran secara jarak jauh dan siaran pendidikan melalui radio dan televisi.
“Namun ketersediaan infrastruktur pada beberapa daerah merupakan problem pelik yang tidak bisa diselesaikan setahun dua tahun,” tegasnya.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan kompetensi guru dalam pemanfaatan aplikasi pembelajaran. Termasuk keterbatasan sumber daya untuk pemanfaatan teknologi pendidikan. “Termasuk relasi guru, murid, orang tua dalam pembelajaran daring yang belum integral,” keluhnya.
Riskiyana Sukandhi Putra selaku Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI memaparkan strategi yang harus dilakukan terkait kampus sehat dan Health Promoting University (HPU).
Strategi tersebut tertuang pada lima hal, yaitu komitmen dan kebijakan pimpinan universitas, kegiatan akademik tentang kesehatan yakni pendidikan dan penelitian, peningkatan kapasitas individu untuk hidup sehat.
“Juga staf universitas dan mahasiswa yang sehat, lingkungan sosial, dan fisik yang mendukung perilaku sehat,” jelasnya.
Sedangkan praktisi pendidikan, Moh Miftahul Arief memaparkan kelebihan di lembaganya. Bahwa pandemi memang memberikan dampak, termasuk di lembaganya.
“Di tempat kami masih ada wali murid yang masih sulit menyesuaikan pendampingan anaknya. Belum lagi anggapan bahwa pembelajaran daring boros anggaran,” tegas Kepala MI Miftahul Akhlaqiyah Ngaliyan Semarang tersebut.
Penerima award Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI atas praktik pembelajaran di masa pandemi ini memberikan catatan bahwa ada juga dampak positif yang dirasakan di lembaganya.
“Seperti guru lebih melek IT dan mahir produksi berbagai sumber belajar termasuk video. Selain itu program kehumasan dan strategi branding lebih mudah dan murah lewat aneka media sosial,” jelasnya.
Wakil Rektor III UIN Walisongo, Achmad Arief Budiman, mengapresiasi terselenggaranya webinar. Hal tersebut sebagai bagian dari ikhtiar mendorong dan memajukan pendidikan baik formal maupun non formal.
“Tema ini sangat relevan, semoga dapat saling sharing mencari formulasi yang tepat memastikan penyelenggaran pendidikan negara ini berjalan dengan baik,” ungkapnya.
Kegiatan juga diikuti Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang, H Ismail, Ketua MUI Kota Semarang, KH Moh Erfan Soebahar.
Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Syamsul Arifin